Senin, 25 Mei 2009

Kenek Colt antara Pahlawan-Ujungberung

Jum'at kemarin motor saya mogok. Alhasil saya mesti menggunakan angkutan kota untuk ke kampus, mengikuti ujian Komunikasi Internasional. Perjalanan pulangnya bermasalah. Uang yang dimiliki hanya bisa membawa saya dari Jalan Siliwangi sampai Jalan Pahlawan. Bila ingin mencapai rumah di Ujungberung, saya bisa memilih hitchhiking atau berjalan kaki. Pilihan saya pun jatuh pada berjalan kaki.

Berjalan kaki dari Jalan Pahlawan sampai Ujungberung bisa dibilang cukup jauh. Total ada tiga pom bensin, tiga lampu merah, dua Dunkin Donuts, dan lima sekolah menengah pertama yang saya lewati. Saya baru merasakan efek hilangnya pohon-pohon yang sempat merimbuni Jalan P. H. Mustofa yang ditebang untuk pelebaran jalan. Matahari bersinar begitu terik tanpa ada lebatnya dedaunan yang menaungi pejalan kaki. Saya jadi teringat filmnya Gus Van Sant, Matt Damon, dan Casey Affleck yang berjudul Gerry. Film ini bercerita tentang dua sahabat bernama sama (Gerry) yang tersesat dalam gurun ketika sedang hiking. Dalam level berbeda, kami bertiga sama-sama merasakan buasnya matahari.

Setengah perjalanan relatif dilalui tanpa gangguan. Sedikit banyak saya tenggelam dalam musik yang didengarkan (Album Phoenix terbaru, Wolfgang Amadeus Phoenix, yay!). Sementara kaki melangkah, pikiran saya melayang ke mana-mana. Sampai seorang kenek Colt jurusan Bandung-Garut muncul di Cicaheum dan kembali membawanya berpijak ke tanah.

Tubuh kenek itu tidak terlalu tinggi. Kulitnya cukup terang dan logat bicaranya tidak kasar. Ia menanyakan tujuan saya ke mana: Garut? Tasik? Saya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Namun ia bersikukuh mengikuti langkah saya dan mengajukan pertanyaan follow up, "Terus mau ke mana?"

"Ujungberung," jawab saya, tersenyum. Mengetahui hal itu ia kembali menawarkan saya naik Colt-nya. Saya menggeleng karena tidak punya uang. Ia tidak percaya. Saya berusaha meyakinkannya, dan akhirnya meninggalkan si kenek Colt masih dalam keadaan tidak percaya.

Kembali berjalan di trotoar, beberapa puluh meter kemudian saya kembali melihat kenek Colt itu sedang meluncur di jalan bersama Colt-nya, sekali lagi ia menawarkan saya untuk naik ke mobil. Saya menggeleng dan mengatakan tidak punya uang, kali ini ia tampak mulai percaya. Saya kira inilah akhir dari interaksi antara kami. Namun, sekitar sepuluh meter kemudian mobil Colt itu menepi. Tanpa terduga si kenek turun, menghadap pohon, membuka ritsleting, dan ia pun pipis di pinggir jalan.

Saya menceritakan pengalaman ini kepada teman-teman di writers' circle. Mereka semua terbahak. "Itu sarkasme," ujar seorang teman sembari tergelak. Awalnya saya juga berpikir kalau saya begitu dilecehkan, "Apaan sih kenek ini? Saya kan pasti lewat jalan itu!" Namun kemudian saya merasa kenek itu tidak punya maksud melecehkan, apalagi sarkastis. Ia tidak mengencingi trotoar yang akan saya lewati. Yang dikencinginya hanya batang pohon yang tumbuh di dekat trotoar, dengan posisi yang memungkinkan saya untuk melihat batang penisnya (yang tidak saya lihat karena begitu malu sampai menundukkan kepala dalam-dalam). Sekarang baru terpikir, bagaimana kalau dia ternyata menyukai saya?

Bagaimana kalau dia mengalami love at the first sight? Dan semua perilakunya, mulai dari mengajukan pertanyaan follow up, gigih menggiring saya menaiki Colt, sampai pipis di depan saya, semuanya didasarkan pada rasa sukanya kepada saya? Ia ingin menarik perhatian saya tetapi tidak tahu caranya. Bagaimana kalau dia mengalami konflik kepentingan? Di satu sisi si kenek ingin memberi saya tumpangan gratis, tetapi di sisi lain ia berhadapan dengan pengemudi Colt yang ingin supaya semua penumpangnya membayar ongkos. Bagaimana kalau si kenek ini adalah the one? My so-called soulmate. Kami ditakdirkan hidup bersama seandainya saja pertemuan pertama itu betul-betul dimanfaatkan. Kesempatan yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.

Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau kami berkesempatan bertemu pada suasana yang sangat berbeda? Mungkin ketika saya duduk-duduk dan membaca di taman depan Gasibu, sementara ia sedang jogging. Kami juga bisa bertemu di depan Indomaret ketika sama-sama sedang menunggu hujan reda. Atau malah, ketika saya sedang menunggu motor selesai di-service di bengkel?

Perjumpaan saya dan kenek Colt berlangsung begitu singkat. Minimnya interaksi membuat saya melakukan idealisasi-idealisasi. Mungkin saya akan mengenangnya dalam waktu yang lama.

Selasa, 19 Mei 2009

Cerita Cinta Canggung

Sekitar dua minggu yang lalu, seorang teman merekomendasikan saya buku kumpulan cerpen berjudul No One Belongs Here More Than You karya Miranda July. Sementara itu kurang lebih sebulan sebelumnya, saya menonton film Skotlandia berjudul Hallam Foe. Ada benang merah yang menghubungkan keduanya (selain warna kuning pada poster film dan sampul buku), yaitu baik No One Belongs Here More Than You maupun Hallam Foe sama-sama menuturkan cerita cinta canggung.



Pertama-tama mari berkenalan dengan Miranda July Ia adalah seniman pertunjukan, musisi, aktris, penulis, dan sutradara film. (Langsing dan cukup cantik pula.) Keduanya orangtuanya merupakan penulis asli California yang memiliki sebuah penerbitan kecil. Saya pertama kali bersentuhan dengan karyanya melalui Me and You and Everyone We Know, film yang sukses memenangkan penghargaan di Festival Film Cannes dan Sundance. Kualitasnya yang paling menyentuh saya adalah bagaimana film tersebut mengangkat seksualitas dengan cara yang sensitif dan tidak berkesan vulgar, tetapi malah uplifting.

Miranda July

Berangkat dari sana, membaca No One Belongs Here More Than You seperti menikmati kelanjutan Me and You and Everyone We Know di mana tema besarnya belum terlampau begitu jauh: perjuangan seseorang keluar dari keterisolasiannya melalui pencarian cinta. Perjuangan seorang wanita dalam mengajarkan para lansia berenang di dapur rumahnya, pedofilia yang ditaksir homo, sampai sepasang suami istri yang mengetahui bahwa menjadi figuran film merupakan level selanjutnya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Kecanggungan dan imajinasi (karakter-karakter) Miranda July, seolah membangun realitas baru di mana hal-hal yang tampak tragis pun menjadi manis. Namun, itu tidak mengurangi realitas dalam karyanya. Salah satu bagian yang saya suka:

I'll tell you about Vincent. He is an example of a New Man. You might have read the article about the New Men in True magazine last month. New Men are more in touch with their feelings than even women are, and New Men cry. New Men want to have children, they long to give birth, so sometimes when they are crying it is because they can't; there is nowhere for a baby to come out of. New Men just give and give and give
.

Disambung dengan ini:

And it struck me that maybe True magazine had been wrong. Maybe there are no New Men. Maybe there are only the living and the dead, and all those who are living deserve each other and are equal to each other.

Saya setuju dengan Josh Lacey, peresensi dari The Guardian, yang menyatakan bahwa kelemahan buku berisi 16 cerita pendek ini adalah kurangnya variasi dalam suara narasi yang semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama. Semuanya ya suara Miranda July dengan segala keterbataannya. Ini tidak masalah apabila yang ditulis adalah cerita panjang. Saking kesengsemnya dengan karya Miranda July, Josh berharap suatu saat nanti perempuan serba bisa itu masih menyempatkan diri menulis novel.

Sekarang berpindah ke Hallam Foe. Tokoh utama dari film ini adalah seorang remaja laki-laki yang menanggung beban psikologis akibat kematian ibunya yang tidak wajar. Namanya Hallam Foe (diperankan Jamie Bell, yang juga bermain di film Billy Elliott). Hallam lantas tumbuh menjadi remaja penyendiri yang meluangkan waktunya di rumah pohon sambil mengintip perilaku orang-orang, sampai suatu hari karena satu dan lain hal ia mesti meninggalkan lingkungan rumahnya. Hallam pun hijrah ke Edinburgh.

Jamie Bell sebagai Hallam Foe

Sebagai penggemar serial The Sunday Philosophy Club-nya Alexander McCall Smith, saya sudah lama penasaran dengan kota Edinburgh. McCall Smith memang menggambarkan Edinburgh merupakan kota di mana warganya saling mengenal satu sama lain, meskipun begitu dalam film ini kota itu juga divisualisasikan sebagai kota lumayan besar yang memiliki temponya sendiri. Ada energi yang menyusup keluar di antara bangunan-bangunan tua bergaya gothic itu.

Di Edinburgh, Hallam akhirnya terlibat hubungan cinta dengan seorang wanita yang mirip dengan ibunya (diperankan Sophia Myles, bermain juga dalam Art School Confidential). Di sinilah kecanggungan/ke-kinky-an film ini dimulai. Sophia Myles rupanya tidak kalah anehnya dari si Hallam. Kombinasi keduanya menjadikan film ini lucu dan enak ditonton. Sekalipun ada adegan seksual frontal. Pada akhirnya, jalan yang harus ditempuh Hallam berujung pada penerimaannya atas kematian ibunya. Saya betul-betul menyukai film ini.

Tentang cerita cinta yang canggung; punya nggak sih ingatan tentang pengalaman cinta-cintaan yang membuat wajah memerah begitu ingatan itu muncul lagi secara random? Saya punya banyak, dan tidak akan dibahas di sini. Percayalah, baru menulis ini saja saya sudah merasakan hawa panas menguar dari pipi saya.

Senin, 11 Mei 2009

Desi Memang Layak Disiram

Yay! Minggu ini saya mulai menghadapi UAS! Hore! Kadang-kadang ada baiknya juga apabila hal-hal buruk ditanggapi dengan antusiasme. Apalagi menulis blog paling terasa nikmat kalau ada take home exam yang sedang menunggu buat dikerjakan.

Jadi beberapa hari yang lalu saya dan Ina mengunjungi pameran drawing tunggal Anne Nurfarina di Titik Oranje, sebuah galeri seni di Bandung yang kebetulan juga merupakan rumah Nia.

Ketika melangkahkan kaki ke dalam, saya merasa seperti dipeluk agak terlalu erat. Sketsa-sketsa Anne dengan warna-warni minimal tampak menggebyar tergantung memenuhi dinding ruang galeri yang berukuran sedang. Sketsa-sketsa tersebut bertajuk Pour Daisy. Menurut leaflet yang tersedia, koleksi yang diproduksi pada tahun 2009 ini terinspirasi pengalaman personal Anne sebagai seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Pour Daisy merupakan kumpulan sketsa yang muncul setelah senimannya sempat lama tidak berkarya. Berkat dukungan dari orang-orang terdekat, akhirnya dosen seni rupa Universitas Pasundan ini pun turun gunung dan menunjukkan refleksi kehidupannya melalui karya-karyanya.


Pour Daisy, Siram Desi. Desi adalah nama bunga yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris dægeseage, yang artinya day's eye. Kalau diterjemahkan secara harafiah day's eye adalah mata hari. Namun, Bunga Desi bukan Bunga Matahari. Desi semacam rival Matahari di sekolah. Sebagai dua siswi yang sama-sama segar, elegan, dan penuh gairah, mereka tentu menghormati satu sama lain. Namun mereka jarang hang out karena masing-masing berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi yang berbeda.

Setelah cukup lama melihat-lihat, saya dan teman-teman lantas berdiskusi. Kami mencoba mengungkap makna dari sketsa-sketsa Anne. Mencoba memahami bersama-sama setiap cerita dari masing-masing sketsa.



Inilah tiga lukisan yang pertama kali mencuri perhatian saya. Mereka semua ditempatkan di sisi dinding yang sama. Sayang, kemarin saya tidak terpikirkan mengambil foto ketiganya dalam sebuah frame. Ibu adalah bunga bermaskara yang tampak mesra berinteraksi dengan bayi melalui daun-daunnya. Ada dinamika menarik ketika perempuan menjalani kehidupannya sebagai seorang ibu.

Nia mengutarakan pendapatnya bahwa sementara sketsa paling kiri merupakan gambaran bayi ketika di dalam kandungan, maka sketsa paling kanan adalah ibu yang sedang menyusui. Lalu sketsa di bawahnya memiliki arti ibu yang sedang melahirkan anaknya. Secara tersirat saya menangkap koleksi Pour Daisy ini bagaikan seorang ibu yang menyenggol pelan anggota-anggota keluarganya dan berbisik, "Hei, sayangi ibu, ya? Ibu tidak ingin mengatakannya keras-keras, tetapi ibu perlu disiram kasih dan disinari perhatian kalian." Namanya bunga pada akhirnya pasti akan layu, tetapi berkat sekuntum bunga itulah bermunculan bunga-bunga yang lain.



Dua sketsa ini mengundang diskusi yang menarik. Pada awalnya Nia tidak suka dengan arsiran keduanya yang lebih tipis apabila dibandingkan dengan sketsa-sketsa yang lain. Namun, setelah diteliti lagi kami semua tertarik dengan simbol-simbol yang ditawarkan pada kedua sketsa ini. Pada sketsa pertama bunga bisa dianggap sebagai alat kelamin perempuan, sementara burung bisa dianggap sebagai alat kelamin laki-laki. Pertemuan antara bunga dan burung memunculkan sosok bayi. Sketsa ini mengingatkan saya pada mitologi dari Jepang, di mana bayi diantarkan kepada orang tuanya melalui jasa kurir burung bangau.

Sketsa kedua merupakan favorit Ina. Ia menyukai posisi tidur bayi di atas daun talas dan bagaimana tangkai daun talas seperti tali pusar yang menghubungkan antara si ibu dengan bayi. Ketika bayi lahir tali pusarnya dipotong, tetapi sampai manusia mati bekasnya tidak akan pernah hilang.

Sebetulnya selain koleksi Pour Daisy dipertunjukkan juga karya Anne lain yang (menurut leaflet) menggunakan teknik cukil kayu dan linograph. Koleksi yang terinspirasi legenda kesundaan (Shana dan Nala, serta Nini Anteh) ini sebetulnya tidak kalah menarik. Hanya saja, perhatian saya dan teman-teman kemarin sepenuhnya tercurah untuk koleksi Pour Daisy. Walaupun demikian ketika di rumah dan melihat foto-foto, saya mendapati mata saya tidak mau lepas dari sebuah karya yang terinspirasi cerita Nini Anteh.


Pameran drawing tunggal Anne Nurfarina ini masih dibuka sampai tanggal 16 Mei. Apabila tertarik, silakan berkunjung ke Titik Oranje di Jalan Taman Pramuka, dua rumah di sebelah kanan Restoran Padang Sari Bundo.