Senin, 15 Juni 2009

Menunggu Hujan di Victoria

Siang kemarin, hujan mulai turun ketika saya melintasi Jalan Dipatiukur. Arus lalu lintas sedikit melambat. Reaksi pertama adalah panik dan sedikit menyumpah. Saya belum mengenakan jas penahan air. Hujan dan kemacetan lalu lintas siang-siang (apalagi pagi) adalah kombinasi yang tak pernah gagal membuat pengendara motor, seperti saya, merasa kalah dan terjebak. Pasti basah di tempat tujuan. Saya pun singgah dan berteduh di Victoria Bakery & Cafetaria.

Dengan cekatan pramuniaga membantu saya memilih kue dan minuman yang tersusun rapi di lemari kaca. Kecuali milik satpam, seragam pegawai Victoria berwarna hijau-hijau. Seragam ini sebetulnya elegan seandainya saja bahannya lebih bagus dan para pegawai tidak bersandal jepit. Jam di dinding menunjukkan pukul dua, tidak dekat lagi dari istirahat makan siang. Usai membayar pesanan pada kasir, saya duduk di kursi dekat jendela. Di atas setiap meja terdapat sekotak tisu dan sebuah vas yang berisi bunga mawar palsu. Pandangan saya tertuju ke luar, melihat intensitas dan ukuran titik-titiknya, hujan masih jauh dari reda. Gumpalan asap mengepul dari cerobong restoran B'Gana di seberang tempat ini. Di sebelahnya ada Zoe Corner, tempat saya biasa duduk dan meminjam DVD selama tiga setengah tahun belakangan.


Pesanan diantarkan, perhatian saya kembali ke dalam. Keadaan cukup lengang dengan para pria sebagai mayoritas pengunjung. Mereka duduk berkelompok, sendirian, dan ada juga yang mengobrol berdua di semacam terpisah. Ketika saya datang, Victoria mungkin bukan merupakan bakery & cafetaria terbersih atau terlezat di Kota Bandung, tetapi suasananya sangat cocok untuk kencan atau malah, seperti yang saya lakukan, melamun sambil menunggu berhentinya hujan.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca wawancara Sarah Sechan di majalah Trax, yang dulu bernama MTV Trax. Sarah mengatakan semasa SMA-nya di Amerika Serikat, ia kerap digencet kakak kelas karena bertubuh pendek dan mengenakan pakaian dari toko-toko secondhand. Saat itu ia mengangan-angankan memiliki nama Victoria. Alasannya, apabila mendengar nama tersebut orang-orang biasanya membayangkan sesosok perempuan yang tinggi, kuat, dan pastinya memberikan perlawanan apabila ditekan.

Dengan membuat beberapa perkecualian. (Sarah Azhari, misalnya.) Saya sependapat dengan Sarah Sechan. Di benak saya, nama Victoria memang memunculkan figur-figur yang kuat. Kekuasaan Ratu Victoria menandai sebuah era; Victoria Beckham memiliki lemari tak berujung beserta suami yang dimenangkannya; Victoria Azarenka adalah petenis remaja Belarusia yang sedang naik daun. Bahkan tulisan Victoria Bakery & Cafetaria pun berwarna merah, warna yang konon identik dengan keberanian, gairah, dan darah. Sementara itu nama Sarah mewakili sosok yang tua, nyaris steril, dan rela dimadu. Sarah mengingatkan saya dengan mantan menantu ratu yang terasing dari keluarga Kerajaan Inggris, Sarah Ferguson; Sarah 'Si Doel Anak Sekolahan', yang sampai episode terakhir tidak bisa lepas dari bayang-bayang Zaenab; Sarah Larson, peserta fear factor yang gagal menjinakkan George Clooney.

Kembali ke masalah dikalahkan hujan dan kemacetan arus lalu lintas. Mudah bagi saya untuk berkesimpulan bahwa di dalam hidup yang ibarat sekeping uang logam ini, semuanya memiliki dua sisi. Menang dan Kalah. Cerah dan Hujan. Lancar dan Macet. Victoria dan Sarah. Namun bagaimana apabila setiap uang logam itu dilempar, sisi yang saya pegang kerap kali berakhir di bawah? Bagaimana tetap ikhlas menerimanya? Sampai sejauh mana seseorang bisa berharap pada perubahan . . . nasib?

Ada yang salah ketika setiap lemparan keping uang logam selalu berakhir dengan tidak menguntungkan. Ada yang mesti diubah. Bisa macam-macam tergantung akar masalahnya. Mungkin pindah tempat melemparnya, mungkin juga mengganti pelempar koinnya. Bisa macam-macamlah.

Jumat, 05 Juni 2009

The Sea and Poison

Shusaku Endo adalah salah seorang penulis Jepang kesayangan saya. Bukunya yang sudah terbit di Indonesia adalah Silence. Trisno Sutanto, dalam resensinya di Harian Kompas, memuji Endo yang "... mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan." Jujur, saya sendiri belum pernah membaca Silence (1966). Sejak membelinya di toko buku bekas langganan beberapa waktu yang lalu, novel itu masih belum beranjak dari rak buku saya. Namun, saya sudah membaca dua karya Endo yang lain: When I Whiste (1974), yang sudah pernah saya buat resensi singkatnya; dan yang kali ini diresensi, The Sea and Poison (1958).


Dikisahkan seorang narator tidak bernama pindah ke Matsubara Barat, kawasan permukiman di pinggiran kota Tokyo. Sama seperti Endo, (Atau malah naratornya adalah Endo sendiri?) si narator memiliki penyakit paru-paru yang mengharuskannya rutin menjalani terapi khusus. Untuk keperluan terapi itulah, si narator bertemu dengan seorang dokter lokal misterius. Tidak lama kemudian, ketahuanlah kalau si dokter pernah terlibat dalam eksperimen medis ilegal yang menggunakan tawanan perang AS. Cerita lantas mundur ke belakang pada kehidupan orang-orang yang terlibat dalam eksperimen medis tersebut.

Dalam The Sea and Poison, Endo menggunakan narasi sudut pandang orang pertama yang betul-betul efektif. Ia tidak banyak menghabiskan waktu untuk mendeskripsikan detail, karena narasi yang digunakannya memungkinkan Endo untuk melompat dari satu highlight ke highlight lainnya. Endo seperti memberikan suatu gambaran dalam bentuk titik-titik di mana akhirnya pembaca sendiri yang menyambungkan titik-titik tersebut.

Tidak hanya itu, novel ini semakin bertambah istimewa dengan kegamblangan Shusaku Endo menuturkan kekejaman Jepang pada masa Perang Dunia II. Masih ingat kasus buku pelajaran yang tidak mencantumkan perbudakan seks? Tidak semua orang Jepang mengakui kekejamannya selama Perang Dunia. Namun itu tidak berarti Endo mengambil posisi sebagai hakim yang sedang mengadili karakter-karakternya. Dengan sabar, ia menyoroti latar belakang dan perdebatan-perdebatan moral yang berkecamuk dalam diri masing-masing karakter. Ia seperti mendengarkan karakter-karakternya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menentukan kesimpulan.

Berdasarkan artikel Caryl Phillips di Guardian, Shusaku Endo terlahir di Tokyo pada tahun 1923. Menghabiskan masa kecil di Manchuria, perpisahan kedua orang tuanya membuat Endo dan ibunya kembali ke Jepang dan tinggal di rumah seorang bibi yang meyakinkan si ibu agar memeluk agama Katolik. Tidak lama setelahnya, ibu Endo membujuk anaknya agar mau dibaptis dan Endo mendapati bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok minoritas Katolik di Jepang. Hubungan Endo dan agamanya sendiri tidak terlalu mudah. Komitmennya yang rendah dalam menjalankan ajaran Katolik membuatnya menanggung rasa berdosa, dan Endo pun merasa telah mengecewakan ibunya. Setelah lulus dari jurusan Sastra Perancis Universitas Keio, Endo melanjutkan pendidikannya di Universitas Lyon di Perancis. Ke depannya ternyata ia sakit-sakitan, dan sempat 'tinggal' di rumah sakit selama tiga tahun! Alhasil tokoh dokter dan latar rumah sakit sering muncul dalam karya-karya Endo. Ia tutup usia pada tahun 1996.


Bagi pembaca yang terbiasa dengan Jepang yang futuristik dan surealis, mungkin tidak menemukannya dalam karya Shusaku Endo. Ceritanya sendiri ditulis pada era di mana semuanya lebih sederhana. Walaupun demikian, kondisi psikologi manusia Jepang setelah masa Perang Dunia tidak bisa dibilang sederhana. Hal inilah yang ditangkap Endo dengan sensitifnya sehingga ada kengerian tersendiri ketika membaca The Sea and Poison.

(Kerangka resensi ini dibuat sambil duduk-duduk basah kuyup di depan jendela kaca besar Reading Lights Bookshop & Coffee Corner. Eh, gosipnya Silence sedang difilmkan oleh Martin Scorcese, lho.)

Rabu, 03 Juni 2009

Buku Bekas Berbahasa Inggris

Kemarin saya memeriksa obral buku yang diadakan di Baca-Baca Bookmart di Sasana Budaya Ganesha. Setelah selama kurang lebih satu jam melihat-lihat, saya mendapati tidak ada sedikitpun keinginan untuk membeli sebuah buku pun. Memang buku-buku yang diobral adalah buku-buku terbitan KPG yang kualitasnya tidak usah diragukan lagi. Namun, namanya juga buku obral, judul-judul yang ditawarkan agak kurang menarik. Misalnya Anna Karenina-nya Leo Tolstoy yang harganya dibanting sampai sepuluh ribu rupiah. Bukannya tidak menghargai karya-karya klasik, tetapi *aduh* bukannya lebih baik membeli buku bekas terjemahan Bahasa Inggrisnya yang dapat ditemukan di mana-mana?

Belakangan saya lebih rela membelanjakan uang demi buku-buku bekas berbahasa Inggris daripada buku-buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Alasannya:

1) Tidak perlu merisaukan bagaimana kualitas terjemahan. Ada beberapa buku yang terjemahannya saya sukai, seperti The Kite Runner dan Middlesex oleh Berliani Nugrahani dan serial Lemony Snicket's yang belakangan diterjemahkan Donna Angela. (Konon terjemahan The Catcher in the Rye juga bagus, ada yang pernah baca versi Bahasa Indonesianya?) Namun banyak juga buku yang terjemahannya mengecewakan, seperti Misteri Soliter-nya Jostein Gaarder dan Gempa Waktu-nya Kurt Vonnegut di mana umpatan 'piece of shit' diterjemahkan menjadi 'seperiuk tai'.

2) Proses penerjemahan sebuah buku memakan waktu lama. Penerbit biasanya hanya menerjemahkan buku-buku yang klasik dan atau sudah terbukti laris manis di pasaran internasional. Kecuali penulisnya sudah memiliki nama dan serialnya terbukti meledak di Indonesia. (J.K. Rowling dan Harry Potter.) Alhasil buku yang diterjemahkan biasanya kurang lengkap dan up to date. Contoh: sejak pertama kali diterbitkan buku pertamanya pada tahun 2003, sampai sekarang serial Lemony Snicket's berbahasa Indonesia belum rampung juga. Padahal di luaran sana, serial ini sudah berakhir dengan buku ketigabelasnya yang terbit pada tahun 2006! Sementara itu buku bekasnya banyak bergelimpangan di english used bookstores terdekat. Saya jadi bertanya-tanya, seberapa sulit sih proses yang dilalui penerbit lokal untuk membeli hak penerjemahan buku-buku berbahasa asing?

3) Kadang-kadang desain cover buku terjemahan agak-agak mengecewakan. Mungkin penerbit harus membayar lebih untuk bisa menerbitkan buku dengan tetap menggunakan desain cover terbitan aslinya. Untuk menghemat biaya, penerbit lantas menggunakan desainer yang mungkin belum bisa menerjemahkan substansi buku ke dalam ilustrasi cover. Saya bahkan pernah melihat buku yang covernya meng-copy and paste foto Celine dan Jesse dari film Before Sunrise, entah itu buku terjemahan atau bukan. Entah itu melanggar hak cipta atau tidak. Contoh transformasi desain cover yang bikin gregetan:



4) Kualitas kertas buku-buku bekas berbahasa Inggris seringkali malah lebih bagus daripada buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Untuk menghemat biaya produksi, acap kali penerbit menggunakan kertas buram. Padahal *aduh* sama sekali tidak enak membaca karya-karya klasik lewat kertas buram. Kalau bukan buram, maka kertas yang digunakan adalah kertas putih yang kelewat tipis.

5) Jalan-jalan di toko buku bekas berbahasa Inggris itu lumayan menyenangkan. Saya tidak pernah tahu buku apa yang nantinya akan ditemukan dan dibawa pulang. Tujuh puluh persen koleksi Alexander McCall Smith saya didapatkan dari belanja di toko buku bekas. Itu pun seri yang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Dan yang terpenting, harga buku bekas biasanya lebih murah daripada harga buku baru.

6) Membaca buku-buku berbahasa Inggris sedikit banyak memperlancar saya menggunakan bahasa tersebut dan menambah perbendaharaan kata.

Sebetulnya saya merasa tindakan saya ini tidak suportif terhadap usaha penerjemahan karya-karya klasik ke dalam Bahasa Indonesia. Tindakan saya juga tidak menunjukkan dukungan pada toko buku-toko buku independen yang jualannya kebanyakan buku-buku baru berbahasa Indonesia, buku-buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Namun selama kualitas penerjemahan lokal mengecewakan, rasanya semakin malas saja membeli buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia.