Kamis, 29 Oktober 2009

Reportase: Babi Buta di Taman Rumput

Pukul tujuh kurang, kumandang adzan sayup terdengar dari kejauhan. Di halaman belakang Hegarmanah 52, orang-orang duduk lesehan di karpet yang digelar di atas hamparan rumput yang sedikit basah karena gerimis sore sebelumnya. Langit malam sedikit berawan. Layang-layang putus tersangkut di pohon cemara. Belum ada gambar di layar. Suasana hening.

“Sebentar ya, kita tunggu sampai adzan selesai…” Ariani Darmawan mengumumkan.

***

Sabtu malam (24/10), seorang laki-laki berdiri di sudut teras Rumah Buku/Kineruku. Ia mengenakan jaket dan celana pendek berwarna hitam, serta kemeja putih bergaris-garis. Laki-laki itu bernama Edwin. Dialah sutradara Babi Buta Yang Ingin Terbang, film panjang pertamanya yang menjadi buah bibir di berbagai festival film internasional. Di acara Kineruku Layar Tancep, Edwin (beserta istri) dan sang produser sengaja hadir untuk menemani pengunjung menyaksikan pemutaran perdana film Babi Buta Yang Ingin Terbang di kota Bandung.

Ketika membuka acara, Ariani Darmawan menyampaikan bahwa mulai pekan ini ... (lanjutannya baca di sini.)

Kamis, 22 Oktober 2009

Pohon Kersen Berbuah Kratingdaeng

Beberapa hari yang lalu kakak saya minta dijemput jam setengah dua siang di Stasiun Kebon Kawung. Tiba lima menit lebih cepat, saya sempat duduk-duduk di bawah pohon kersen berbuah botol Kratingdaeng.


Sebatang pohon kersen juga tumbuh di rumah nenek saya di Magelang. Semasa SD, setiap liburan sekolah saya pernah selalu ke sana bersama dengan seorang sepupu saya. Dulu Magelang berarti bermain di halaman rumah yang luas, bermain dingdong di kompleks Ruko Armada, bermain ke sawah dan dangau di belakang panti asuhan milik kakek, pokoknya memainkan apa saja yang bisa dimainkan. Apalagi siaran televisi di rumah nenek selalu tertangkap dengan buram. Jadi saya dan sepupu saya mesti kreatif dalam menghabiskan waktu.

Jujur saja, saya tidak nyaman bila berdekatan dengan nenek. Sempat tinggal selama dua tahun bersamanya semasa SMP, saya merasa lebih mengenal beliau dibandingkan sepupu-sepupu yang lain. Di mata saya nenek seperti karakter Meryl Streep di film Doubt. Ketika masih anak-anak, kepribadian nenek yang paling terasa adalah overprotective. Saya dan sepupu saya kerap dilarang ini-itu: tidak boleh membuat rumah pohon, tidak boleh lama-lama di dapur, tidak boleh bermain kartu, dll. Maka permainan yang tak ada ujungnya yang selalu dimainkan saya dan sepupu saya adalah melarikan diri dari nenek. Kami jarang lama-lama tinggal di rumah; kalau pun di rumah maka kami akan bersembunyi.

Salah satu tempat persembunyian yang paling nyaman adalah di pohon kersen. Pohon kersen nenek tinggi menjulang. Buahnya banyak, dimakan sampai puas pun tak kunjung habis. Kalaupun setiap hari buahnya yang merah dipetik oleh anak-anak tetangga, keesokan harinya ada saja buah yang matang. Biasanya sepupu saya akan memanjati dahan pohon itu sampai cabang tertinggi, sementara itu saya selalu berpuas diri duduk bersandar di cabang besar yang tidak terlalu tinggi. Kami lantas bercengkerama. Saya akan bercerita tentang apa saja, dan sepupu saya akan mencarikan kersen matang untuk saya.

Semakin lama, rupanya saya dan sepupu tumbuh menjadi dua orang yang berlainan sifat. Saya semakin menggilai buku, semakin suka diam di rumah dan membaca; di sisi lain sepupu saya semakin jauh menjelajah. Bersama dengan saudara kami yang lebih tua, dengan antusias ia berpetualang Pasar Secang, klenteng di Pecinan, sampai terminal Kebon Polo. Pelan-pelan, pohon kersen yang awalnya merupakan markas kami berubah menjadi medan perang kami.

Saya akan membawa dan membaca buku di bawah pohon, sementara sepupu saya akan memanjat ke atas dan mulai menjatuhkan buah-buah kersen yang masih hijau ke atas kepala saya. Kadang saya mengabaikannya, tetapi kadang-kadang saya juga membalasnya dengan melempari batu-batu seukuran jari ke dahan tempat sepupu saya bertengger. Serangan saya sering luput, kalau sudah begitu maka ia akan bernyanyi-nyanyi riang, "Musuh menyerang! Musuh menyerang! Kita menang! Kita menang!" Dan demikianlah permainan kami pada liburan kali itu. Sampai suatu hari saya membalasnya dengan memukul kaki sepupu saya menggunakan tongkat kayu ketika ia sedang turun dari pohon.

Liburan itu saya ingat sebagai liburan terakhir yang kami habiskan bersama sebagai anak-anak. Sepupu saya jatuh, menangis hebat, dan langsung ditanggapi oleh seisi rumah. Ketika ibu sepupu saya menanyakan apa yang terjadi, saya hanya bisa bilang, "Dia jatuh." Yang langsung ditanggapi oleh sepupu saya di sela-sela tangisannya, "Bohong! Si Andika mukul aku sampai jatuh!" Saya menyesal setengah mati, tetapi tidak bisa mengucapkan lebih dari sekadar permintaan maaf yang lemah. Untuk selanjutnya saya cenderung menjaga jarak dengan keluarga sepupu saya itu. Kami tidak pernah lagi berlibur bersama. Kami sebaya, sama-sama tinggal di Bandung, tetapi sama sekali tidak dekat.

Saat ini perbedaan kepribadian saya dan sepupu saya semakin menjulang saja, meskipun situasi di antara kami sudah semakin biasa-biasa saja. Sepupu saya tumbuh menjadi pemuda tinggi, ganteng, sementara saya tumbuh menjadi pemuda pendek dan secara normatif berpreferensi seksual menyimpang. Kami berdua sama-sama kuliah, hanya saja sepupu saya kuliah sambil menjalankan berbagai bisnis, sementara saya kuliah sambil berkutat dengan kegiatan tulis menulis.

Saya membayangkan dalam waktu sepuluh tahun akan menatap potret di mana sepupu saya akan berpose dengan istri dan anaknya di depan sebuah rumah berhalaman yang asri. Di sisi lain, segalanya serba mungkin bagi saya. Soal pekerjaan mungkin cukup jelas: saya berencana kerja di penerbitan atau menjadi jurnalis. Namun yang lainnya? Tidak tahu. Kalau sepupu saya diibaratkan seperti pohon kersen rindang yang selalu manis berbuah, mungkin saya adalah pohon kersen rindang yang berbuah botol Kratingdaeng.

Kakak saya di bawah pohon kersen berbuah Kratingdaeng

Beberapa saat setelah insiden saya melukai sepupu saya, pohon kersen di rumah nenek ditebang hingga batang yang tersisa pendek sekali. "Bahaya," begitu kata nenek ketika ditanyai apa alasannya.

Jumat, 16 Oktober 2009

Reportase: Kursi-Kursi Panas Itu ...

Menjelang dimulainya acara, Ari Rusyadi mewakili teman-temannya menyapa pengunjung, “Kalau boring, garing, paling nggak filmnya pendek.”
“Tapi ada tujuh, ya?” canda Budi Warsito.
“Iya.”

* * *

Adalah hal yang lumrah jika Bandung menjadi pilihan orang-orang Jakarta untuk menghabiskan waktu di akhir pekan. Biasanya masing-masing sudah punya distro, factory outlet, atau warung batagor favorit. Namun kali ini tujuan sebagian dari mereka rupanya bukan untuk berbelanja pakaian maupun menikmati aneka macam jajanan. Sabtu malam (10/10), mobil-mobil berplat nomor B berderet rapi di area parkir Rumah Buku/Kineruku, tempat berlangsungnya pemutaran Film-Film Kursi Panas yang merupakan film-film pendek tugas akhir Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2008-2009.

Sekelompok warga IKJ inilah bagian spesial dari acara Kineruku Special Screening. Kehadiran mereka di Hegarmanah 52 menjanjikan ... (lanjutannya baca di sini)