Senin, 23 Mei 2016

"A South African archeologist is stealing happy meals."

Salah satu penulis kesukaan saya bernama Nadine. Dia berasal dari Afrika Selatan. Dalam sebuah cerpennya, Nadine pernah menuangkan duka yang dia rasakan akibat kematian suaminya. Nadine menulis, setelah beberapa saat, duka menjadi topik yang membosankan bagi orang lain, bahkan bagi sahabat-sahabat terdekatnya. Nadine pun bertanya-tanya, "Lantas kepada siapa dirinya dapat bercerita?"

Kemudian Nadine mendapat ide: dia akan mengunjungi seorang kekasih lama suaminya. Kekasih lama suaminya adalah seorang fotografer yang namanya sering terpampang kecil-kecil di halaman pertama surat kabar terbesar di Afrika Selatan. Mudah menghubunginya karena dia tergabung dalam agensi besar. Dalam hitungan hari, Nadine mendapati dirinya dalam perjalanan kereta api ke kediaman laki-laki tersebut, dengan sebotol wine di atas pangkuannya.

Kunjungan tersebut berawal hangat. "Silakan masuk," ujar si fotografer. Dia tidak meminta penjelasan siapa Nadine dan mengapa dia ada di sana. Namun dengan cepat kehangatan itu terhapus kecemburuan. Nadine tidak akan pernah mengerti mengapa suaminya jatuh cinta kepada sesama laki-laki, sebagaimana si fotografer tidak mengerti bagaimana mantan kekasihnya dapat berakhir dengan wanita yang ada depannya. Cerita mereka tentangnya tidak beririsan, seperti bayangan tangan yang diterpa oleh sinar dua lampu secara bersamaan. Nadine keluar dari apartemen si fotografer secara tergesa, dengan kesadaran bahwa segalanya telah hilang. Dia hanya tahu versi suaminya yang dia ketahui.

Dalam cerpen itu, Nadine tidak menceritakan apa profesi suaminya. Sekarang saya membayangkan, bagaimana kalau suami Nadine adalah seorang arkeolog? Bagaimana kalau pada malam yang relatif cerah dan gerah seperti malam ini, dia dan Nadine suka duduk-duduk di luar untuk mencari angin?

Si suami akan bercerita tentang hari-hari sulit di mana dia masih berjuang sebagai arkeolog muda, di mana gajinya tidak cukup untuk membiayai penelitian mandiri yang dia lakukan. Hari-hari di mana sajian lezat di atas meja bukan menjadi prioritas utamanya.

"Lalu bagaimana ketika tidak ada lagi uang untuk membeli makanan?" tanya Nadine.

"Kamu tahu, tempat kerjaku dulu tidak bisa disebut sebagai kota besar," ujar suaminya. "Tapi tak jauh dari lokasi penelitian kami, ada tambang yang menyerap banyak pekerja. Kotanya cukup makmur, ada sebuah toko buku kecil dan restoran McDonald's di dekat pusat kota. Restoran itulah gerai fast food pertama di daerah itu. Pada hari libur, para pekerja tambang datang dengan badan yang bersih dan wangi, sambil menggandeng orang-orang yang mereka sayangi ke McDonald's. Anak-anak tidak bisa diam, semua merengek minta dibelikan ..."

"Happy meal," sambung Nadine.

Suaminya mengangguk. "Kita tahu anak-anak jarang menghabiskan makanannya sampai bersih. Begitu keluarga itu pulang, aku akan mengendap ke meja mereka dan mencuri makanan sisa."

"Itu sih bukan pencurian," sahut Nadine. "Kamu hanya mengambil apa yang tidak lagi mereka inginkan."

Kali ini suaminya menggeleng. "Bagian terburuknya adalah ... hal ini menjadi kebiasaan. Aku tidak lagi ke sana hanya jika tidak punya lagi makanan. Aku melakukannya setiap hari libur. Ada sebuah keluarga yang datang setiap minggunya, anak perempuan mereka nyaris tidak pernah menyentuh makanan pada Happy Mealnya. Begitu mereka pergi, aku menyapu meja mereka dengan kecepatan serigala yang mengejar mangsanya."

"Sampai suatu hari," suami Nadine melanjutkan."Ketika aku menunggu mereka selesai makan, aku mendapati mata anak perempuan itu menatapku dengan tidak terputus. Dia mendorong baki makanannya ke arahku, seakan mengajakku untuk mengambil makanannya saat itu juga. Usianya barangkali baru enam tahun .... Saat itu aku tersadar, selama ini mungkin dia tidak menyentuh makanannya karena tahu bahwa aku sudah mengincarnya. Cepat-cepat aku keluar dari sana dan tidak kembali lagi. Harga diriku begitu tinggi, bahkan aku pun lupa berterima kasih. Sampai sekarang, aku merasa telah mencuri makanan anak perempuan itu."

***

Mungkin di dalam cerpennya, sesungguhnya Nadine ingin menuturkan cerita itu kepada si fotografer. Namun, di tengah jalan pikirannya bercabang. Sama seperti suaminya, harga dirinya pun tinggi. Nadine tidak rela menjadi perempuan berduka konyol yang berupaya membahas Happy Meal dengan mantan kekasih suaminya. Namun jika tidak begitu bagaimana dia berbagi rasa dukanya? Bahwasanya kini baginya Happy Meals sudah bukan lagi Happy Meals, melainkan Sad Meals.


(Cerita ini dikarang pada sesi nulis Couchsurfing Bandung Writer's Club. Ais, host pada malam itu, meminta kami memilih kalimat dari Twitter Magic Realism Bot yang paling kami suka, untuk dikembangkan menjadi apapun. "Tapi karena waktunya cuma setengah jam, ya jangan bikin epos mahabharata juga ...." katanya cheeky. Nadine dalam kisah ini terinspirasi Nadine Gordimer. Namun karena saya lupa-lupa ingat detail cerpennya, pada dasarnya kisah ini merupakan karangan belaka. Kalimat favorit saya menjadi judul cerita ini.)

Kamis, 19 Mei 2016

Tentu Saja

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya bisa merangkai kata-kata berikut: "Kalau kamu sempat (dan mau) ketemuan yuk selama kamu di Bandung(?)" Begitu pesan itu terkirim, saya langsung kepingin googling: "Cara mengajak bertemu orang yang baru disukai tanpa rasa kecewa apabila ditolak." Di tengah jalan, saya tidak jadi menekan 'Enter'. Kalau dia menolak, tentu saja saya bakalan kecewa. Saya tidak ingin perasaan yang muncul karena saya menganggapnya istimewa itu hilang. Perlu tiga jam sebelum dia membalas pesan itu. Perlu tiga jam lagi sebelum saya berani membaca balasannya. Dia cuma menulis 'Yuk' dengan menambahkan '!' yang lantas bergema dalam benak saya: (!!!)

Jumat, 13 Mei 2016

Cerita-Cerita dari Musik

Dua orang perempuan yang sedang mendorong kereta bayinya masing-masing berpapasan. Yang satu lebih tua daripada yang lainnya. Yang lebih tua tersenyum, dan mengintip kereta yang lain. "Badannya montok, lucu sekali," komentarnya. "Namanya siapa?"

"Charletta, Tante," kata perempuan yang lebih muda dengan suara menirukan anak-anak. "Aku umurnya empat bulan. Kata dokter, harusnya sih aku sudah bisa berguling. Tapi aku belum bisa! Dokterku maklum sih. Katanya bayi berpipi tembem memang lebih malas." Perempuan itu tersipu, lalu bertanya dengan suara biasa, "Kalau anak Ibu namanya siapa?"

"Muhammad Romy," sahut perempuan yang lebih tua. "Umurnya baru sehari."

"Hah? Sehari?" Perempuan yang lebih muda heran dan melirik kereta bayi Romy. Dia terkejut ketika menemukan hanya ada boneka beruang usang di dalamnya.

Karena Romy meninggal pada hari kelahirannya.

***

Kamu tidak akan pernah tahu betapa sepinya klab ini sejak kepergianmu. Meskipun malam ini bertema disko. Para perempuan datang dengan rambut mengembang, pakaian senam, dan bulu ketiak yang tidak tercukur. Para laki-laki menemani dengan kemeja berwarna mencolok, serta jaket dan sepatu kulit yang berkilau. Semua orang menari mengikuti musik nyaring di bawah lampu gemerlapan. Aku menari bersama kenangan, cita-cita yang kandas, dan penyesalan-penyesalan.

***

Ada musik yang bermain di kepala kita saat kita memasak berdua. Musik itu tidak pernah terdengar oleh tetangga maupun tamu kita. Namun suaranya senyata gerakan bahumu yang mengikuti putaran knop kompor. Aku pun moonwalking ke kulkas untuk mengambil nasi sisa kemarin. Kamu mengaduk nasi sambil menyanyikan reff dengan suara selegit kecap manis. Aku lantas memasukkan telur, garam, dan potongan cabe yang sedikit ketetesan darahku. Nasi goreng kita tidak rata, rasanya tidak karu-karuan, tapi kita memastikan perut kita lapar sebelum menyantapnya.

***

Kamu selalu nyaman berdiri di panggung, dengan lampu bercahaya kebiruan yang menyorot kepadamu. Tidak cuma bernyanyi, melawak, ataupun mendongeng, kamu bahkan tidak malu menitikkan air matamu di atas sana. Aku selalu nyaman berada di kursi penonton, melihatmu melakukan semua yang kausenangi. Meski kadang aku pun bertanya, apakah dari sana kamu dapat melihatku?

***

(Cerita-cerita ini ditulis pada pertemuan Couchsurfing Writer's Club kemarin. Temanya menulis cerita dengan pancingan lagu. Hostnya Tada, dia banyak memutar lagu-lagu pesta: Lost in Music-nya Sister Sledge, lagunya Gladys Knight and the Pips, dll. Padahal saya berangkat ke klab nulis dengan perasaan tidak karuan karena siangnya menghadapi badai (bad day) di kantor. Kami pun hanya berdua saja malam itu, klab nulis kami sedang sepi peminat. Namun menulis dan membacakan cerita, sekalipun ceritanya sedih, memunculkan perasaan lega bagi saya.)