Jumat, 30 Januari 2009

Revolutionary Road

Sekitar sebulanan yang lalu, ketika sedang membicarakan film-film pra-Academy Awards, seorang teman baik saya menyatakan keinginannya untuk menonton Revolutionary Road. “Karena Leo?” tanya saya. Teman saya yang berkelamin perempuan itu kontan mengiyakan. Leo yang dimaksud tidak lain adalah Leonardo DiCaprio. Beberapa saat kemudian, seorang teman lain juga bilang mau menonton film itu. “Karena Leo?” Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Walaupun berambut keriting, teman saya itu laki-laki lurus. Ia buru-buru menyanggah dan mengungkapkan bahwa tema film ini mengingatkannya pada kehidupannya sendiri. “Kehidupan seperti apa?” tanya saya. Si teman menjawab dengan enggan. Saya jadi penasaran.

Meskipun berjudul Revolutionary Road, film ini tidak bercerita tentang revolusi. (Hm. Mungkin ada unsur revolusinya, tetapi bukan revolusi politik seperti di buku sejarah.) Dan sekalipun dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, jangan menonton Revolutionary Road dengan harapan akan menyaksikan Titanic jilid dua. Adegan percintaan yang kolosal dan sentimental rupanya bukan dagangannya film ini.

Revolutionary Road merupakan adaptasi dari novel karya novelis Amerika, Richard Yates, yang berjudul sama. Film yang berlatarkan tahun 50-an ini menyorot kehidupan keluarga kecil, The Wheelers, yang merupakan potret keluarga ideal Amerika pada masa itu. The Wheelers terdiri atas pasangan suami istri muda, Frank Wheeler dan April Wheeler; anak-anak perempuan dan laki-laki; sebuah rumah bercat putih di kawasan suburban; dan halaman rumput hijau lengkap dengan alat penyiram otomatisnya. Sementara Frank adalah sales person berpenghasilan cukup yang selalu mengeluhkan kebosanan atas pekerjaannya, April merupakan aspiring actress yang merasa terhimpit kehidupan sebagai suburban wife.

Perasaan yang bisa jadi mengemuka ketika menonton Revolutionary Road adalah perasaan mengganggu. Sutradaranya, Sam Mendes (American Beauty, Road to Perdition, Jarhead), menampilkan imaji yang indah. Pencahayaannya terang, karakter-karakternya kelihatan keren dengan kostum sophisticated dan sisiran rambut necis, musiknya swing-y and jazzy, dekorasi rumahnya rapi, dll. Namun di sisi lain, semua itu cuma imaji. April Wheeler menyadari itu betul. Sekalipun ia dan suaminya dianggap masyarakat sebagai pasangan sempurna, tetapi sebetulnya mereka tak jauh berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Suatu hari, dipicu oleh kegagalan pertunjukan drama yang dibintangnya, April merasa muak dengan kehidupannya dan membujuk Frank agar mereka bisa memulai kehidupan baru di Paris. Paris, Perancis.

Sampai di sini, mungkin beberapa penonton Revolutionary Road (seperti saya) memandang dengan skeptis, “Emang kalo pindah ke Paris otomatis jadi bahagia? Sumber kenggakbahagiaan mereka bukan itu, kan?” Pertanyaan yang bisa dimengerti. Penonton mungkin menganggap Paris hanya sebagai Paris, sebuah kota di belahan bumi yang berbeda dengan tempat The Wheelers tinggal. Ide memindahkan keluarga ke sana kelihatan seperti sesuatu yang kekanak-kanakan. Namun bagi April dan Frank, Paris berarti lebih dari itu. Paris adalah simbol dari perubahan drastis yang ingin mereka lakukan. Keputusan pindah ke sana adalah semacam bukti dari kesungguhan mereka untuk meraih apa yang diimpi-impikan: kebahagiaan. Parisnya sendiri bisa jadi tidak penting, tetapi keberanian untuk pindah ke Paris yang sangat berarti. Akhirnya meskipun menyangsikan The Wheelers jadi pindah dan hidup bahagia di Paris, saya berharap mereka betul-betul melaksanakan rencana itu.

Seperti yang sudah disinggung sepintas di awal tulisan ini, Revolutionary Road merupakan tipikal film yang diproduksi untuk berkompetisi di Academy Awards. Di ajang tersebut, film ini mendapat tiga nominasi untuk Best Art Direction, Best Costume Design, dan Best Suporting Actor. Saya cukup yakin Revolutionary Road tidak akan memenangkan satu pun piala. Pada kategori Best Art Direction paling yang menang Curious Case, sementara Best Costume Design—Australia, dan Best Suporting Actor akan dimenangkan Heath Ledger sebagai Joker. Namun, bukan berarti bahwa film ini kurang bagus. Dari segi akting, Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet bermain lumayan. Kalau diperhatikan lagi Frank Wheeler sebetulnya menyebalkan, tetapi karena DiCaprio yang memerankannya karakter itu jadi terkesan simpatik. Winslet bahkan diganjar piala Golden Globe sebagai artis terbaik. Dan rasanya film ini menawarkan sebuah tamparan bagi para pekerja muda ibukota yang mulai terhisap mimpi kemapanan. Di luar beberapa adegan yang gampang ditebak, Revolutionary Road layak disimak, lah.

Jumat, 23 Januari 2009

Kafka on the Shore (Spoiler Alert)

Di toko buku yang sudah hampir tutup, saya menghampiri seorang teman yang duduk di depan komputer. “Gue mau ngobrolin Kafka on the Shore,” ujar saya.

Kafka on the Shore adalah novel karya Haruki Murakami kedua yang saya baca, setelah Norwegian Wood. Teman yang dihampiri itu yang meminjamkannya. Sejenak ia menoleh dari monitor komputer dan mengangguk, “Ya. Tapi bentar, gue mau liat trailer Confession of a Shopaholic dulu.” Si teman lantas menggeser monitor komputernya agar saya ikut menonton juga.

Ketika trailer selesai, teman saya itu tampak puas. “Gue suka banget serial ini,” katanya. “Lucu. Satu kata aja udah bikin gue ketawa-tawa.”

Saya hanya mengangkat alis, lalu membuka pembicaraan, “Gue suka baca Kafka on the Shore, tapi ada banyak hal yang belum gue pahami. Apa maksudnya kemunculan batu pembuka, Johnnie Walker, atau Colonel Sanders?”

Kemudian saya menceritakan data yang saya temukan di Wikipedia. Ternyata setelah Kafka on The Shore terbit, Haruki Murakami membuka kesempatan bagi para pembaca untuk menanyakan bagian-bagian yang tidak dipahami. Dari 8000an pertanyaan yang masuk, novelis kelahiran Kyoto yang besar di Kobe itu menjawab sekitar 1200an. Murakami pun menganjurkan agar penggemarnya berulang-ulang membaca novel setebal 600an halaman ini. Katanya, ‘Kafka on the Shore memuat beberapa teka-teki tanpa menyediakan jawabannya. Alih-alih teka-teki tersebut lantas dijalin, dan dari jalinan itu lantas muncul sebuah kemungkinan jawaban yang bakalan berbeda bagi setiap pembaca. Dengan kata lain, teka-teki dalam novel ini berfungsi sebagai bagian dari jawabannya. Sulit dijelaskan, tetapi memang seperti inilah novel yang ingin saya tulis.’

“Jadi menurut lo novel ini tentang apa?” tanya saya.

Teman saya manggut-manggut. “Gue memang belum ngerti makna perjalanan Nakata, pertemuannya dengan Johnnie Walker, Colonel Sanders, hujan lintah, hujan ikan salmon, dan lain-lain,” jawabnya. “Tapi menurut gue novel ini tentang bagaimana si Kafka, tokoh utamanya, lari dari rumah dan akhirnya kembali lagi ke rumah.”

Dua nama yang disebut teman saya: Kafka dan Nakata, merupakan protagonis dalam buku Kafka on the Shore. Kafka Tamura adalah laki-laki berusia lima belas tahun yang kabur dari rumah karena bermasalah dengan ayahnya. Ia lari dari rumah ke kota di mana tak seorangpun yang dikenalnya. Nakata adalah seorang kakek tua aneh yang bisa berbicara dengan kucing.

“Menurut lo sendiri gimana?” Teman saya bertanya balik. “Lo lebih suka yang ini atau Norwegian Wood?”

“Gue suka dua-duanya, tapi lebih suka yang ini. Memang dua-duanya banyak mencantumkan referensi pop. Yang menarik, Norwegian Wood setting-nya Jepan tahun 1960an, wajar kalau musik yang disebut-sebut itu The Beatles, Simon and Garfunkle, Sarah Vaughan; film yang disebut The Graduate. Kalau Kafka on the Shore kan setting-nya Jepang masa kini, yang disebut-sebut malah musik klasik: Haydn, Trio Archduke-nya Beethoven, dll; film yang disebut juga film hitam-putihnya Francois Truffaut, The 400 Blows. Tapi sekali lagi gue lebih suka Kafka, karena di sini selain kebudayaan barat Murakami juga memberikan porsi yang besar buat kebudayaan Jepang.”

Kepala teman saya terangguk. Ketika ia ingin menimpali, manajer toko buku mengumumkan kalau toko akan segera ditutup. Jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan, tetapi malam ini rupanya sepi pengunjung. Saya pun menghela napas, dan memberinya pandangan I-guess-this-is-it.

“Masih banyak yang mau diomongin, ya?” tanyanya.

“Ya.”

“Mau sambil makan malem, nggak?”

Kening saya berkedut. “Kan tokonya mau tutup?”

“Ya nggak di sini.”

Toko buku yang menjual buku-buku bekas berbahasa Inggris itu pun ditutup untuk hari ini. Komputer dimatikan. Lampu-lampu dimatikan. Pintu-pintu dikunci. Saya diam menunggu si teman mengisi absensi di halaman parkir, sampai ia datang menghampiri dan bertanya, “Mau makan di mana?”

“Warteg seberang jalan?” tunjuk saya asal.

Si teman menggeleng dan mengusulkan agar kami makan nasi goreng di Jalan Tamansari. Saya mengiyakan. Kami pun pindah ke sana. Sementara ia memesan Nasi Goreng Mawut dan Es Teh Manis, saya memesan Nasi Goreng Cumi dan Es Teh Tawar. Sambil menunggu kami melanjutkan pembicaraan.

“Gue paling suka karakter Oshima, si perempuan hermaphrodite itu,” ujar saya.

“Karena teridentifikasi?” potongnya.

Saya tertawa. “Gue suka karakternya aja. Biarpun secara fisik posisinya nggak enak, tapi dia nggak terlalu mengasihani diri sendiri. Oshima juga pintar dan bitchy, interaksi Kafka sama Oshima bikin novel ini jadi makin jenaka dan enak dibaca. Kalo lo teridentifikasi sama karakter yang mana?”

“Oshima bitchy?!” Teman saya tertawa. “Sebetulnya gue lebih merasa teridentifikasi sama pengarangnya. Dia terpengaruh budaya Barat, tapi nilai-nilai itu berpadu dengan budaya dan tradisi Jepang,” lanjutnya. “Gue pikir perpaduan dari dua nilai itu merupakan refleksi besar dari keadaan kita, terutama gue: hidup dalam keadaan dilematis di bawah pengaruh nilai-nilai Barat versus nilai-nilai Timur. Ngerti, kan? Hal-hal seperti norma, tata krama, tradisi, atau bahkan agama.”

Pesanan kami tiba. Nasi goreng hangat menggunung di atas dua piring dengan kerupuk-kerupuk kecil. Saya mengambil wadah acar mentimun dan menawarkannya kepada teman saya. Ia menolak, saya lantas mengambil untuk diri sendiri.

“Jadi maksud lo Haruki Murakami memasukan unsur budaya Barat dan budaya Jepang ke novelnya secara seimbang?” Saya bertanya setelah menyelesaikan kunyahan pertama.

“Bukan seimbang. Gue nggak bisa menjelaskan seberapa banyak dia memasukan budaya Barat atau Jepang. Yang jelas keduanya berpadu dengan mengagumkan, beautifully blending,” jelas teman saya. “Awalnya gue pikir bakalan susah buat bisa memahami novel Haruki Murakami, ternyata nggak. Malah gue nggak bisa berhenti ngebacanya, beda sama Virginia Woolf yang narasinya suka lompat-lompat. Meskipun Kafka on the Shore punya keruwetannya sendiri pada alur cerita dan latar belakang karakter, gue berani bilang bahwa pembaca pemula sekalipun bisa dengan mudah memahami semua detil pada setiap bab.”

Kami melanjutkan makan, sampai kedua piring kami licin tandas dan es teh kami habis. “Do you mind if I smoke?” tanya teman saya.

Saya mengangkat bahu. Go ahead. Saya memperhatikan caranya menyalakan sebatang rokok. “Gue kurang suka sama karakter Kafka. Dia lemah sekali. Dia butuh alter egonya Gagak buat bisa mengungkapkan apa yang sebetulnya ia rasakan. Kalau nggak ada interaksi dengan Oshima, Sakura, atau Nona Saeki bab-bab yang berfokus pada Kafka bakal sangat membosankan. Mungkin karena karakternya masih remaja, ya? Murakami sendiri mendeskripsikan bahwa Kafka sedikit bicara karena suaranya belum sepenuhnya berubah.”

“Memang karakter Kafka masih remaja,” sahut teman saya. “Tapi kata gue buat ukuran remaja dia termasuk maju. Dia berani kabur dari rumah waktu usia lima belas tahun dan dalam cerita ini, Kafkalah yang banyak ngambil keputusan penting, termasuk apakah dia ngerealisasiin ramalan ayahnya; dan gimana ia sampe pada keputusan kembali ke rumah dan sekolah.” Ia terdiam sejenak. “Kalau gue nggak ngerti tentang peristiwa-peristiwa aneh di dunianya Nakata.”

“Gue nggak begitu mempertanyakannya. Ibaratkan seperti Harry Potter, kita nggak mengunakan logika kita buat memahami dunia sihir itu, kan? Bagi gue kejadian-kejadian yang dialami Nakata memang kejadian yang perlu terjadi agar Kafka bisa pulang ke rumah; agar Murakami bisa lebih banyak berfilsafat, membicarakan Francois Truffaut, membicarakan Hegel,” sahut saya. “Ada dialog tentang Hegel yang masih gue ingat. Jadi Hoshino, teman Nakata, berdiskusi sama Colonel Sanders dengan bahasa yang rumit banget. ‘Sebuah subyek harus memproyeksikan diri kepada obyek sehingga nilai subyek tersebut makin meningkat’. Kalau disederhanakan seperti ‘Menempatkan diri sendiri di posisi orang lain’, kan?”

“Bukan itu sebetulnya. Ini dibahas kok di mata kuliah Psikologi Fenomenologi, gue dapet A. Mungkin elo harus menanyakannya pada temen kita yang lain, skripsinya tentang fenomenologi.”

“Oh,” ujar saya. Selesai ia menghabiskan hisapan rokoknya, kami keluar dari tenda kaki lima. Langit malam itu kemerah-merahan, milky twilight. Setelah membayar ongkos parkir, kami mengendarai motor masing-masing menuju arah yang berlainan.

Kamis, 15 Januari 2009

Vicky Cristina Barcelona

Hari Senin ketika mengembalikan film ke Comic Corner, penjaga rentalnya, Tesya, sedang tidak ada di balik meja. Sambil menunggu dia, saya melihat-lihat sambil bertanya-tanya, "Ada film baru apa, nih?" Tidak berapa lama, penjaga rental datang dan tangan saya sudah menggenggam display Vicky Cristina Barcelona. Huh, di saat saya sudah berniat tidak akan meminjam film lagi.

Vicky Cristina Barcelona bercerita tentang dua gadis Amerika yang menghabiskan musim panas di Barcelona, Vicky dan Cristina. Apabila Vicky (Rebecca Hall) adalah seorang rasional yang ke Barcelona untuk menyusun tesis masternya tentang budaya Catalan, sedangkan Cristina (Scarlett Johannson) merupakan gadis impulsif pada fase di mana sensualitasnya jauh lebih menonjol daripada aspek-aspek lain kepribadiannya. Kedua sahabat ini sependapat hampir di semua hal, kecuali soal cinta. Pada suatu hari pandangan masing-masing soal cinta diuji dengan kehadiran pelukis playboy Juan Antonio (Javier Bardem), beserta Maria Elena (Penelope Cruz), mantan istrinya yang gila.

Film yang baru mendapat piala Golden Globe kategori Film Komedi Terbaik ini ditulis dan disutradarai Woody Allen, salah satu favorit saya. Kebanyakan film-film Allen yang saya tonton berpremiskan sebuah ide yang sederhana, mulai dari Annie Hall, Match Point, Scoop, Hollywood Ending, sampai Melinda and Melinda. Premis dasar Vicky Cristina Barcelona sendiri adalah bagaimana dua orang dengan pendapat yang begitu berlawanan tentang cinta bisa sampai jatuh hati kepada orang yang sama. I know it sounds cheesy. Namun jangan pernah mengharapkan cerita yang logis dan rasional ketika menonton karya Woody Allen. Anggap saja ini sebagai sebuah dongeng kecil yang menyenangkan. Oh ya dalam Vicky Cristina Barcelona, Allen menggunakan narasi voice over yang membuatnya lebih leluasa membuat alur film ini bergulir dari satu highlight ke highlight lainnya alih-alih mengkonstruksi adegan-adegan dengan prinsip sebab-akibat.

Penonton Vicky Cristina Barcelona tidak hanya akan dimanjakan dengan pemandangan indah Barcelona beserta bangunan arsitektur karya Gaudi-nya, tetapi juga dengan akting dan tampang para aktor-aktrisnya yang tidak jelek: Scarlett Johannson, Penelope Cruz yang sukses memerankan wanita-cantik-berbakat-tapi-sinting, Rebecca Hall yang selalu menarik (ia menjadi istri Christian Bale dalam film The Prestige, dan menjadi fling-nya James McAvoy dalam Starter for 10), dan Javier Bardem (pembunuh bercukuran aneh dalam No Country for Old Men, yang sukses berperan sebagai playboy berat!). Semuanya berperan sesuai dengan porsinya, membuat dongeng ini semakin plausible saja. Selain itu, yang layak untuk disebutkan adalah dialog-dialog yang cerdas dan lucu, sesuatu yang akan selalu dinantikan setiap penggemar ketika menonton film-film Woody Allen.

Namun biar bagaimanapun, apabila menginginkan tontonan yang lebih gelap, akan selalu ada The Curious Case of Benjamin Button dan Revolutionary Road.

Kamis, 08 Januari 2009

Laika

FRS tinggal sehari lagi, tiba-tiba saya jadi keranjingan membaca. Bosan dengan buku-buku yang isinya tulisan semua, saya pun memilih Laika, sebuah graphic novel (komik yang bertema berat, seperti novel) karya Nick Abadzis.

Laika ditulis berdasarkan kisah nyata seekor anjing, bernama Laika tentu saja, yang merupakan makhluk hidup pertama yang dikirimkan ke ruang angkasa. Cerita ini berlatar pada awal Perang Dingin, sekitar tahun 1950-1960an, di mana Uni Soviet dan Amerika Serikat bersaing ketat di segala bidang, termasuk teknologi penjelajahan ruang angkasa. Setelah Rusia berhasil meluncurkan satelit tanpa awak Sputnik I, yang sukses menjadi simbol keberhasilan propaganda Uni Soviet sebagai sebuah kekuatan adidaya, diceritakan Presiden Nikita Kruschev menjadi semakin bernafsu untuk memamerkan teknologi yang dimiliki negaranya. Maka untuk merayakan ulang tahun revolusi Uni Soviet, Kruschev memerintahkan agar para ilmuwannya kembali meluncurkan satelit dalam tenggat waktu satu bulan. Tentu saja satelit kali ini mesti berbeda dengan satelit yang pertama. Untuk itu, para ilmuwan maju dengan ide mengirimkan anjing ke ruang angkasa.

Sebetulnya saya sudah mengincar Laika sejak beberapa minggu yang lalu, hanya saja harganya terlampau mahal. Untuk sebuah komik yang tidak menyertakan nugget (deskripsi cerita di sampul belakang), Laika dibandrol seharga 63 ribu rupiah. (50 ribuan, harga Toko Buku Diskon Togamas.) Di sampulnya tidak ada endorsement maupun tanda-tanda komik ini pernah mendapat penghargaan, alhasil membeli Laika sebetulnya setengah berjudi karena saya tidak tahu ceritanya memang bagus atau tidak. Belakangan, baru diketahui bahwa graphic novel ini memenangkan Eisner Award (penghargaan tertinggi untuk karya komik) pada kategori Komik Terbaik Untuk Remaja, dan menjadi nominator untuk kategori Komik Terbaik Berdasarkan Kisah Nyata.

Bisa dibilang Laika sangat baik dari segi cerita maupun akurasi fakta. Emosi pembaca besar kemungkinan akan teraduk-aduk oleh alur cerita komik full-color ini, apalagi kalau pembaca tersebut pecinta anjing atau memiliki hewan peliharaan. Ketika membaca Laika, saya tidak merasa menemukan pesan-pesan politis yang eksplisit, seperti: Komunisme itu dekat dengan Fasisme, dsb. Dan ini adalah nilai tambah. Saya jadi teringat komik Tintin yang pernah saya baca ketika anak-anak: Ekspedisi ke Bulan dan Penjelajahan di Bulan. "Apakah ada propaganda dalam komik Tintin?" Tampaknya pilihan Nick Abadzis untuk tetap berfokus pada interaksi Laika dengan manusia di sekitarnya, merupakan pendekatan tepat untuk membuat pembaca bersimpati pada anjing yang luar biasa ini.

Laika diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Berhubung gambarnya berwarna semua, kertasnya jadi agak bagusan. Wajar bila harganya mahal. Direkomendasikan untuk penggemar novel grafis dan orang-orang yang tertarik mempelajari perang dingin, terutama perang teknologi ruang angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Rabu, 07 Januari 2009

The Slippery Slope

The Slippery Slope atau Lereng Licin, judul Bahasa Indonesianya, adalah buku kesepuluh serial Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Event. Pada Lereng Licin, seperti biasa Baudelaire Bersaudara harus menghadapi kebengisan/kebodohan Count Olaf dan pengikut-pengikutnya. Meskipun demikian, jalan cerita serial ini semakin seru saja: Sunny Baudelaire bukan lagi seorang bayi tak berdaya, ia sudah bisa mengucapkan kalimat-kalimat sederhana; Violet Baudelaire jatuh cinta kepada Quigley Quigmire, salah seorang dari triplet Quigmire yang ternyata masih hidup; dan Baudelaire Bersaudara dan Quigley Quigmire mesti berhadapan dengan organisasi rahasia yang disembunyikan oleh orang tua mereka, P.K.S. 

Bisa dibilang Lereng Licin akan memuaskan penggemar Serial Lemony Snicket. Apalagi novel anak-anak ini diterjemahkan dengan cukup baik oleh Primadonna Angela. Apalagi A Series of Unfortunate Event memang mengandung banyak pun, yang tentunya sulit untuk diterjemahkan. Donna Angela mengakali ini dengan mencantumkan banyak footnote, ini tidak dilakukan oleh penerjemah-penerjemah sebelumnya. Saya tidak sabaran membaca buku kesebelasnya.

Senin, 05 Januari 2009

Norwegian Wood

Ada cerita panjang yang jadi latar belakang saya membaca buku Norwegian Wood. Begini, sebetulnya sudah cukup lama saya menemukan novel karya Haruki Murakami ini di toko buku langganan. Hanya saja buku yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris yang diterjemahkan dari Bahasa Jepang ini kurang menarik minat. Ketakutan akan kualitas terjemahan yang buruk masih membayangi, setelah membaca Misteri Soliter (Jostein Gaarder) dan membeli The Name of The Rose (Umberto Eco) yang sampai saat ini masih belum habis dibaca.

Satu-dua tahun kemudian, seorang teman menanyakan kepada saya yang sedang sedih berat, “Apa kamu sudah baca novelnya Haruki Murakami?”

Saya menggeleng, si teman itu terdiam. Jelas tanggapan saya menutup sebuah kemungkinan obrolan panjang. Untuk menebusnya saya lantas bertanya, “Apa kamu sudah baca Ryu Murakami?”

Giliran dia yang menggeleng. Kami pun membincangkan topik lain.

Beberapa minggu kemudian, saya kembali berkesempatan mengobrol dengan teman yang sama. Kali ini saya tidak sesedih ketika pertama kali topik Haruki Murakami keluar. Kami berbicara, tetapi keakraban yang muncul tidak seperti yang saya harapkan. Saya mengeluh langsung kepadanya bahwa ia bahkan tak membuat kontak mata dengan saya. (Kepercayaan diri saya termasuk agak rendah.) Ia menyangkalnya. Suasana pun menjadi tidak enak. Setelah berbasa-basi dengan teman-teman lain yang juga duduk semeja dengan kami, si teman itu lantas menanyakan, “Apa kamu sudah baca Haruki Murakami?”

Saya menyahutinya dengan sebal, “Dan apa kamu sudah baca Ryu Murakami? Bagaimana, sih? Kita kan sudah membicarakan ini sebulanan yang lalu!” Dan suasana pun menjadi semakin tidak enak.

Keesokan harinya, saya langsung menyesali sikap buruk saya. Saya pikir-pikir memang salah teman saya itu apa sih? Tidak ingat small talk yang dibuat lebih dari dua minggu yang lalu? Juga kalau saya betul-betul menginginkan agar ia membuat kontak mata, mengapa saya tidak menunjukkan minat pada topik yang ingin dibicarakannya, misalnya Haruki Murakami? Alih-alih saya malah membunuh semua dialog yang bisa saja terjadi di antara kami. Saya memang sering konyol.

Saya lantas mencari Norwegian Wood ke tempat penyewaan buku langganan, hasilnya nihil. Tidak kehabisan akal, saya menghubungi teman saya yang biasa mengoleksi novel-novel berat. Ternyata ia juga tidak punya, tetapi ia tahu tempat penyewaan yang menyediakan novel tersebut. Dan begitulah bagaimana saya bisa sampai membaca Norwegian Wood.

Norwegian Wood, novel ini dinamakan sama seperti lagu The Beatles, ‘Norwegian Wood (The Bird Has Flown)’, dari album Beatles favorit saya Rubber Soul. (Sebetulnya Norwegian Wood bahkan bukan lagu favorit saya, saya lebih suka ‘Nowhere Man’, ‘Michelle’, ‘I’m Looking Through You’, ‘In My Life’, atau ‘Run for Your Life’.) Alkisah tokoh utama dalam novel ini, Watanabe (37 tahun), terkenang akan masa lalunya ketika mendengar alunan lagu Norwegian Wood di perjalananannya menuju Jerman. Sebuah masa lalu yang suram tetapi tidak membosankan.

Pembaca Norwegian Wood lantas diajak melihat gambaran kehidupan anak muda di Jepang pada dekade 1960-an dengan Watanabe sebagai pengarahnya. Pada awal cerita, Watanabe adalah laki-laki berusia delapan belas tahun yang ingin memulai kehidupan baru setelah sahabatnya di kampung bunuh diri. Menghindari persaingan ketat memasuki perguruan tinggi negeri di Jepang, ia memilih melanjutkan studinya di jurusan Teater sebuah universitas swasta biasa di Tokyo. Watanabe pun tinggal di sebuah asrama, dari sini ia mulai bertemu dan tanpa disadari menjalin keterikatan dengan teman-teman tidak biasa dengan masalah dan keunikan mereka masing-masing. Teman-teman Watanabe seperti mewakili karakter anak-anak muda di Jepang, mulai dari yang depresi, dingin, ceria, sampai yang kesepian.

Norwegian Wood bukanlah novel yang sulit dibaca. Terjemahan Bahasa Indonesianya memang setebal 550 halaman, tetapi untuk menyelesaikannya saya hanya butuh waktu enam hari. Itu pun sambil membaca buku lain. Dapat dikatakan terjemahan Bahasa Indonesianya tidak mengecewakan. Selain itu Haruki Murakami ternyata adalah pengarang yang memang tidak layak untuk dilewatkan. Selain deskripsinya yang sederhana tetapi kuat, pada umumnya karakter Murakami adalah anak muda-anak muda yang merasa teralienasi dari kebudayaan dan perkembangan Jepang yang begitu pesat pada dekade 60-an. Melalui karakter yang hidup dan sangat mengidentifikasi tersebut, Murakami seperti menelaah dan mengkritisi kebudayaan Jepang. Sedikit banyak, Norwegian Wood mengingatkan saya pada komik 20th Century Boys dan film Lost in Translation.

Ada banyak referensi pop dalam Norwegian Wood, mungkin mewakili selera Murakami. Dengan asumsi tersebut seorang teman saya yang lain menyimpulkan bahwa novelis itu menyukai banyak jenis musik, berkisar di daerah pop, rock, folk, dan jazz. The Graduate disebut-sebut beberapa kali, sekali secara langsung, dan sekali lagi secara implisit. Meskipun Watanabe dikisahkan menganggap film yang disutradarai Mike Nichols, dibintangi Dustin Hoffman dan Anne Bancroft, itu tidak istimewa, tetapi saya yakin The Graduate berkesan bagi Murakami sampai-sampai ia menyebutnya berkali-kali.

Ketika selesai membaca Norwegian Wood, saya kembali berkesempatan bertemu dengan teman yang menanyakan apakah saya membaca Haruki Murakami. Saya menyapanya dan menceritakan kalau saya sudah membaca Norwegian Wood. Saya betul-betul berusaha memancing keluarnya pembicaraan dari topik ini: menceritakan tokoh mana yang saya suka dan tidak suka (Saya teridentifikasi dengan Midori, tetapi saya bilang suka Naoko.), menanyakan adegan mana yang paling ia ingat, mengulang alur cerita, dan menanyakan apa makna akhiran novel ini kepada teman saya itu. Ia lantas menceritakan pengalamannya membaca novel Haruki Murakami yang lain, Kafka on the Shore; dan bagaimana ia membeli After Dark di Periplus di mana itu adalah buku satu-satunya. Selesai mengobrol, saya lantas pulang ke rumah dengan merasa lega. Paling tidak sekarang ia telah melihat sisi saya yang sedikit lebih waras.