Senin, 30 Maret 2009

Mon(k)ey Business

Saya tidak suka dengan uang. Terlepas dari kesenangan mendapatkan, memiliki, dan membelanjakannya; saya kesal dengan bagaimana kepemilikan seseorang atas uang mampu memengaruhi perilaku orang-orang di sekitarnya, dan ... ya, saya cukup payah dalam memanajemen keuangan sendiri. Pada tanggal tiga puluh ini, tidak ada selembar uang kertas pun yang ada dalam dompet saya.

***

Saya sudah bermasalah dengan uang semenjak saya masih kecil. Ketika kelas satu SD, saya senang sekali mengonsumsi Jagoan Neon, permen yang warnanya bisa menempel di lidah. Masalahnya sekemasan kecil permen ini harganya dua ratus lima puluh rupiah. Padahal ibu telah menetapkan bahwa uang saku saya sehari hanya dua ratus rupiah. Alhasil untuk bisa membelinya saya memakai uang jajan yang setiap hari diberikan ibu, dan uang jajan ekstra yang saya minta dari bapak tanpa sepengetahuan ibu. Taktik ini berjalan dengan mulus, sampai suatu hari kakak saya membocorkannya dan saya pun dimarahi habis-habisan. Bapak pun menjuluki saya Jagoan Jajan.

Tidak berhenti sampai di situ saja, serangkaian 'kejahatan' keuangan lain yang saya lakukan termasuk menggunakan uang SPP untuk jajan dan membeli komik Detektif Conan, diam-diam mencuri uang dari dompet seorang teman (mudah-mudahan ia memaafkan saya), berjualan cokelat demi menambah uang jajan (menjadi masalah ketika usaha ini sukses besar dan malah menjadi prioritas utama saya ke sekolah alih-alih belajar), dll. Duh! Malu rasanya mengingat semua kejadian itu.

Beruntung saya sempat tinggal di kota kecil bernama Magelang. Berhubung di sana tidak terlalu banyak yang bisa dibeli, belanja saya pun terkendali. Pulang-pergi ke sekolah saja saya berjalan kaki, dan di sekolah saya tidak pernah jajan! Perilaku hemat ini sedikit banyak terbawa ketika saya kembali ke Bandung, bahkan selama SMA saya bisa menabung dalam jumlah yang cukup besar. Sayangnya, situasi tersebut tidak bertahan lama. Saya sekarang tidak tenang bila melihat saldo uang yang ada di buku tabungan. Baru terkumpul sedikit, sudah bernafsu membelanjakan. Saya melampiaskan stress dengan berbelanja buku dan DVD bajakan. Uang saya juga banyak keluar untuk eating out, membeli bahan bacaan kuliah, dan merawat motor di bengkel (yang ini sangat mengeluarkan uang).

Makin sedih lagi, usaha saya mendapat uang tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan selalu menemui jalan buntu. Saya sangat mau bekerja sambilan, tetapi waktu saya masih banyak tersita oleh kesibukan kuliah. Sialnya, kesibukan yang dimiliki di luar kuliah juga memang tidak dimaksudkan menghasilkan uang tambahan. Saya pernah hampir diterima bekerja sambilan, tetapi tidak jelas kelanjutannya. Jangan-jangan penampilan mengindikasikan saya merupakan anak manja yang tidak biasa bekerja. Percayalah! Selain sementara memfasilitasi sebuah lingkaran penulis dan menjadi calon pemagang di LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja; di rumah saya melakukan hampir semuanya sendiri: mencuci baju sekeluarga, mencuci piring sekeluarga, mencuci motor, menyapu dan merapikan kamar, dan kadang-kadang menyetrika. Tidak ada pembantu yang berdomisili di rumah keluarga saya.

***

Melalui catatan yang dibuat saat tengah bokek-bokeknya ini, saya bertekad akan kembali meneruskan jurnal catatan pemasukan dan pengeluaran saya yang terhenti pada November 2008. Memilah-milah mana transaksi yang layak dilakukan dengan yang tidak. Saya akan kembali menulis resensi film dan buku agar bisa mendapat pinjaman gratis di Rumah Buku. Alih-alih makan atau berbelanja, apabila stress saya akan berjalan kaki. Quite a plan, huh?

Rabu, 25 Maret 2009

When I Whistle

When I Whistle saya dapat dari book fair-nya anak-anak Fakultas Ekonomi Unpar setahunan yang lalu. Saya membelinya dari stand Periplus Bookstore. Terjemahan novel Jepang ke bahasa Inggris dengan kondisi lumayan dibandrol seharga 5000 perak saja, siapa yang rela melewatkannya?


Harga yang murah itu ternyata membuat saya cukup lama menunda-nunda membaca novel ini. Biasalah, saya cenderung kurang menghargai hal-hal yang didapat dengan mudah. Namun, When I Whistle (diterjemahkan Van C. Gessel) sama sekali tidak mengecewakan. Penulisnya, Shusaku Endo, ternyata telah mendapatkan berbagai penghargaan literatur di Jepang sana, antara lain Akutagawa Prize (yang juga pernah dimenangkan peraih Nobel Sastra 1994, Kenzaburo Oe; dan penulis thriller psikologis, Ryu Murakami), Tanizaki Prize (yang pernah dimenangkan novelis favorit saya, Haruki Murakami pada 1985), dll.

Novel ini berlatarkan Jepang pada dua periode: sebelum perang dan saat ini (When I Whistle terbit di Jepang pada tahun 1974). Tokoh utamanya adalah pasangan ayah dan anak yang berlainan sifat, Ozu dan Eiichi. Kehidupan Ozu sebagai remaja mewakili situasi Jepang pada masa yang lebih sederhana: masa di mana Nada Middle School masih menerima siswa-siswa bodoh berhati baik; dan ketika anak perempuan tidak berbicara dengan anak laki-laki. Sementara itu kehidupan Eiichi berpusat di sebuah rumah sakit lengkap dengan segala politiknya. Dokter Eiichi yang ambisius meraih apa yang diinginkannya dengan mendorong keluar siapapun yang menghalangi jalannya. Ia mengkhianati koleganya yang jujur, menyingkirkan perawat yang pernah menjadi kekasihnya, dan berusaha mendekati putri direktur rumah sakit demi mengamankan posisinya. Sementara Eiichi menyalahkan Ozu karena tidak memiliki tempat dalam lingkungan kelas atas Jepang, Ozu menyalahkan Eiichi karena tidak bertanggung jawab kepada pasiennya.

Mau tak mau saya membandingkan karya Shusaku Endo ini dengan karya-karya penulis kesukaan saya, Haruki Murakami. Saya mendapati keduanya memberikan kritik terhadap modernisme. Bagaimana modernisasi yang berlangsung di Jepang menghapus banyak nilai-nilai yang justru menjaga otonomitas manusianya. Walaupun demikian, gaya menulis keduanya berbeda jauh. Apabila tulisan Murakami sureal dan banyak mencantumkan referensi pop, maka dunia dalam tulisan Endo terasa lebih dekat dan serius menganalisis pilihan moral yang diambil para karakternya.

Minggu, 15 Maret 2009

A Jihad for Love, Antara Islam dan Homoseksualitas

Meskipun seharusnya diam di rumah dan mengerjakan take home exam mata kuliah Kajian Strategis, saya menghabiskan sore hari Sabtu kemarin (14/3) dengan bepergian ke sana dan ke mari. Totalnya ada tiga acara yang sempat saya kunjungi: pembukaan ruang interaksi seni 'Titik Oranje' di rumah keluarga besar Nia, pertemuan mingguan writers' circle di toko buku Reading Lights, dan pemutaran film di Tobucil. Karena laporan tentang jalannya acara pertama dan kedua sudah bisa dilihat di sana dan di situ, maka saya akan langsung menceritakan acara ketiga: menonton pemutaran film A Jihad for Love di Tobucil.



A Jihad for Love (2007) adalah film dokumenter yang membahas tentang hubungan antara Islam dan homoseksualitas. Film ini disutradarai oleh Pervez Sharma, seorang sutradara India gay muslim. Menurut data yang saya peroleh dari internet, dokumenter ini difilmkan di 12 negara dan sembilan bahasa yang berbeda. Sayang, saya datang terlambat sehingga cuma bisa melihat lima negara saja. Sharma mewawancarai para muslim homoseksual yang berdomisili di Arab Saudi, Iran, Irak, Pakistan, Mesir, Bangladesh, Turki, Perancis, India, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan Inggris. Ia mencari subyek wawancaranya melalui internet, dan menerima sekian ribu e-mail tanggapan.

Setelah melihat homoseksual muslim dari berbagai negara, sedikit banyak saya dapat membanding-bandingkan kehidupan mereka. Misalnya di Turki, sepasang lesbian bisa berpelukan mesra di depan mesjid tanpa ada konsekuensi hukum dari pemerintah, sedangkan di Iran, boro-boro berpelukan, seseorang yang ketahuan homoseksual akan ditangkap dan keluarganya akan terancam keselamatannya.

Ada beberapa cerita yang masih lekat di benak saya sampai saat ini, salah satunya adalah cerita seorang imam di Afrika Selatan yang homoseksual. Film ini mendokumentasikan bagaimana usaha imam tersebut dalam menjelaskan homoseksualitas di dalam sebuah mesjid. Bahasan tentang Islam dan homoseksual tentu tidak terlepas dari adzab yang menimpa kaum Sadoum dan Amourah, surat Hud 74-83. Si imam berusaha menjelaskan bahwa alasan Tuhan menimpakan adzab bukan karena Sadoum dan Amourah homoseksual, melainkan karena mereka adalah bangsa yang jahiliyah.

Hal tersebut mengingatkan saya kepada pembicaraan dengan seorang teman beberapa waktu yang lalu. Kami membahas tentang dosa, homoseksualitas, dan kitab suci. Saya menangkap, teman saya mengimani bahwa kitab suci memang merupakan firman Tuhan yang turun untuk menyelesaikan berbagai persoalan dengan konteksnya masing-masing. Sementara saya percaya kitab suci adalah hasil dari kecerdasan manusia, kecerdasan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sulit memercayai bahwa kitab suci memang merupakan firman Tuhan yang secara konkret, per ayat, diturunkan bagi manusia. Dengan kata lain, saya percaya bahwa ada sentuhan manusia di dalam penulisan kitab suci, sentuhan yang lebih dari sekadar penafsiran. Maka saya tidak setuju ketika teman saya mengatakan bahwa konteks adzab Sodom dan Gomorrah adalah karena mereka merupakan bangsa yang biadab. Menurut saya konteks cerita itu adalah agar para pengiman kitab suci lantas tidak menyukai sesama jenis. Kebiadaban mereka lebih merupakan asosiasi dari fakta bahwa Sodom dan Gomorrah adalah bangsa yang homoseksual. Ini merupakan pendapat personal, tentu saja.

Kembali ke cerita imam di Afrika Selatan, pada akhirnya ia menyatakan bahwa bagaimanapun sulit bagi seorang homoseksual mencari posisi di dalam Islam. Kitab suci tegas dalam hal ini. Yang bisa dilakukan adalah berijtihad, berusaha mendapatkan pemahaman dengan berpasrah diri kepada Tuhan.

Kisah lain yang menarik adalah tentang pasangan gay di Iran yang ditangkap karena ketahuan gay dan melangsungkan pernikahan. Ceritanya setelah enam tahun berhubungan, suatu hari mereka memutuskan untuk mengadakan pernikahan budaya Iran. Lengkap dengan segala ornamen dan kegiatan-kegiatan seremonialnya. Acaranya sukses, pasangan ini mengingatnya sebagai hari yang membahagiakan. Masalah muncul ketika dokumentasi dari pernikahan mereka jatuh ke tangan orang yang salah, dan akhirnya mendarat di kantor kepolisian. Dengan dokumentasi pernikahan sebagai bukti, mereka ditangkap, disiksa, dan akhirnya dibuang ke Turki. Namun, di negara sekuler itu pun hidup mereka tidak tenteram. Mereka mengkhawatirkan nasib keluarganya di Iran. Cerita ini mengingatkan saya dengan pidato Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad di Columbia University, New York, September 2007. Dalam pidatonya itu Ahmadinejad mengatakan bahwa tidak ada homoseksual di Iran (!!!), perkataan itu kontan disambut tawa dan cemooh dari para mahasiswa yang hadir. Ini klipnya:



Perhatikan 2:53. Ini transkripnya:
MR. COATSWORTH: (Off mike) -- and drug smugglers. The question was about sexual preference and women. (Applause.)
PRESIDENT AHMADINEJAD: In Iran, we don't have homosexuals like in your country. (Laughter.) We don't have that in our country. (Booing.) In Iran, we do not have this phenomenon. I don't know who's told you that we have it. (Laughter.)

A Jihad for Love: jihad biasanya didefinisikan sebagai suatu perjuangan fisik demi menegakkan ajaran Tuhan. Makna jihad dalam judul film ini sebetulnya lebih bersifat personal: bagaimana sekumpulan manusia berjuang mencari penerimaan atas homoseksualitas mereka di dalam agama Islam. 'Love' di sini maknanya bukan hanya kasih sayang yang berasal dari pasangan sesama jenis kelamin, melainkan juga kasih sayang yang berasal dari Tuhan, yang eksistensinya seringkali direpresentasikan melalui ajaran agama.

It's really a depressing thought, di satu sisi ajaran agama adalah seperangkat ajaran yang diyakini kebenarannya sehingga dijadikan sebagai way of life, tetapi di sisi lain apakah seseorang bisa menganut ajaran agama tertentu dengan taat apabila preferensi seksualnya saja tidak diperbolehkan dalam agama tersebut? Menghadapi kondisi seperti ini biasanya yang dilakukan adalah memilih untuk taat pada sejumlah ajaran tertentu dan mengabaikan ajaran yang lainnya. But if you pick and choose which tenets of a religion apply to you, is it still a religion? Saya ingat teman saya menganalogikan ajaran agama/kitab suci sebagai meja yang penuh dengan makanan: ada yang kita suka dan ada yang kita tidak suka. Bisa saja kita terus memilih menyantap makanan yang kita suka, tetapi kita tidak akan pernah tahu seberapa besar manfaat dari memakan apa yang tidak kita suka.

Pemutaran A Jihad for Love merupakan bagian dari acara Klab Nonton Tobucil bekerja sama dengan Cinema Politica Indonesia. Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan Klab Nonton bisa dilihat di sini.

Jumat, 13 Maret 2009

Selekta Busik, Milm, dan Fuku

Tiga minggu belakangan, sebetulnya ada banyak musik, film, dan buku yang saya nikmati. Namun, saya agak malas menulis resensinya. Saya terjebak dengan keruwetan format resensi sendiri! Untuk seterusnya, tulisan-tulisan di blog ini akan berformat lebih santai.

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat bagi penyanyi folk favorit saya, Ryan Adams, yang menikah dengan mantan bintang pop remaja, Mandy Moore, pada tanggal 10 Maret 2009. Mereka berbeda delapan tahun, Adams 32, sementara Moore 24. Saya tidak terlalu hapal nama mantan-mantan mereka. Seingat saya Ryan Adams pernah pacaran dengan indie film star Parker Posey, sementara Mandy Moore dengan petenis Amerika Serikat Andy Roddick. Sebetulnya agak aneh juga melihat mereka menikah, apalagi jenis aliran yang digeluti berbeda dan mereka pacaran baru satu tahun. Meskipun begitu saya tetap berharap yang terbaik bagi mereka.

'Mong-omong, minggu lalu saya menghadiri Q Film Festival, yang memutar film-film bertemakan gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Ada dua film yang saya tonton, judulnya I Don't Want to Sleep Alone (IDWSA) dan Balls. IDWSA berlatarkan Kuala Lumpur, Malaysia. Saya melewatkan awal film karena ketika sampai di Rumah Buku ternyata film ini sudah mulai diputar. Yang saya tangkap, IDWSA bercerita tentang seorang perantau babak belur yang akhirnya dirawat oleh seorang tenaga kerja imigran. Si TKI akhirnya jatuh hati dengan si perantau, sementara si perantau malah tertarik dengan pembantu rumah tangga tempat kos si TKI. Lucunya, sesi making out antara perantau dan pembantu ini sering terganggu kabut asap yang 'diekspor' oleh Indonesia. Akhirnya mereka malah batuk-batuk dan tidak jadi making out. Film ini banyak bermain dengan tuturan visual, sementara untuk dialog dan musiknya bisa dibilang cukup minimal.

Lain IDWSA, lain Balls. Apabila IDWSA cukup nyeni dan simbolis, Balls agak mirip dengan film-film olahraga Holywood yang biasanya memenangkan underdog. Diceritakan seorang pemuda Jerman anak tukang roti, Ecki, dibuang oleh timnya karena gagal menangkap penalti dan belakangan ketahuan gay. Merasa murka karena dihina terus-terusan, Ecki menantang tim yang mengusirnya untuk bertanding dengan tim sepakbola yang isinya laki-laki homo semua. Tantangan pun disambut. Masalahnya adalah tidak ada tim sepakbola seperti itu. Ecki harus memulai semuanya. Petualangan pencarian anggota tim pun dimulai. Ecki dan kakaknya lantas berkeliling ke bar-bar gay di Dortmund, mulai dari yang normal sampai yang menawarkan S & M. Sebetulnya jalan cerita film ini cukup mudah diprediksi, tetapi unsur komedinya cukup kuat. Ada banyak tawa di Balls, cocok untuk ditonton bersama banyak teman.

Beralih ke buku, sekarang saya sedang membaca dua buku sekaligus: When I Whistle karya Shusaku Endo dan The 2½ Pillars of Wisdom-nya Alexander McCall Smith. When I Whistle sebetulnya sudah lama saya miliki. Saya membeli buku itu ketika ada Book Expo di Unpar satu atau dua tahun yang lalu, jadi stand Periplus Bookstore mengobral banyak novel-novel terjemahan Jepang ke Bahasa Inggris dengan harga 5000/buku! Goblok rasanya kalau tidak memborong banyak buku, tahu sendiri betapa langkanya novel Jepang yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Nah, When I Whistle ini termasuk salah satu dari buku yang saya borong. Setelah lama didiamkan, minggu ini saya mulai membacanya. Temanya ternyata cukup menarik, semacam bildungsroman berlatar Jepang sebelum Perang. Belakangan baru saya sadar, kalau Shusaku Endo ini termasuk pengarang Jepang yang mendapat berbagai macam penghargaan bergengsi di sana.

Di sela-sela membaca When I Whistle, saya menyempatkan membaca The 2½ Pillars of Wisdom. Saya membelinya ketika ke Ommunium bersama teman baik saya saat ini, Nia, beberapa waktu yang lalu. The 2½ Pillars of Wisdom terdiri dari tiga 'buku serial' yang digabungkan menjadi satu buku. Novel ini banyak bercerita tentang kehidupan akademisi di Eropa: bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan PhD, simposium-simposium apa yang mereka hadiri, dan bagaimana mereka memperlakukan koleganya, dianggap kawan atau lawan? Tokoh utamanya adalah Dr. Moritz-Maria von Igelfeld, seorang philologist (ahli bahasa) dengan karya tulisnya yang mengagumkan tetapi angka penjualannya rendah. Saya baru selesai membaca 'buku' pertamanya, Portuguese Irregular Verbs, yang terdiri dari fragmen-fragmen kejadian yang bisa dibaca secara terpisah. Novel ini sendiri sangat-sangat tipikal karya Alexander McCall Smith yang ringan, lucu, tetapi tidak terlewat membahas masalah etika. Cocok dibaca pada sore hari yang cerah di teras rumah sembari minum minuman hangat.

Terakhir, saya membahas musik. Saya baru saja mengunduh album selftitled-nya Conor Oberst, pentolan Bright Eyes, yang kental dengan nuansa folk-nya. Saya juga lagi suka-sukanya mendengar Rilo Kiley, album The Execution of All Things dan More Adventurous. Musiknya cukup ceria tipikal band indie Amerika Serikat akhir 90-an dan awal 2000-an. Tidak ketinggalan saya mengunduh Dark Was The Night, sebuah album kompilasi amal yang dibuat artis-artis indie. Yang terlibat antara lain Feist, Grizzly Bear, The Arcade Fire, Yo La Tengo, Sufjan Stevens, Cat Power, you name it. Sepertinya semua artis yang suka janjian untuk membuat album ini.

Rabu, 04 Maret 2009

The Wind-Up Bird Chronicle

Belakangan ini saya menggemari novelis Jepang, Haruki Murakami. Dalam novel-novel yang saya baca sebelumnya, Norwegian Wood dan Kafka on the Shore, Murakami selalu menggunakan sudut pandang orang pertama dari karakter protagonis yang tidak yakin ingin melakukan apa pada kehidupannya. Intinya Murakami banyak bersikap kritis terhadap modernisasi Jepang di dalam novel-novelnya. Modernisasi dianggap membuat manusia kehilangan otonomi dirinya, sehingga mereka tidak lagi menjadi pelaku tetapi menjadi korban dalam perkembangan kebudayaan.

Pada novel-novelnya, Murakami juga kerap mencantumkan referensi pop dari kebudayaan Barat. Karakter-karakternya gemar mendengarkan The Beatles, Beethoven, Bob Dylan, menonton The 400 Blows-nya François Truffaut, The Graduate-nya Mike Nichols, dan membaca The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Bagi beberapa orang, pencantuman referensi ini tentu akan menimbulkan perasaan teridentifikasi: di satu sisi identitas mereka adalah Timur, sementara di sisi lain mereka mengonsumsi produk-produk budaya Barat: musik top 40, film Holywood, dan serial televisi barat. Kemunculan referensi pop ini sebetulnya cukup aneh, bukankah Murakami mengritik modernisasi dan masuknya kebudayaan populer Barat adalah dampak dari modernisasi? Mungkin ini adalah bentuk kejujurannya yang melawan modernisasi tetapi tetap mengakui bahwa dirinya tidak bisa terlepas dari produk-produk budaya Barat.

Terlepas dari itu semua, membaca The Wind-Up Bird Chronicle seperti pengalaman baru yang memberikan sensasi berbeda dari membaca novel Haruki Murakami yang lain. Novelnya yang pertama saya baca adalah Norwegian Wood (1987), dilanjutkan Kafka on the Shore (2004), dan terakhir The Wind-Up Bird Chronicle (1992-1995). Membaca dengan urutan ini seperti mendaki bukit, bila Norwegian Wood adalah karya pengenalan yang paling normal dan Kafka on the Shore karya pertengahan yang agak sinting sedikit, maka The Wind-Up Bird adalah karya puncak Murakami yang penuh dengan percampuran antara 'dunia nyata' dan surealisme.

Di Jepang, The Wind-Up Bird Chronicle sebetulnya diterbitkan dalam tiga buku berseri. Berbeda dengan edisi Bahasa Inggrisnya, di mana tiga buku itu disatukan dalam satu volume buku setebal 605 halaman paperback, kurang lebih seukuran buku Harry Potter, tetapi ukuran hurufnya paling tidak 1.5 kali lebih kecil. Dengan Bahasa Inggris dan disiplin membaca yang pas-pasan, perlu dua minggu lebih bagi saya untuk menamatkan novel ini. Untungnya Murakami adalah pencerita yang baik dan variatif, sehingga saya tidak pernah merasa kebosanan. Baik di sini berarti apa yang ditulisnya memang menarik (di luar bab-bab yang berfokus pada kejahatan perang di Manchuria, yang bagi beberapa orang mungkin menarik tetapi bagi saya sangat membosankan), sementara variatif maksudnya Murakami kerap variasi dalam format penulisan, di mana selain format bab konvensional kadang-kadang dia mencantumkan 'artikel koran', surat, transkrip chatting, dll. The Wind-Up Bird Chronicle, yang lebih dari sepuluh tahun lalu ditulis di Jepang, tidak akan terasa kuno meskipun dibaca di Indonesia pada saat ini.

Bab-bab awal The Wind-Up Bird Chronicle pernah dimuat di mingguan budaya prestisius, The New Yorker, sebagai cerpen. Cerpen tersebut mengandung banyak referensi pop: Len Deighton, Robert Plant, Cartier, Allen Ginsberg, Adidas, dan majalah Penthouse, yang akhirnya dipangkas habis pada versi novelnya. Oh ya, dalam novel ini referensi pop Murakami tidak seheboh di novel-novel yang lainnya. Murakami lebih mengeksplorasi dunia mimpi; mitos-mitos lama di Jepang mengenai sumur, kucing. Pokoknya The Wind-Up Bird Chronicle sangat post-modernisme, di mana tatanan ditiadakan dan ilmu berkembang secara tidak linear. Murakami bukanlah penulis yang takut memberikan solusi bersifat metafisis, yang tidak akan dimengerti dengan pikiran yang logis. Banyak kebetulan yang menyatu seperti rantai, seakan semua memang sudah ditakdirkan. Sekilas, membaca novel-novel Murakami mengingatkan saya dengan serial Supernova karya Dewi Lestari.

The Wind-Up Bird Chronicle bisa dipinjam di Rumah Buku dengan biaya sewa 8500 rupiah. Bagi yang belum pernah membaca Haruki Murakami tetapi berniat melakukannya, disarankan memulai dengan Norwegian Wood.