Minggu, 30 Desember 2012

Pengalaman Membaca Buku Paling Diingat 2012 (Bagian 2)


Beberapa tahun belakangan, saya merupakan warga negara Indonesia pencinta buku berkelakuan buruk. Saya tak rutin lagi membaca cerpen dan ulasan buku di media massa besar, sebutlah Kompas dan Tempo. Saya tidak lagi mengikuti berita naskah apa yang memenangkan sayembara penulisan, maupun buku apa yang memenangkan penghargaan kesusasteraan. Twitter, Goodreads, dan blog penggemar buku menjadi telinga yang mendengar judul apa yang sedang dibaca dan banyak dibicarakan orang. Namun, nyaris tidak memberikan pengaruh terhadap pola belanja buku saya. Saya semakin jarang membeli buku berbahasa Indonesia terbitan baru. Meskipun kunjungan ke toko buku hampir tiap minggu dilakukan, kebanyakan berakhir dengan tangan hampa.

Saya merindukan: ulasan buku penuh rayuan, yang membujuk saya mau terjun ke dalam lubang demi memuaskan rasa ingin tahu. Saya ingin: membaca wawancara dengan penulis, yang memberi gagasan tak hanya tentang siapa si penulis dan tentang apa bukunya, tetapi juga dunia di mata penulis—apa pandangannya pada peristiwa yang terjadi saat ini. Saya mengharapkan: media massa di Indonesia memiliki jawaban atas edisi 20 Under 40 mingguan The New Yorker. Edisi ini memuat dua puluh cerpen yang ditulis dua puluh penulis berusia di bawah empat puluh tahun. Pembaca The New Yorker pun dimanjakan beragam tema dan gaya penulisan, sekaligus kisi-kisi bakat baru yang layak memperoleh perhatiannya. Saya memimpikan: pengalaman belanja yang berbeda di setiap toko buku. Penjual buku adalah seseorang yang paham dagangannya dan siapa pembelinya. Mereka menjadi semacam kurator, di mana buku-buku di tokonya merupakan kepanjangan dari selera dan kepribadian masing-masing. Mereka harus ramah luar biasa, serta secara rutin menyusun deretan buku unggulan yang lantas mereka promosikan secara aktif dan kreatif. Penjual buku idaman saya akan membuat struktur di mana dengan mudah pengunjung toko bisa terlibat lebih jauh di dalam toko buku, dengan merekomendasikan buku favoritnya kepada pengunjung lainnya.

***

4. Daftar pengalaman membaca paling berkesan 2012 ini berlanjut menanggapi pertanyaan seorang teman pada sebuah siang cerah yang tak terlalu sibuk, "Biasanya kamu beli buku berdasarkan apa, Andika?”

“Saya membaca punggung bukunya,” sahut saya. “Mencari tahu buku itu tentang apa, melihat endorsement-nya, lalu membaca paling tidak beberapa halaman pertama. Kalau lantas mau melanjutkan, baru saya beli.”

“Terus kalau bukunya dibungkus plastik kamu buka?” tanyanya.

“Eh … “ saya diam sejenak, “jawaban saya tadi biasanya cuma dilakukan waktu berkunjung ke toko buku bekas saja. Saya nggak pernah beli buku baru.”

“Jadi kamu beli buku baru berdasarkan apa?”

“Mungkin resensi. Kalau saya suka karya dia sebelumnya, ada kemungkinan saya beli karya terbarunya.”

Kenyataannya, dalam setahun ini hanya satu kasus yang sesuai jawaban terakhir saya: Na Willa karya Reda Gaudiamo.

Reda Gaudiamo adalah penulis istimewa bagi saya. Ketika SMA (serasa lima juta tahun lalu) saya sudah suka membaca, tetapi belum suka menulis selain diary. Belum kenal ambisi menerbitkan karya. Suatu hari, berjalan kaki pulang dari sekolah di daerah Dago, saya melihat sebuah toko buku kecil berukuran setengah garasi. Toko itu kelihatan teduh dan sepi—mungkin itu kesan yang tak sengaja muncul dari letaknya di tepi jalan yang dinaungi bayangan pohon-pohon besar. Tidak terburu-buru, saya pun mampir. Saking sepi dan mungilnya, hanya melangkah masuk saya sudah merasa bersalah karena menginterupsi lamunan penjaganya. Setelah beberapa menit painfully self-conscious, saya menemukan kumpulan cerpen pertama Reda yang berjudul Bisik-Bisik.

Bisik-Bisik berukuran kecil, berwarna jambon, dan dibungkus plastik yang bisa dibuka tanpa harus dirobek. Penasaran dengan judul serta penggalan cerpen di punggungnya, saya membuka bungkus plastik buku itu. Membaca beberapa cerpen, saya tak langsung terpikat tetapi cukup senang dengan format cerpennya yang dialog semua. Baru! Saya kemudian keluar membawa pulang Bisik-Bisik. (Sebagian karena kesulitan memasukkannya kembali ke dalam bungkus plastik.) Di kemudian hari, gaya bertutur serba dialog ini menginspirasi saya menulis cerita fiksi berformat sama. Kelihatannya gampang sekali! Sampai sekarang, setiap melihat Bisik-Bisik saya masih ingat hari ketika saya membelinya.

Sebagaimana pembaca buku pada umumnya, setelah menamatkan Bisik-Bisik saya lanjut membaca buku lainnya. Banyak buku. Beberapa di antaranya membuat saya jatuh hati dan sama berpengaruhnya seperti Bisik-Bisik. Saya gembira ketika suatu hari menjumpai Pengantin Baru, buku kedua Reda, di rak perpustakaan. Namun, kecewa setelah membacanya. Meskipun buku itu ditulis penulis kesukaan, rupanya Pengantin Baru belum terlalu beranjak dari Bisik-Bisik. Penuturan yang dulu segar, sekarang berkurang daya tariknya. Terlebih ketika menjelaskan tema serupa. Padahal saya yakin penuturan Reda bisa mengangkat lebih banyak tema secara lebih dalam.

Suatu Minggu pada tahun 2012, menghadapi kebosanan di rumah, saya iseng ke luar untuk beli surat kabar (satu dari dua eksemplar saja yang saya beli tahun ini). Membaca sepintas dari depan sampai belakang, “Waaa, rupanya Reda Gaudiamo mengeluarkan buku lagi! Judulnya Na Willa!” seru saya sesampainya pada halaman resensi buku. Muncul keinginan membaca dan memiliki Na Willa, apalagi (walaupun dengan kata-kata sifat sederhana) buku itu digambarkan sebagai buku layak baca. Beberapa hari kemudian hal itu saya lakukan, dan saya sama sekali tidak menyesal.

Sebagian kesenangan membaca Na Willa muncul dari buku itu sendiri: Desain buku apik, dengan ilustrasi cantik hampir di setiap halaman. Gaya penuturan sederhana Reda bersinar ketika narasi dalam bukunya disuarakan Willa, seorang anak perempuan jelang usia sekolah. Willa yang senang bernyanyi, main kelereng, belajar membaca, dan ingin segera bersekolah. Saya suka cerita kehidupan keluarga dan bertetangga di permukiman pinggir kota Surabaya pada 1960-an. Saya suka perbedaan etnis orang tua Na Willa, dan cerita ketika Willa memutuskan ingin mirip siapa. Saya menghormati Mak, ibu Willa yang di balik setiap hukuman fisik menyimpan harapan terbaik bagi anaknya. Membaca Na Willa memunculkan perasaan hangat. Sebegitu sukanya, tanpa malu saya membuat serangkaian tweets tentang buku ini disertai harapan di antara follower saya yang tak seberapa itu ada yang membeli Na Willa.

Kesenangan lain. Muncul. Dari perasaan haru mendapati hati kembali tertinggal pada seorang penulis yang pernah sangat disuka.

Inilah pengalaman membaca paling menyenangkan selama 2012!

(Bersambung)

Sabtu, 29 Desember 2012

Pengalaman Membaca Buku Paling Diingat 2012

Beberapa waktu lalu saya menghadiri sebuah acara bincang buku ulasan musik. Muncul pertanyaan menarik di tengah hangatnya obrolan, “Hampir semua orang senang mendengarkan musik—apapun jenisnya, tapi mengapa jarang ada yang mengulas musik sebagai bagian dari kehidupannya?”

Ulasan musik di koran dan majalah seringkali sebatas 5 W + 1 H, sementara ulasan di majalah musik cenderung teknis, membahas proses kreatif, dan menggunjingkan kehidupan pribadi musisinya. Saya tertegun, seperti baru disadarkan apa yang membuat saya sering melewatkan ulasan musik: 1. Kemunculan musik baru lebih cepat daripada kebutuhan saya mendengarkan musik baru; 2. Porsi ulasan musik terbatas, penulisnya jadi sering menyerah pada kata sifat dan penggunaan referensi yang belum saya tahu; 3. Kebanyakan musik diulas berdasarkan musik itu sendiri, tidak ditambahi konteks lagi oleh penulisnya. Celakalah saya!

Untungnya, pulang dari acara itu saya seperti dibekali oleh-oleh. Sederhana saja: kalau seseorang bisa jujur mengungkapkan semua alasan yang membuatnya menyukai (atau tidak menyukai) musik yang ia dengar, maka sesungguhnya itu cukup jadi bahan baku sebuah ulasan menarik. Terlepas dari musik kegemaran masing-masing, saya percaya kebanyakan orang merasakan dan dapat mengenali emosi yang sama pada orang lainnya. Dua orang bisa saja mendengarkan musik serupa dengan alasan berbeda, tergantung apa yang terjadi dalam hidupnya. Telinga tidak harus selalu merespon musik terbaru.

Pada penghujung tahun ini, saya lantas terdorong menuliskan pengalaman membaca buku (“Lho?”) yang paling diingat selama 2012. Mengapa jadi buku? Karena pada akhirnya saya pikir oleh-oleh yang saya bawa pulang tak berlaku hanya untuk ulasan musik. Namun juga, untuk ulasan-ulasan lainnya: buku, film, teater, fotografi, seni rupa, dll. Saya rasa ulasan yang muncul menanggapi hal-hal tersebut tidak berbeda jauh dengan ulasan musik. Belum banyak orang yang dengan sederhana menulis bagaimana ia menempatkan apa yang diulas ke dalam kesehariannya.

Buku merupakan bagian besar dalam hari-hari saya. Kebetulan buku yang saya baca lebih banyak dan beragam daripada musik yang saya dengar secara sadar selama setahun. Itulah yang berupaya saya tunjukkan pada tulisan ini. Selamat membaca!

***

PENGALAMAN MEMBACA BUKU PALING DIINGAT 2012:

1. Urutan pertama akan diberikan kepada buku yang lebih membekas secara fisik daripada secara emosional, 1Q84 oleh Haruki Murakami. Setebal 900-an halaman, buku ini sulit ditopang satu tangan. Karena beratnya itu, dia juga tidak enak dibaca sambil tiduran. (Yang tetap saya lakukan karena nyaris tak ada gangguan membaca jelang waktu tidur malam.) Pembatas buku yang saya pakai sering terselip di selimut. Pernah suatu malam, saking mengantuknya saya malas mencari pembatas itu dan menandai halaman dengan telapak tangan. Sensasi terjepitnya terbawa sampai mimpi, membawa kata dreamlike, yang sering dipakai menggambarkan karya Murakami, ke tingkat selanjutnya.

Lebih jauh, bagian seks dalam 1Q84 justru membuat saya kehilangan nafsu menamatkan buku itu. Dikisahkan suatu malam tiba-tiba tokoh utamanya ereksi seperti batu meskipun tak bisa bergerak dan tak terangsang secara seksual. Seperti sudah tahu dan menanti momen ini, tokoh perempuan yang menumpang di kamarnya lantas mengambil alih, memimpin persetubuhan. Sperma yang keluar lantas tidak membuahi sel telur perempuan yang saat itu bersetubuh dengan tokoh utama, tetapi seperti ditransfer ke perempuan lainnya lagi. Aspek kehilangan kendali tubuh tersebut menakutkan sekaligus membuat saya geram. Selepas bagian itu perlu beberapa saat sebelum saya melanjutkan lagi membaca sampai tamat.

Tahun ini semakin tegas saja kalau saya sudah tidak lagi menggilai Haruki Murakami seperti dulu. Berbeda dari saat membaca novel-novelnya yang lain, saya mendapati diri tak bisa lagi membiarkan kejadian-kejadian aneh di dalamnya berlalu. Tidak bisa lagi hanya berfokus pada perasaan yang timbul akibat membaca kejadian-kejadian itu. Kini saya merasa perlu tahu apakah ada alasan? Ataukah semuanya metafor? Kalau iya. lantas apa maknanya? (“Ayo dong, apa!”) Dulu juga saya sempat berpikiran karakter-karakter Murakami menggambarkan karakter orang Jepang pada umumnya, tetapi dalam profil Haruki Murakami di The New York Times Magazine reporternya mendapati tidak begitu. Jepang dan orang Jepang yang ia temui berbeda dengan Jepang dan orang Jepang dalam buku Murakami.

Usai 1Q84, saya berniat tidak lagi membaca karya Haruki Murakami. Sampai kemudian, beberapa hari setelah ulang tahun, seorang teman baik menghadiahkan novel pertama Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin. Meskipun sudah tidak menggilai, rupanya saya masih bisa membaca buku itu sampai habis. Saya memahami daya tarik Murakami dan menerima kepopulerannya.

2. Sebegitu pemalunya saya, baru tahun ini mau berkenalan dengan sastra Indonesia klasik. Saya mulai sering mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan buku-buku bergenre ini. Judul-judul yang saya tulis pada poin ini seluruhnya didapat dari Lawangbuku Beranda di Baltos dan Perpustakaan Batu Api di Jatinangor.

Saya cocok dengan gaya bahasa dan penuturan Gerson Poyk dalam buku kumpulan cerpen Di Bawah Matahari Bali, tetapi kurang cocok dengan temanya. Itu cukup membuat saya lanjut membaca novel Sang Guru oleh penulis yang sama. Kali ini kecewa total. Suatu hari saya menemukan Hati Nurani Manusia, salah satu novel Idrus. Sudah mengenalnya sejak SMP, ada penggalan “Jalan Lain ke Roma” lengkap dengan tokoh Open dalam buku teks Bahasa Indonesia. Tanpa pikir panjang buku pun dibawa pulang, Aman dari resiko kecewa, batin saya. Namun keliru, Saudara-Saudara! Saya yang mengingat kesederhanaan bertutur sebagai ciri khas cerpen Idrus, lantas menghadapi kenyataan dalam bentuk sebuah novel penuh deskripsi yang tidak lekas menjelaskan apa motif para tokohnya. Deskripsi, deskripsi, deskripsi!

Hati Nurani Manusia berkebalikan dengan kumpulan cerpen Senyum Karyamin Ahmad Tohari yang berplot cergas. Namun ada sesuatu yang membuat saya sulit akrab dengannya. Tema sastra Indonesia klasik yang saya temui kebanyakan seputar hal-hal sulit yang jauh dari ‘tema’ saya. Di Bawah Matahari Bali membahas hubungan laki-laki dengan perempuan. Sang Guru, tentang kesulitan seorang guru yang bertugas Ternate kala meletusnya pemberontakan Permesta. Hati Nurani Manusia, tentang keserakahan serta pengkhianatan. Senyum Karyamin paling getir, bahasannya kelaparan dan kemiskinan petani. Membaca Senyum Karyamin memunculkan rasa bersalah, karena, sambil baca buku itu ada makanan yang terhidang di meja. Ada uang dalam dompet untuk beli makanan. Saya merasa bersalah karena tidak tahu mesti berbuat apa untuk mengurangi penderitaan tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen itu. Bersalah karena tidak bisa apa-apa meskipun memiliki kesempatan lebih daripada mereka.

Sejauh ini, penulis kesukaan saya yang paling mendekati genre sastra Indonesia klasik adalah Vincent Mahieu, alias Jan Boon, alias Tjalie Robinson. Sebetulnya ia berkebangsaan Belanda, tetapi karena besar di Hindia Belanda, tulisannya banyak yang berlatar di sini. Saya suka karena tidak semua rekaman nostalgia diputar manis. Kental juga kepahitan, serta unsur realisme magisnya. Dua buku kumpulan cerpennya, Cis dan Cuk sebetulnya saya baca tahun lalu. Namun, cerpen “Santapan” dari Cis termasuk ke dalam Antologi Cerpen Terbaik Majalah Kisah Indonesia terbitan 1955 yang saya baca tahun ini.

“Santapan” mengambil latar zaman kekuasaan Jepang di Hindia Belanda. Ceritanya tentang seorang pengemis sekarat yang berebut tulang segar dengan seekor anjing. Perebutan tidak dilakukan secara fisik, tetapi dalam benak masing-masing. Sementara kesadaran si pengemis semakin melayang, ia berdialog dengan si anjing. Pada dialog ini anjing keluar sebagai pihak yang sopan dan logis, sementara manusia kasar dan berpikiran kabur. Meskipun “Santapan” memiliki tema serupa dengan “Senyum Karyamin”, ada jarak cukup aman antara latar cerita ini dengan keseharian saya sehingga tidak memunculkan rasa bersalah saat membacanya. “Ini terjadinya dulu,” ujar saya pada diri sendiri.

3. Alih-alih sastra Indonesia klasik, saya malah menyukai sastra Jepang klasik, The Counterfeiter, kumpulan cerpen Yasushi Inoue yang pertama kali terbit pada tahun 1965. Ada tiga cerpen dalam buku ini semuanya menggunakan realisme. Cerpen pertama dan paling berkesan berjudul “The Counterfeiter”. Tentang Hosen Hara, seorang pemalsu lukisan, yang diceritakan dari sudut pandang wartawan yang dapat pesanan menulis biografi seniman besar yang lukisannya ditiru oleh si pemalsu. Hara bukannya tanpa bakat. Akan tetapi, daripada membuka jalan sendiri, ia memilih jalan mengekor sahabatnya. Pada akhirnya jalan mengekor itu juga sama beratnya. Sebagai pemalsu. Hara tidak bisa terlalu lama tinggal di suatu tempat untuk menghindari ketahuan. Membuat kembang api lantas menjadi kesenangan dan obsesinya. Padahal pekerjaan itu sangat berat di musim dingin dan berbahaya bagi lingkungan sekitar. Lama-lama ia kehilangan kemampuan melukis dan dipandang sebelah mata oleh tetangga-tetangganya sampai akhir hayat. Dalam cerpen itu, satu-satunya yang bisa memetik pelajaran dari kisah hidup Hosen Hara adalah si wartawan.

The Counterfeiter saya beli beberapa tahun lalu di pameran buku tahunan Fakultas Ekonomi Unpar. Waktu itu stand toko buku Periplus mengobral karya-karya sastra Jepang klasik semacam The Counterfeiter dengan harga 3.500-5.000 rupiah. Saya membeli banyak, tetapi kemudian membacanya tidak sekaligus saat itu juga. The Counterfeiter ini ditamatkan tahun ini ketika sedang mudik ke Magelang. Saya sulit menjelaskannya, tetapi cerita berlatar Jepang tempo dulu yang penuh dengan nilai dan kebiasaan itu entah bagaimana cocok dibaca ketika berada di Jawa Tengah.