Minggu, 01 September 2013

Cerita Meet Up Card to Post di Bandung


“Kartu yang biru itu lucu.”
“Hei …”
“Eh, jangan deh. Sebaiknya yang Mocca saja! Gambarnya bagus seperti kotak pensil warna. Aku tahu kamu pasti suka!”
“Suka sih suka ... Tapi kan sudah kubilang: Nggak ada cukup tempat menulis di kartu-kartu kecil itu. Buat kesan-kesan Meet Up Card to Post di Bandung ini kita perlu tempat yang luas. Kita butuh lebih banyak kartu.”
“Sebanyak apa?”

***


Pagi itu, di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-68, Fanni dan saya melangkah beriringan memasuki Forest Walk Babakan Siliwangi. Masing-masing dari kami membawa tiga tas gemuk. Orang yang kebetulan lewat boleh jadi menduga kami sedang kawin lari. Apalagi saat kami menggelar tikar dan memasang tali jemuran. Kami yang sebetulnya cuma teman ini lantas mengeluarkan bekal makanan dan peralatan yang mereka bawa dari rumah. Di kejauhan terdengar lagu Indonesia Pusaka. Fanni sibuk dengan teleponnya. Usai menjepit sejumlah kartu pos di tali jemuran. Nah, sekarang tinggal tunggu teman-teman yang lain, pikir saya.
          Saat matahari semakin naik, kami tak lagi berdua. Berturut-turut muncul juga peserta Meet Up Card to Post yang lain: Lana, Upeh, Lily, Tomy, Rizki, Talitha, Muti, dan Widya. Sebagian dari kami baru pertama kali bertemu. Sebagian lainnya pernah berjumpa, tetapi lebih sering bertukar kabar lewat kartu pos. Jumlah teman-teman yang hadir ini kejutan—beberapa hari lalu, setengah bergurau kami memasang target pesimistis, “Yaa, lima atau enam orang!”


“Halo semuanya, kenalin aku Fanni!” Fanni membuka sesi sharing peserta dengan keceriaan seterik matahari siang itu. “Aku mulai jadi anggota Card to Post sekitar Maret 2012. Beberapa temanku sudah jadi anggota duluan. Sejak awal, aku membuat kartu pos handmade. Alasannya aku nggak punya printer dan nggak bisa bikin desain di komputer. Ah, aku ingat kartu yang dulu kukirim ke Rizki! Gambar singa, cupu pokoknya! Dulu pas kuliah aku tinggal di asrama. Waktu mau bikin kartu pos, aku cari-cari inspirasi di dalam kamar. Pas lihat seprei ternyata ada gambar singa, akhirnya kutiru gambar itu dan hasilnya kukirim!” Rizki pun menunjukkan kartu pos singa yang dimaksud dan kiriman terbaru Fanni: kartu pos bergambar seorang model berpose a la street style yang dikerjakan dengan cat air.  Fanni mengangguk bangga, “Mendingan, kan?”
          “Lama-lama, aku mulai penasaran dengan orang-orang yang berkirim kartu denganku. Apa sih yang mereka rasakan waktu mengirim kartu pos? Seperti apa koleksi mereka? Apalagi aku menerima banyak kartu bagus-bagus. Contohnya kartu pos bergambar VW ini. Aku dikirimi Annisa Astitri. Sejak dulu aku dan papa penggemar VW, keluarga kami pernah punya segala jenis VW.”


Fanni melanjutkan, “Setelah dapat kiriman dari Andika, keinginan buat mengadakan Meet Up Card to Post semakin kuat. Karena tahu kita sama-sama dari Bandung, kuajaklah dia ketemu.” Pada titik ini saya tak tahan tidak menyela, “Pertama kali Fanni muncul di blog Card to Post sebetulnya aku iri,“ saya mengakui. “Ini siapa sih? Sering banget dapat kartu. Semua orang juga senang memamerkan kartu buatannya. Kartu yang dibuat Fanni seakan menjeritkan, ‘I’m fun!’ Sementara itu, karena jarang ada yang pamer kartuku, aku sempat khawatir orang-orang yang kukirimi merasa dikerjai. Akhirnya, kucoba mengirimi Fanni kartu. Eh, rupanya dia suka! Dan langsung mengajak ketemu. Aku sempat ragu. Kayaknya kepribadian kami beda, deh. Aku pemalu dan dia ramai. Tapi kupikir, ‘Apa salahnya?’ Setelah bertemu, rupanya kami punya banyak kesukaan yang sama. Lama-lama kami jadi sering berkegiatan sama-sama: bikin kartu pos bareng, nonton gigs bareng, makan bareng, jalan-jalan bareng, bahkan sempat yoga bareng segala! Di luar dugaan aku dapat teman dekat baru. Kalau nggak dari Card to Post, mana bisa aku ketemu Fanni?”
          Fanni pun bercerita tentang preferensi kartu posnya. “Sebetulnya macam-macam. Karena suka gambar, aku suka dapat kartu pos yang digambar sendiri. Aku juga suka crafting, jadi senang dapat kartu-kartu pos crafty seperti buatan Vienna yang memakai teknik paperquilling ini.” Fanni menunjuk kartu pos di belakangnya. “Dan meskipun sekarang di web Card to Post ada tren kartu pos handmade, aku juga suka dapat kartu pos foto. Ada satu teman Card to Post, namanya Rofida Amalia. Awalnya kami kirim-kiriman kartu pos, lama-lama kami bikin proyek bersama: dia mengirim foto, aku membuat tulisan yang diinspirasi fotonya.”

Selanjutnya, Fanni memilih Upeh berbagi pengalaman kartu pos. “Nama saya Ulfa, biasa dipanggil Upeh,” ujar anak ini kalem. Pertemuan dengan Upeh mengejutkan saya. Sebelumnya, saya selalu membayangkan Upeh sebagai perempuan muda sassy, centil, serta sarkastis. Asumsi ini bersumber dari avatar dan foto-foto di web di mana Upeh selalu memamerkan kartu posnya dengan kuku berkuteks. (Jelaslah cacat logika ini meleset jauh dari kenyataan!) Alih-alih, Upeh mendekati teman-teman Card to Post dengan tenang dan senyum malu-malu. Siang itu kukunya pun tak diwarnai. Sejauh ini dalam permainan uji prasangka saya tertinggal 0-2.
          “Aku pertama kali menerima kartu pos kiriman Bening dari Singapura,“ tutur Upeh. “Padahal kami nggak kenal-kenal amat. Suatu hari di Twitter aku membaca tawaran Bening yang lagi kepingin mengirim kartu pos. Karena suka kartu pos, aku menyambut tawaran itu. Rupanya Bening anggota Card to Post, sejak itu aku tertarik bergabung.
          Upeh menyimpan rapi koleksi kartunya dalam kotak bingkisan berpita. “Sebetulnya belum banyak kartu pos yang kuterima. Sebagian kartu yang kukumpulkan beli sendiri, sebagian lagi bikin sendiri. Dulu rasanya susah mencari kartu pos bagus, sekarang semakin banyak.”
          Salah satu kartu pos buatan Upeh bergambar motif bunga dan daun yang digambar sendiri dengan spidol. Kartu itu kelihatan unik, lain dengan kartu-kartu yang sudah muncul di Ruang Pamer Card to Post. “Wah ini harus dikirimin, Pe’!” seru saya antusias. Upeh lantas mengaku, “Aku banyak kok mengirim kartu ke teman-teman yang lain, tapi sedikit yang pamer dan membalas.”
          “Oh, itu sering terjadi,” sahut saya. “Aku dulu juga begitu: mengirim banyak kartu, tapi nggak dapat balasan berminggu-minggu. Lama-lama aku nggak terlalu memikirkan balasan lagi. Kuusahakan paling sedikit mengirim satu kartu pos setiap minggunya. Sekarang hampir tiap minggu aku menerima kartu pos, yang mengirim juga nggak selalu orang yang terakhir kukirimi.”
          Sebelum menyudahi kisahnya, Upeh sempat berbagi cerita tentang mengirim kartu pos pada … “Kecengan,” ujarnya. Serta merta peserta lain menajamkan telinganya. “Terus dibalas, Pe’?” “Enggak perlu balasan,” jawab Upeh tegas. “Ini bukan soal balasan, tapi soal usahaku menyampaikan sesuatu.”


Upeh meminta Lana melanjutkan cerita. Di jagat Card to Post, kartu pos dari Lana memiliki penunggu setianya. Lana menggambar dengan khas dan kerap menyambung kisah setiap kartu pos yang diterimanya. Dialog tak hanya dilakukan lewat tulisan, tetapi juga lewat gambar. Ketika para peserta Meet Up berjumpa langsung dengannya, Lana tak banyak berkata-kata. Namun, mungkin saja pemudi berpotongan rambut bob ini sebetulnya juga berkata-kata dengan cara lain. Hari itu Lana memakai t-shirt berfoto laki-laki yang merokok; bisa jadi pesannya: Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not.


“Pertama kali, aku kenal Card to Post dari zine-zinean online Salamatahari,” Lana mengawali cerita. “Aku juga pemalu, jadi senang bisa menyampaikan sesuatu lewat gambar dan tulisan” Sambil bicara, ia memilih-milih kartu dari koleksinya. “Karena aku suka paper doll—boneka kertas yang bajunya bisa diganti-ganti—aku lalu mengirim kartu pos dengan cetakan paper doll. Dari kirim-kiriman ini, aku mengenal food blogger yang minta dikirimi kartu pos paper doll juga. Kami pun kirim-kiriman. Lama-lama, aku nggak mendengar kabarnya lagi. Setelah tahun baru 2013, aku mengirim lagi kartu pos ke dia. Kata-katanya, ‘Halo, lama tak jumpa.’ Dia lalu mengirim kartu pos bergambar orang hampir tenggelam yang berseru, ‘Tolooong!’  Rupanya temanku cerita kalau rumahnya baru saja kebanjiran. Belakangan dia sibuk mengurusi soal ini. Kartu pos ini berkesan karena di saat yang sama aku sedang praktek kerja lapangan di Jakarta.
          “Waktu di Jakarta kegiatanku cuma pergi ke kantor dan pulang ke kost-an, begitu terus setiap hari. Aku bahkan nggak sempat berkirim kartu pos karena nggak tahu di mana kantor pos. Padahal ada satu yang persis di belakang kantorku.”
          Ketika ditanya soal gambar-gambar, Lana tersenyum, “Aku punya metode mengirim kartu pos: pertama kartu pos yang datang kukumpulkan sampai agak banyak, baru aku menggambar semua kartu balasannya. Kadang-kadang, menunggu mood menggambar ini agak lama, jadi balasannya juga lama,” Lana tertawa bersalah. “Sebetulnya dulu cita-citaku jadi anak seni rupa, tapi belum kesampaian karena nggak keterima di negeri. Akhirnya jadilah aku anak jurnalistik. Karena suka gambar, maka aku tetap melakukannya. Aku berupaya agar gambar dan tulisanku bisa dilihat banyak orang. Maka dari itu aku bikin zine bersama teman-teman.”
          “Gambar kamu detail, Lan! Dari mana asal detail itu?” tanya Fanni.
          “Sebetulnya detail gambarku itu dibuat untuk menutupi kekuranganku dalam menggambar. Misalnya kesulitanku membuat gesture. Aku mencoba menutupinya dengan menambahkan detail. Detail yang kecil-kecil.”

Lana kemudian menunjuk saya. Saya tak suka karena setiap bicara di depan umum jantung saya berdebar dan konsentrasi buyar! “Aku dulu juga kenal Card to Post dari Salamatahari. Waktu itu edisi ‘Soal Essay’, pembaca bertugas menulis sendiri isi Salamatahari. Rupanya Card to Post keluar dalam ujian! Aku suka menulis, jadi senang-senang saja waktu bikin cerpen yang terinspirasi header Card to Post. Cerpenku sama sekali nggak berhubungan dengan apa Card to Post sebenarnya, tapi membuatku penasaran mencari tahu tentang komunitas ini. Tadinya kukira Card to Post semacam toko online yang menjual kartu pos, tapi ternyata nggak begitu juga. Akhirnya aku daftar jadi anggota Card to Post.”
          “Begini,” jelas saya, “ada satu hal yang selalu kulakukan sewaktu mengenal teman baru dan merasa nyaman dengan mereka: aku selalu bilang kalau aku homoseksual. Tujuannya supaya nggak tersangkut rumitnya percintaan dan nggak dijodohkan salah sasaran. Nah, itu juga yang kulakukan pada teman-teman yang kukirimi kartu pos pada kartu pos pertama. Tapi ini justru bikin aku jarang dapat balasan.”
          “Untungnya aku kepikiran mengirim kartu ke Sundea, penulis Salamatahari yang sudah kukenal duluan.,” saya melanjutkan. “Meskipun sekarang Dea jarang mengirim kartu, tapi balasannya waktu awal aku bergabung membuatku tetap semangat berkirim kartu pos. Lama-lama ada juga anak Card to Post yang terus membalas kartuku, namanya Hanifah Nurhayati. Aku suka nulis panjang di kartu pos, dia juga suka. Kami bertukar banyak cerita, termasuk karakter Spongebob favoritnya (Sandy) dan episode Spongebob favoritku (Imajinasi).”
          Semakin bertambah usia, semakin saya merasa jauh dari para teman dekat yang sibuk di tempat berlainan. Sama seperti semua orang lain, saya kira, kadang-kadang saya kesepian. “Aku mulai mengirim kartu ke teman-teman di luar Card to Post. Meskipun nggak semua membalas dengan kartu, pada umumnya mereka senang menerimanya. Yang cukup mendebarkan adalah waktu aku mengirim kartu buat ‘Opa di Toko Vintage Garasi Opa,” ujar saya. “Sebetulnya aku kenal para pemiliknya cukup lama, tapi hubungan kami sempat renggang dan membuatku sedih. Kepalaku pening waktu kartu itu berpindah tangan ke petugas kantor pos. Berpikir, ‘Andika apaan sih?’ Rupanya ditanggapi positif. Aku masih suka mengirim ke alamat itu, tapi sekarang ditujukan langsung buat pemiliknya. Bukan buat ‘Opa’ lagi.”
          “Aku juga pernah mengirim kartu ke teman yang diam-diam kusukai,” kenang saya. “Dia baik, selalu membalas kirimanku dengan surat pendek dalam amplop cokelat. Sampai suatu hari dia berhenti membalas. Tapi aku nggak ambil pusing karena nggak ada lagi desakan menyampaikan sesuatu.”

Setelah saya, giliran Lily bercerita. Di antara kami, Lilylah yang memiliki pengalaman korespondensi paling banyak. Bila kita menyimak ceritanya, tak perlu waktu lama sebelum menyadari jalan pikirannya yang panjang. Namun gayanya bertutur terbuka dan sederhana sehingga enak untuk disimak.
          “Waktu kecil dulu, aku suka kirim-kiriman surat dengan sepupuku. Dia tinggal di Bandung, aku di Jakarta. Pas SMA, aku ikut pertukaran pelajar. Aduh, itu kesepian sekali! Aku tinggal bersama para koboi di Arkansas. Mana waktu itu internetnya masih dial up connection …” tukas Lily. “Aku mulai lagi menyurati keluarga dan teman-teman. Semuanya kutulisi. Dulu dalam seminggu aku bisa sampai mengeposkan tiga surat. Bedanya dengan di Indonesia, di sana kita nggak perlu membawa surat yang sudah berprangko ke kantor pos. Tinggal kita masukkan ke bus surat, setelahnya kita balik bendera di bus surat. Nanti surat itu akan dijemput Pak Pos. Bendera merupakan tanda bahwa bus surat terisi.”
          “Aku suka menerima kartu pos yang dibuat dengan tangan. Sejak dulu aku suka kerajinan tangan. Ibuku betul-betul crafty mama! Segala kerajinan pernah dicoba. Aku jadi ketularan. Kalau bikin kerajinan bareng kadang aku suka diledek, ‘Anak Kriya Keramik masa nggak bisa?’ Beberapa waktu lalu aku menerima kartu pos dari Putut yang gambarnya dibuat dengan cetakan kayu. Sampai sekarang kartunya belum kubalas karena kupikir, ‘Wah, ini aku harus bikin sendiri juga!’”
          “Kemarin ada mahasiswa Korea ke kampusku, ITB, ujar Lily. Waktu mau pulang, aku dan teman-teman minta dia mengirimi kami kartu pos. Eh, rupanya dia ingat—waktu sampai di Jepang dia betul-betul mengirim! ‘Aku sudah sampai Jepang, lho!’ katanya. Waktu tiba di China dia mengirim sekotak kartu pos yang katanya harus dipakai sampai habis. Gambarnya lucu-lucu! Sayang dia nggak mencantumkan alamat, aku jadi bingung mau membalas ke mana. Aku sepakat sama temanku, semua kartu pos memang harus dikirim. Yang namanya kartu pos semakin berarti kalau dia menyampaikan pesan kepada seseorang.” “Setujuuu!” timpal Fanni.
          “Ada seorang teman, tepatnya mantanku, yang lagi kuliah di Swedia. Sampai sekarang dia masih suka kirim kabar.” Lily menunjukkan beberapa kartu. “Lihat, deh. Prangko dan cap posnya bagus-bagus, kan? Kalau di sini, kayaknya prangkonya itu-itu terus. Oh ya, pokoknya kalau ada cowok yang mau jadi pacarku, dia harus suka juga kirim-kiriman surat atau kartu pos,” Lily mengumumkan. “Itu prasyaratnya.”

Habis Lily, terbitlah Rizki. Pemuda berkacamata ini adalah salah satu pendiri Card to Post yang mengampanyekan ajakan berkirim kartu ke berbagai media. Inspirasi Meet Up kami adalah sederet kegiatan Card to Post yang sudah digerakkan Rizki dkk. di Jakarta dan Yogyakarta. Setiap anggota Card to Post menemukan satu sama lain akibat upaya mereka. Dapat dibayangkan betapa senangnya peserta Meet Up Bandung saat berkesempatan bertemu dan mendengarkan cerita Rizki.
          “Sebetulnya Card to Post berawal dari keinginan memiliki karya teman-teman,” tutur Rizki. “Saya penggemar fotografi. Bersama teman saya membuat online zine kumpulan foto, Memang Terlalu—MALU. Tadinya ide Card to Post dimaksudkan sebagai proyek MALU. Tapi kemudian idenya berkembang setelah saya cerita ke teman-teman. Setelah intens bercerita sama Dea, muncul ide menjadikan Card to Post sebagai bagian perayaan ulang tahun Salamatahari. Karena itulah ulang tahun Card to Post (17 November) dekat sekali dengan ulang tahun Salamatahari (19 November).”
          “Kemudian bergabunglah Putri. Kami bertiga pernah ikut suatu workshop sama-sama. Rupanya kemudian Putri mengeluarkan banyak ide seru buat Card to Post! Salah satunya Kartu Pos Untuk Presiden. Proyek ini membuat Card to Post diliput di berbagai media dan semakin dikenal luas. Kami pun berkeliling dan membuat acara pengumpulan Kartu Pos Untuk Presiden ke berbagai kota,” lanjut Rizki. “Putri kelebihannya bisa bergerak cepat. Berkat dia dan teman-temannya, acara pengumpulan itu bisa terdokumentasi dengan baik. Ada videonya. Putri punya banyak teman yang bersenang hati membantu kami melakukan kegiatan ini secara sukarela, termasuk membuat website. Sebelum punya website sendiri, awalnya Card to Post memakai akun Tumblr, lalu sempat juga pindah ke Blogspot. Dulu sempat kewalahan memenuhi permintaan alamat anggota secara manual. Admin harus membaca satu per satu e-mail yang masuk, serta menjawabnya. Inilah yang membuat dulu request alamat butuh waktu lama. Karena buat melakukannya, sehari bisa habis sekitar satu jam sendiri. Sejak ada website Cardtopost, request alamat dilakukan otomatis.”
          Rizki lantas bercerita tentang proyek-proyek Card to Post yang lain. “Selain Kartu Pos Untuk Presiden juga ada Kartu Pos Berantai,” ujarnya sambil mengeluarkan beberapa Kartu Pos Berantai yang dibawanya. “Kartu Pos Berantai ada yang berbentuk cerita, kolase. Sebetulnya ada juga kelompok gambar, tapi nggak ada satu pun kelompok gambar yang mencapai garis finish. Rupanya susah juga. Ada peserta yang tiba-tiba enggan meneruskan kartunya. Ada kartu-kartu yang tertunda di kantor pos, hilang. (“Kartu kelompokku!” ratap Fanni.) Padahal di setiap kartu disertai memo, ‘Pak Pos, tolong antarkan kartu ini dengan selamat, ya? Kartu pos ini sangat penting! Terima kasih.’”
          Proyek Kartu Pos Untuk Presiden juga mengalami hambatan. “Sampai sekarang kartu-kartu ini belum dikirim kepada Presiden. Alasannya, semua kartu yang masuk belum terdokumentasikan dan bisa diakses oleh masyarakat. Sayang sekali kalau hanya dikirim, lalu hilang kabarnya. Tadinya kami mau menyelenggarakan pameran dan membukukan Kartu Pos Untuk Presiden, tapi terkendala dana. Sejauh ini cara untuk memamerkannya adalah di acara-acara offline dan di timeline Twitter.”

Usai Rizki, teman-teman yang belum bercerita adalah Muti, Talitha, Widya, dan Tomy. Namun karena Muti, Talitha, dan Widya sama-sama newbie yang datang terlambat, maka mereka tidak sempat berbagi cerita. Sesi sharing diakhiri dengan cerita Tomy, seorang pelukis jenaka yang senang melukis kartu pos yang diterimanya ke atas kanvas.
          “Skalanya 1:1. Kalau ditanya mengapa, jawabannya sama seperti kalian. Saya awalnya terinspirasi kartu yang dikirim mantan saya,” ujarnya sembari cengengesan. Tomy pun menunjukkan kartu yang dimaksud. “Kartu ini bergambar sebuah lukisan di Museum Louvre. Sejak itu, saya malakin teman-teman saya mengirimi kartu juga. Saya melukis bagian depan dan bagian belakang kartu.”
          “Ayo kita kirimin Tomy kartu pos foto kita!” seru Lily. “Biar dilukis. Atau kita kirim yang gambarnya rumit sekalian. Eh, mungkin dia pilih-pilih juga ya.”


Tomy tersenyum. “Beberapa lukisan selesai dengan cepat karena saya senang mengerjakannya, tapi di beberapa lukisan yang lain saya menemukan masalah dan selesainya bisa sampai satu tahun.
          Saya mengangguk-angguk. Saya tak mengerti bagaimana cara sebuah karya dihargai secara materi. Namun saya menduga, jika ada orang yang melukis kembali kartu pos yang diterimanya—termasuk pesan-pesannya dengan tulisan semirip mungkin. Barangkali kartu-kartu itu sangat penting baginya. Kartu-kartu pos, meskipun dari orang yang sama, kadangkala tulisannya berbeda-beda. Barangkali juga, dengan menulis kembali pesan si pelukis bisa lebih mengerti perasaan si penulis kartu pos. Saya bertanya-tanya, seandainya saya memiliki kemampuan melukis Tomy, kartu mana yang ingin saya perlakukan begitu.

***

Sesi cerita berlanjut dengan sesi membuat kartu pos bersama. Pada Meet Up ini, Lily melontarkan ide permainan berkirim kartu pos secara anonim. Setiap peserta menulis alamatnya dalam sebuah kertas kecil yang lantas digulung dan dibagikan lagi ke masing-masing peserta. Setiap peserta mesti menulis kepada orang dengan alamat yang didapatnya. Kepada siapa kartu pos kita ditujukan merupakan TOP SECRET.
          Berbeda dengan sesi cerita, sesi membuat kartu pos lebih enak diceritakan lewat gambar. Mari mengamati saja foto-foto yang diambil oleh Rizki:







Sampai di sini, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana hari itu waktu terasa begitu cepat berlalu. Sesi membuat kartu pos bersama lantas diikuti sesi makan siang dan mengobrol bebas. Dengan wajah riang Muti dan Widya pamit pulang duluan. Setelah berjalan kaki mencari tempat makan, akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang cukup bagi semua. Kami pun berusaha mengenal satu sama lain lebih baik: Rizki mencari tahu peluang pekerjaan di Bandung; Lana bercerita tentang zine-nya; Talitha tentang kesenangannya berburu barang antik; Tomy memberikan tutorial melukis kaki Fanni; saya, Upeh, dan Lily saling bertukar alamat dan nomor telepon, Tiba-tiba langit berawan, dan waktu sudah menunjukkan sekitar jam empat sore. Di luar tempat makan, masing-masing peserta berpisah dengan senyum senang.

***

          “Ini Rizki kan yang menulis laporan acaranya?” tanya Fanni.
          Rizki melihat saya, “Itu kayaknya Andika mau?”
          “Ya, aku mau!” seru saya. Ketika memulai tulisan ini, ia mendapati suara-suara di benaknya saling bersahutan.

“… Buat kesan-kesan Meet Up Cardtopost di Bandung ini kita perlu tempat yang luas. Kita butuh lebih banyak kartu.”
“Sebanyak apa?”
“Sebanyak ini. Lihat deh.”


Senin, 26 Agustus 2013

Laki-laki dan Studio Foto

(Kemarin saya bikin kartu pos cergam. Ceritanya diadaptasi dari film pendek arahan Ali Seiffouri dan Alireza Khatami yang berjudul Focal Point. Kartu ini akan dikirim ke seorang teman yang hobi membuat pas foto dengan macam-macam kostum.)






(Bersambung)

Kamis, 01 Agustus 2013

Cerita Bergambar: Mencari Halaman yang Lalu

Kepada Pemuda-Penggemar-Tintin:
Kita berjumpa tidak sengaja di taman bacaan.
Kamu berjongkok di depan rak Eropa,
masih mencari petualangan yang ingin kaulalui.

Malam itu kita membaca komik bersama.


Minggu lalu saya datang pada hari dan jam yang sama,

berharap membaca kembali halaman yang juga sama.
Namun, saya tidak menemukannya di mana-mana.



Minggu ini justru saya takut kalau-kalau melihatmu.

Bagaimana jika kita hanya diam meskipun bertemu?



Sekarang saya berpikir, Bagaimana dengan minggu depan?




(Maaf saya sempat lupa namamu.)


TAMAT

Sabtu, 29 Juni 2013

Setelah Menonton Dreileben

Perlahan Risma dan saya beranjak dari Auditorium 8. Kami baru menonton sebuah film Jerman, Dreileben: Etwas Besseres Als Den TodTiga Kehidupan: Lebih Baik Daripada Mati. Pikiran saya masih terbuai irama jazz lagu Cry Me A River yang mengiringi akhir film tersebut. Risma melangkah pelan di sebelah saya. Dengan tatapan menabrak lantai. ia menggumam, “Dik, mereka berdua kok kerjanya santai-santai sih?”
            ‘Mereka’ adalah Ana dan Johannes. Keduanya tokoh utama dalam film berlatar kota kecil di pinggiran hutan ini. Ana bekerja sebagai petugas kebersihan hotel, sementara Johannes perawat magang di rumah sakit. Sepanjang film memang hanya sesekali kami melihat Ana dan Johannes disibukkan pekerjaan masing-masing. Apa yang kami saksikan adalah pertemuan keduanya, bagaimana mereka lalu jatuh cinta dan menari pelan diiringi lagu Cry Me A River. Alih-alih menyaksikan Ana repot membereskan ranjang, kami melihatnya berciuman dengan kekasihnya di atas ranjang. Dan karena film ini perpaduan kisah cinta dan pembunuhan, adegan romantis tersebut diikuti langkah cepat seorang pria bersenjata.

“Aku nggak suka Ana,” tukas Risma. “Dia emosional banget! Cepat berbuat sesuatu yang bikin rugi diri sendiri.”
            Sebetulnya Risma dan Ana memiliki kesamaan: sama-sama bekerja di hotel. Meskipun tidak seperti Ana, Risma bekerja sebagai staf sales and marketing. Risma sering bercerita bagaimana pekerjaannya tak lantas selesai ketika ia meninggalkan kantor. Di luar jam kerja, ia masih berkewajiban menjawab telepon klien yang menanyakan maupun menyampaikan keluhan mengenai hotel. Setiap orang ingin dilayani ramah, Risma pun harus bisa mengatur emosi saat mengangkat telepon. Rupanya inilah yang terberat. Semakin sering kami menghabiskan waktu bersama, semakin sering saya menyaksikan perubahan wajah Risma dari rileks menjadi problem solving mode ketika teleponnya berdering. Saya mengerti alasan Risma kurang menyukai Ana.
            “Ris, teoriku beda sama teorimu,” ujar saya. “Kupikir kalau Johannes dan Ana sama-sama nggak bolos kerja, mungkin pembunuhnya bakalan lebih cepat menghabisi Ana. ‘Kan Ana jadi lebih sering sendirian? Justru karena berduaan terus sama Johannes, dia jadi ada yang melindungi!”
            Risma tertawa mendengar ‘teori’ saya, tetapi ia tak menanggapi lebih jauh. Teleponnya bergetar.

Dreileben merupakan trilogi film yang diproduksi televisi Jerman. Meskipun setiap film diarahkan sutradara yang berbeda, seuntas benang merah menghubungkan tema, latar, dan cerita ketiga film tersebut. Pada hari kedua German Cinema Film Festival di Bandung (23/6) ketiga film diputar berturut-turut di Blitz Megaplex Paris Van Java. Begitu keluar auditorium, Risma dan saya segera mengantri di depan pintu untuk menonton film kedua.
            “Mikirin apa?” tanya saya kepada Risma yang membisu.
            Ia menyeringai. “Mikirin nanti duduk di mana.”
            Antrian penonton memang cukup panjang. Saya teringat komentar ibu Risma tadi ketika saya menjelaskan tujuan kami, “Pemutaran film gratis? Wah, pasti ramai dan berdesakan! Hati-hati Risma, nanti tasnya disandang ke depan.”
            Setelah kami menduduki kursi, pikiran saya kembali pada Johannes dan Ana. Sementara Johannes berasal dari keluarga berkecukupan, Ana menghidupi keluarganya dengan penghasilan tak seberapa. Berulangkali hal ini jadi sumber percekcokan.
            “Hm, mungkin mereka jatuh cinta karena Johannes orangnya baik. Melihat perempuan kesusahan, sama dia ya ditolong,” sahut Risma.
            “Aku sedih melihat usaha-usaha Ana menunjukkan cintanya, kecemburuannya, justru adalah hal-hal yang bikin Johannes pergi. Mungkin Ana melihat Johannes sebagai pelindungnya, jalan keluarnya dari kehidupannya sekarang. Tapi Johannes nggak melihat Ana seperti itu.” Saya diam sejenak. “Meskipun begitu, aku suka bagaimana Johannes bereaksi mendengarkan Cry Me A River di akhir film. Meskipun mereka akhirnya berpisah, tapi seenggaknya reaksi itu menunjukkan hubungan itu juga punya arti bagi Johannes.”
            Risma mengangguk. Setelah itu kami tak berkata-kata.


Saat film kedua dimulai, Risma berbisik pada saya, “Dik, setelah kontrak kerjaku yang ini habis. Aku sebaiknya kerja apa ya?”