Sabtu, 29 Juni 2013

Setelah Menonton Dreileben

Perlahan Risma dan saya beranjak dari Auditorium 8. Kami baru menonton sebuah film Jerman, Dreileben: Etwas Besseres Als Den TodTiga Kehidupan: Lebih Baik Daripada Mati. Pikiran saya masih terbuai irama jazz lagu Cry Me A River yang mengiringi akhir film tersebut. Risma melangkah pelan di sebelah saya. Dengan tatapan menabrak lantai. ia menggumam, “Dik, mereka berdua kok kerjanya santai-santai sih?”
            ‘Mereka’ adalah Ana dan Johannes. Keduanya tokoh utama dalam film berlatar kota kecil di pinggiran hutan ini. Ana bekerja sebagai petugas kebersihan hotel, sementara Johannes perawat magang di rumah sakit. Sepanjang film memang hanya sesekali kami melihat Ana dan Johannes disibukkan pekerjaan masing-masing. Apa yang kami saksikan adalah pertemuan keduanya, bagaimana mereka lalu jatuh cinta dan menari pelan diiringi lagu Cry Me A River. Alih-alih menyaksikan Ana repot membereskan ranjang, kami melihatnya berciuman dengan kekasihnya di atas ranjang. Dan karena film ini perpaduan kisah cinta dan pembunuhan, adegan romantis tersebut diikuti langkah cepat seorang pria bersenjata.

“Aku nggak suka Ana,” tukas Risma. “Dia emosional banget! Cepat berbuat sesuatu yang bikin rugi diri sendiri.”
            Sebetulnya Risma dan Ana memiliki kesamaan: sama-sama bekerja di hotel. Meskipun tidak seperti Ana, Risma bekerja sebagai staf sales and marketing. Risma sering bercerita bagaimana pekerjaannya tak lantas selesai ketika ia meninggalkan kantor. Di luar jam kerja, ia masih berkewajiban menjawab telepon klien yang menanyakan maupun menyampaikan keluhan mengenai hotel. Setiap orang ingin dilayani ramah, Risma pun harus bisa mengatur emosi saat mengangkat telepon. Rupanya inilah yang terberat. Semakin sering kami menghabiskan waktu bersama, semakin sering saya menyaksikan perubahan wajah Risma dari rileks menjadi problem solving mode ketika teleponnya berdering. Saya mengerti alasan Risma kurang menyukai Ana.
            “Ris, teoriku beda sama teorimu,” ujar saya. “Kupikir kalau Johannes dan Ana sama-sama nggak bolos kerja, mungkin pembunuhnya bakalan lebih cepat menghabisi Ana. ‘Kan Ana jadi lebih sering sendirian? Justru karena berduaan terus sama Johannes, dia jadi ada yang melindungi!”
            Risma tertawa mendengar ‘teori’ saya, tetapi ia tak menanggapi lebih jauh. Teleponnya bergetar.

Dreileben merupakan trilogi film yang diproduksi televisi Jerman. Meskipun setiap film diarahkan sutradara yang berbeda, seuntas benang merah menghubungkan tema, latar, dan cerita ketiga film tersebut. Pada hari kedua German Cinema Film Festival di Bandung (23/6) ketiga film diputar berturut-turut di Blitz Megaplex Paris Van Java. Begitu keluar auditorium, Risma dan saya segera mengantri di depan pintu untuk menonton film kedua.
            “Mikirin apa?” tanya saya kepada Risma yang membisu.
            Ia menyeringai. “Mikirin nanti duduk di mana.”
            Antrian penonton memang cukup panjang. Saya teringat komentar ibu Risma tadi ketika saya menjelaskan tujuan kami, “Pemutaran film gratis? Wah, pasti ramai dan berdesakan! Hati-hati Risma, nanti tasnya disandang ke depan.”
            Setelah kami menduduki kursi, pikiran saya kembali pada Johannes dan Ana. Sementara Johannes berasal dari keluarga berkecukupan, Ana menghidupi keluarganya dengan penghasilan tak seberapa. Berulangkali hal ini jadi sumber percekcokan.
            “Hm, mungkin mereka jatuh cinta karena Johannes orangnya baik. Melihat perempuan kesusahan, sama dia ya ditolong,” sahut Risma.
            “Aku sedih melihat usaha-usaha Ana menunjukkan cintanya, kecemburuannya, justru adalah hal-hal yang bikin Johannes pergi. Mungkin Ana melihat Johannes sebagai pelindungnya, jalan keluarnya dari kehidupannya sekarang. Tapi Johannes nggak melihat Ana seperti itu.” Saya diam sejenak. “Meskipun begitu, aku suka bagaimana Johannes bereaksi mendengarkan Cry Me A River di akhir film. Meskipun mereka akhirnya berpisah, tapi seenggaknya reaksi itu menunjukkan hubungan itu juga punya arti bagi Johannes.”
            Risma mengangguk. Setelah itu kami tak berkata-kata.


Saat film kedua dimulai, Risma berbisik pada saya, “Dik, setelah kontrak kerjaku yang ini habis. Aku sebaiknya kerja apa ya?”