Selasa, 09 Februari 2016

Nature

Pada pertemuan klab nulis kali ini, saya tiba di tengah percakapan antara Tada dan Edward. Mereka membicarakan bagaimana orangtua memiliki nilai yang berbeda dengan anaknya. Menurut Tada, perbedaan itu menimbulkan adanya hal-hal yang tidak perlu dibicarakan dengan orangtua. Meskipun tidak tahu asal-muasal percakapan Edward dan Tada, saya geli karena merasa memahami pikiran tersebut.

Jadi beberapa waktu yang lalu, saya baru bilang kepada ibu bahwa saya adalah anak laki-laki yang jatuh cinta kepada laki-laki lainnya. Saya akan menceritakan kembali pengalaman ini melalui email yang saya tulis untuk sahabat saya.


***

Hai Anti : )

Aku mau bercerita agak panjang. Semoga kamu nggak berkeberatan membacanya.

Jadi beberapa hari yang lalu, aku bilang ke ibuku kalau aku gay.

Aku sulit memutuskan hari itu menyenangkan atau menyedihkan. Pagi harinya aku menyelesaikan cucian, lalu bertemu dengan dua teman SMA. Aku nggak merasa punya teman dekat waktu SMA, karena bagaimana aku bisa bilang mereka dekat kalau aku tidak bercerita hal yang personal kepada mereka? Namun, aku merasa cocok dengan Ayu dan Maul karena minat kami sama: buku dan film. Enam tahun belakangan, Maul bekerja di Riau. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Suatu hari dia menghubungiku, rupanya kangen ngobrol dengan teman-teman seminat. Jadi Maul mengajak kami bertiga ketemu. Kami sepakat ketemuan di taman bacaan. Baru saja sampai di sana aku mendapat kabar bahwa seorang tanteku meninggal dunia.

Di satu sisi, aku sedih karena punya kenangan bersama beliau. Tante itu adalah ibunya sepupu yang paling dekat denganku. Di sisi lain, kegembiraan bakalan ketemu dengan teman-teman lama nggak serta-merta hilang. Ketika akhirnya bertemu, aku, Ayu, dan Maul lantas terlibat dalam pembicaraan panjang yang akrab. Masing-masing dari kami bercerita tentang kegiatan kami, dan hal-hal yang menyusahkan hati kami. Maul cerita, ketika pulang kerja pada malam hari, sesungguhnya dia masih ingin melakukan hal yang lain. Maul belum mau istirahat. Ayu mengeluh, pertanyaan pengunjung kepada pustakawan selalu sama: "Letak buku ini di mana?" Dan meeting cute/making out di perpustakaan hanya terjadi di dalam film. (Ayu bekerja di perpustakaan universitas.) Aku bercerita kesulitanku di kantor adalah tidak bisa mengucapkan “Aku gay!” keras-keras. Lalu mereka tertawa. Sebelumnya aku tidak pernah menceritakan hal itu kepada mereka.

Pertemuan kami menyenangkan. Sebelum pulang, kami sempat-sempatnya saling membual dengan penjaga taman bacaan. Menurut Ayu dan Maulana, selama SMA aku sangat serius. Menurut penjaga taman bacaan, dulu aku setiap hari ke sana dan perlu diusir dulu supaya mau pulang.

Di rumah, aku teringat lagi kepada tanteku. Aku ingat sepupuku yang baru ditinggal ibunya. Aku yakin kamu pun tahu: aku tidak selalu tahu bagaimana memberi kata penghiburan bagi orang yang sedang berduka. Aku nggak tahu apa yang bisa kusampaikan kepada sepupuku, selain ucapan turut berduka dan doa semoga amal ibunya diterima, serta kesalahannya dimaafkan. Tidak lama kemudian, Mama datang. Lalu aku cerita tentang meninggalnya tanteku. Ibuku sudah tahu, dan bilang akan pergi ke Semarang besok sorenya untuk melayat.

Setelah itu, Mama mengajak makan di luar. Kami lantas makan di warung Soto Betawi. Topik pembicaraan kami awalnya tentang kematian. Papaku dan dua adiknya meninggal dalam usia yang relatif muda, semua karena penyakit jantung. Lalu Mama mengingat usianya sendiri, dan bilang bahwa sebelum meninggal ingin melihatku menikah. "Adek punya teman dekat, nggak?" tanya Mama. "Rencananya menikah di umur berapa?"

Selama ini kukira ibuku sudah tahu bahwa aku gay. Karena topik ini tidak pernah dibahas. Keluarga kami memiliki tradisi untuk menari menghindari topik sulit. Aku juga tidak pernah bilang bahwa aku tidak akan menikah, karena siapa tahu, suatu hari aku bakalan menikah dengan laki-laki.

Malam itu, saat ibuku menanyakan kedua hal itu, kubilanglah bahwa aku homoseksual. "Andika gay." Kupikir, kalau tidak sekarang, kapan lagi aku menyampaikannya? Wajah Mama berubah khawatir, lalu beliau bilang. "Jangan. Bertobat." Lalu pesanan soto kami datang, kami menyantapnya. (Untungnya kami tidak kehilangan selera makan.) Sambil makan, Mama bertanya, "Sejak kapan?" Kubilang, “Andika sadar kalau Andika jatuh cinta kepada laki-laki sejak SMP.” Sekali lagi Mama bilang, Jangan melakukannya, perbuatan itu bakalan membawa pelakunya ke neraka. Aku bilang, aku merasa ini bukan pilihanku, dan lagipula nggak percaya surga dan neraka seperti itu. Dan pada akhirnya yang menjalani hidup itu aku, yang tahu rasanya juga aku, dan yang bertanggung jawab pun aku.

Saat makanan kami habis, Mama bilang, beliau menyayangiku, seperti halnya Allah menyayangi ciptaannya. Dan pada akhirnya Allah yang Mahatahu. Mama berpesan supaya aku nggak galau ketika diingatkan, karena beliau merasa berkewajiban mengingatkan keluarganya agar terhindar dari api neraka. Aku mengiyakan, dan kubilang juga, sebaiknya kita menghormati keyakinan masing-masing.

Malamnya, aku mendengar Mama terisak. Aku merasa sedih sekali. Coming out kepada Mama jauh lebih berat daripada kepada Ayu dan Maul, karena teman-teman nggak melahirkan dan membesarkanku. Seluruh kebahagiaan dan kesedihanku terjadi berkat orangtuaku, karena merekalah yang membuatku berkesempatan untuk merasakan semua itu.

Keesokan paginya, Mama bilang lagi kalau beliau menyayangiku. Dua kali. Lalu beliau pergi ke Semarang untuk melayat tanteku. Sampai sekarang, aku masih kepikiran soal coming out itu. Aku nggak kebayang bagaimana jika nanti anakku tiba-tiba bilang bahwa dia meyakini hal yang jauh berbeda dari keyakinanku. Hal yang kuyakini bakalan mengantarkan dia ke dalam siksaan. Bagaimana jika dia bilang kalau dia meyakini hal itu sejak SMP? Selama belasan tahun ini aku ke mana saja? (Mungkin aku bakalan menyalahkan diri sendiri. Meskipun sesungguhnya aku nggak bilang terang-terangan selama belasan tahun karena nggak kepingin mengecewakan orangtuaku. Jadi ini bukan salah Mama.) Lalu aku teringat, bahwa kemungkinan aku menjadi orangtua itu kecil sekali. Sekecil kemungkinanku menikah. Aku mungkin nggak akan mengalami hal-hal yang dialami oleh ibuku. Mungkin aku nggak akan pernah berada di posisinya.

Aku percaya orangtua menurunkan sifat kepada anak yang dibesarkannya. Aku merasa mirip dengan ibuku dalam suka bercerita, senang belajar hal baru, dan melakukan sesuatu dengan sepenuh hati. Aku juga gampang lupa, punya kecenderungan menunda, dan boros. Namun, aku nggak mewarisi keyakinan agama ibuku, karena informasi yang kuterima berbeda dengan yang beliau terima.

Aku nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di satu sisi aku lega karena sekarang nggak punya hal yang tidak dibicarakan dengan ibuku. Namun di sisi lain, aku nggak pingin Mama sedih karena hal ini.

Sekian dulu untuk saat ini. Kabar kamu sendiri sekarang bagaimana? Kalau waktunya cocok kita ketemuan yaaa?

Salam,
Dika


***

Yang saya rasakan dari pengalaman itu adalah saya salah menghitung kemampuan ibu saya dalam menyayangi. Ibu bukan tembok yang tidak bergeming apapun yang terjadi di depannya. Ibu, seperti halnya saya, adalah manusia yang terbuat dari darah, daging, dan tulang. Kami punya kemampuan untuk merasakan, mendengar, dan memahami sesuatu jauh lebih dalam daripada pelabelan-pelabelan yang disampaikan orang kepada kami.

Tentu saja Ibu bersedih. Namun sekarang kami berinteraksi dengan biasa-biasa saja. Kami belum mengunjungi lagi topik tersebut, tapi kami membicarakan topik yang lain dengan biasa.

Malam ini, kita semua 'berpiknik',  duduk mengelilingi makanan di atas sebuah meja yang terlalu panjang untuk sepuluh orang. Percakapan di ujung yang satu kurang nyambung dengan percakapan di ujung yang lain. Kak Indra bercanda menyebut role model-nya adalah Ida Iasha. Kita tertawa geli. Lalu Ais menoleh kepada Tada, berbisik, “Who is Ida Iasha?”
“I don’t know, I just laugh anyway.” 
“Apa ini semacam pertemuan keluarga di mana ....” Ais tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi Tada mengangguk. Lagi-lagi saya geli. Meminjam istilah yang tadi dikemukakan Tada, mereka sangat millenial. 

Ais menyebut tentang pertemuan keluarga. Di satu sisi, saya membayangkan pertemuan keluarga adalah pertemuan yang situasinya agak kaku. Orang-orang yang duduk membentuk lingkaran sudah lama kehilangan kesamaan selain hubungan darah mereka. Setiap lelucon disambut dengan berlebihan, karena semua butuh tertawa.

Di sisi lain, saya juga membayangkan, kita adalah keluarga yang menyadari kita memiliki keyakinan dan identitas yang berbeda. Itu tidak menghalangi kita untuk duduk bersama, mengelilingi sebuah meja yang terlalu panjang, dan bercerita tentang apa yang terjadi dalam hidup kita belakangan.


(Cerita ini saya bacakan pada pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung, Kamis lalu (4/2). Temanya Nature dan Piknik. Setelah saya membacakan tulisan ini, teman-teman satu persatu memeluk saya.)

Senin, 01 Februari 2016

Blue

"Halo Alam, kamu punya rencana malam ini? Bisa kita ketemu dan ngobrol?"

Saya memperhatikan tiga tanda titik yang berkedip. Sesaat kemudian, balasannya muncul. "Halo Dika. Aku enggak punya rencana. Tapi aku enggak bisa menemani kamu. Bapak sakit. Aku sedang menunggu kabarnya."

Dada saya serasa disikut. Jawaban Alam bisa saya mengerti, tapi saya sungguh ingin bertemu dan bicara dia.

"Bapak sakit apa?"

"Sakit paru-paru. Bapak sudah beberapa kali sakit seperti ini, tapi kali ini beliau nggak mau masuk rumah sakit. Kami semua jadi bingung."

Kali ini rasa nyeri saya berubah menjadi rasa bersalah. Saya ingin ditemani, padahal dia yang butuh ditemani. Alam anak ketujuh, umurnya sudah mendekati kepala empat. Saya membayangkan bapaknya paling tidak berumur tujuh puluh tahun. Pada usia seperti itu, waktu yang dihabiskan bersama orangtua jadi sangat berharga. Jangankan Alam. Saya pun merasa sedih melihat Mama kelelahan dan kurang sehat sepulang dari perjalanan dinas ke luar kota.

Saya mulai menulis, "Alam, beberapa waktu yang lalu mamaku sakit. Hubunganku dengan Mama nggak selalu mulus. Kami meyakini hal yang berbeda. Tapi aku selalu berpikir, biar bagaimanapun semua kesenangan dan kesedihan yang kurasakan semua berkat orangtuaku. Aku pernah merasakan nggak enaknya melihat orangtua sakit. Aku berharap yang terbaik untuk bapakmu. Dan semoga kalian mendapat kekuatan untuk melewati saat-saat yang sulit ini."

"Betul. Apapun kesalahan yang dibuatnya dulu, sekarang yang penting Bapak sembuh."

***

Sesungguhnya, saya ingin bercerita kepada Alam tentang kesedihan yang saya rasakan. Tapi rupanya dia punya kesedihannya sendiri. Dulu saya beranggapan kesedihan adalah makanan pahit yang harus dihabiskan sendiri. Sekarang saya percaya bercerita bisa mengurangi rasa pahitnya. Saya kerap kesulitan merangkai kata-kata penghiburan untuk orang yang sedang berduka. Apalagi kalau saya belum pernah berada dalam situasi yang sama. Apa kata yang bisa membuat orang lain baikan? Namun, baru saja saya menyadari apa yang saya inginkan dari pertemuan dan obrolan dengan Alam bukanlah kata-kata yang menghapus semua duka saya, melainkan doa dan perhatiannya.

(Cerita ini ditulis di pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung (28/1). Temanya Blue. Teman-teman mulai mengendus kepayahan saya dalam menulis fiksi.)