Selasa, 28 Juni 2016

Pan

Telah meninggal dunia pada usia 94 tahun, Pan Balang Tamak. Pan, begitu dia dipanggil oleh keluarga dan kawannya, merupakan suami yang baik dan senantiasa menyayangi dengan cara istimewa. Pan tidak pernah memberi bunga maupun kalimat yang berbunga-bunga. Namun selalu memastikan bahwa lumbung padi keluarganya terisi, istri dan anaknya tidak pernah kelaparan, dan sesekali memasakkan keluarga kecilnya bebek panggang yang resepnya dirahasiakan.

Meskipun kadang-kadang berbuat sesuatu yang membuat anjing dan hewan peliharaannya yang lain terluka, perbuatannya tersebut tidak pernah tanpa sebab-musabab. Setiap luka dibuat untuk tujuan yang lebih besar. Dan ketika waktu luangnya berjumpa dengan cuaca cerah, Pan Balang selalu mengajak para anjingnya berpetualang.

Pan Balang Tamak mungkin bukanlah nama yang menimbulkan kesan baik bagi orang yang baru berkenalan dengannya. 'Pan' artinya bapak, 'balang' belalang, dan 'tamak' maksudnya rakus. Bisa dibilang, namanya berarti bapak-bapak rakus tukang lompat ke sana kemari. Namun dengan bangga Pan Balang Tamak selalu menyebutkan namanya secara lengkap. Dia percaya, segala hal di dunia bisa diucapkan dengan konotasi menghina. Bahkan hal-hal baik sekalipun. Untuk itu, mengapa harus menutupi nama yang dipilihkan orangtuanya?

Pemakaman Pan tidak dihadiri oleh kepala desa, tapi dia pergi dengan diiringi isak tangis seorang istri, enam pasang anak dan menantu, serta tiga puluh empat cucu yang menyayanginya. Genangan air mata mereka membasahi tanah yang mereka pijak hingga sore harinya.

***

(Cerita itu ditulis pada pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung, Kamis (23/6) lalu. Temanya, cerita rakyat nusantara. Idho dan saya berbagi tugas host. Idho memilih tempat, menyiapkan cerita rakyat dan memimpin jalannya pertemuan. Sementara itu, saya memeriksa tempat, membuat undangan, dan menyiapkan hadiah bagi penulis cerita terfavorit. Sementara Tada memproduksi Batu Menangis: The Musical, Ais menuturkan kisah Timun Mas dari sudut pandang raksasa yang sebetulnya hanya ingin si Timun bersekolah. Cerita lain tentang Pan Balang Tamak bisa dilihat di sini: http://dongengceritarakyat.com/kumpulan-cerita-cerita-rakyat-dari-bali/)

Jumat, 10 Juni 2016

Hal yang Sulit untuk Diceritakan

"Saya mau cerita tentang ... tentang ...." Aku tergagap. Perempuan berkacamata di hadapanku memandang dengan tidak terputus.

Aku menelan ludah. "Jadi sebaiknya saya bercerita langsung, atau boleh berputar-putar dulu? Sejujurnya saya nggak yakin bisa menceritakan ini secara langsung."

"Manapun yang membuatmu nyaman," katanya.

"Jadi ... beberapa waktu yang lalu, saya mengunjunginya. Dia adalah laki-laki yang pernah saya sayangi. Mungkin saat ini pun begitu. Tapi dulu kami tidak berkesempatan menjadi dekat. Sekarang, kami berteman baik. Saya menghubungi dan bertukar kabar dengannya dari waktu ke waktu. Keakraban kami sampai pada tingkat di mana kami bisa saling melontarkan kata-kata menyakitkan, sambil juga menyadari bahwa apa yang lain katakan punya kebenarannya juga. Berkali-kali saya mempertimbangkan menjalin hubungan dengannya. Tapi saya khawatir. Dia tidak pernah bercerita tentang keraguannya. Selalu menunjukkan bahwa dia tidak butuh apa-apa dari saya. Ketika suatu hari saya mengatakan, saya tidak pernah melihatnya sebagai obyek seksual, dengan segera dia membalas, 'I don't either.' Lalu dia pindah kota dan kami semakin sedikit berhubungan.

"Di kota yang kemarin saya kunjungi itu, dia membuka klinik penyembuhan trauma. Karena banyak teman yang sudah memberi testimoni positif, saya ingin mencoba juga meskipun nggak ingat punya trauma yang belum selesai. Melalui sedotan merah jambu yang disediakan, orang-orang yang ingin 'sembuh' dari trauma, mengalirkan cairan dari dalam kepala mereka ke baskom pikiran yang ada di depannya. Cairan yang keluar biasanya berwarna gelap dan pekat. Para pasien lalu diminta meneliti cairan itu. Menghancurkan bagian-bagian yang padat dengan sendok. Lalu meminumnya kembali dengan sedotan yang sama. Seperti antibiotik, sepahit apapun cairan itu mesti dihabiskan.

"Bersama saya, ada seorang lagi pasien yang masuk ke ruang pemeriksaan. Wajahnya memerah saat mengeluarkan cairan kepalanya, matanya pun berair. Supaya aliran cairan kepalanya mengucur deras, dia disarankan bercerita secara lisan. Dia bilang, beberapa tahun silam dia dipaksa berhubungan seksual oleh beberapa orang sekaligus. Yang mengejutkan adalah ... meskipun terpaksa, dia sesungguhnya menikmati pengalaman tersebut. Dia melewatinya tanpa mendapat luka fisik. Ingatan akan pengalaman itu senantiasa dia putar kembali dalam kepalanya ketika hidup terlalu berat untuk dijalani. Ingatan itu ibarat pintu darurat yang bisa diaksesnya kapan saja. Masalahnya adalah, pintu itu tidak membawanya ke mana-mana. Bertahun-tahun dia merasa ada di tempat yang sama. Pengulangan ingatan dan pengalaman tersebut memberi kesenangan yang pasti, yang sekaligus akan hilang seketika. Setelahnya dia merasa sangat buruk karena menyadari bahwa dia masih ada dalam lubang yang sama.

"Secara mengejutkan, cairan kepala saya warnanya cerah. Ungu muda. Tidak ada benda padat yang mesti dihancurkan. Cairannya beraroma manis, dan agak kental. Rasanya pun ringan, setelah saya minum segelas air putih, bekas-bekas rasanya langsung hilang dari mulut saya.

"Saat itu pun, saya berhadapan dengan sisi teman saya yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Dia bisa menyimak cerita pasiennya dengan mata yang mendengarkan. Kata-katanya yang saya tahu bisa seruncing garpu dia tahan. Dengan sabar, dia menyemangati kami meminum habis cairan di baskom masing-masing.

"Setelah selesai, kami semua merasa baikan. Seketika kami mendapat pemahaman baru tentang pengalaman kami. Teman saya mengingatkan sebaiknya kegiatan kami dilakukan secara berkala, karena akar-akar pikiran buruk tidak bisa sepenuhnya tercerabut. Bibit-bibitnya masih ada dalam kepala kami, dan dengan cepat mereka akan tumbuh apabila tidak rutin diproses.

"Usai sesi penyembuhan, saya dan teman saya makan malam. Kami mengunjungi rumahnya. Rumah itu terletak di sebuah gang panjang yang padat. Malam itu bahkan ada pasar malam di sepanjang gang. Sesampainya di rumah, saya merasa amat penat dan segera ingin mencium bantal saja. Tapi dia melarang. Dia minta saya mandi lebih dahulu. Malas-malasan, saya menurut. Karena toh ini kediamannya. Setelah mandi, saya langsung tumbang di atas kasurnya. Yang saya ingat sebelum tertidur, bahwa dia menyalakan komputer dan seprei tempat tidurnya berwarna ungu muda.

"Seperti biasa saya terbangun pada dini hari. Lampu kamar sudah dimatikan, dia berbaring di sebelah saya. Saya memeriksa telepon saya, saat itu jam tiga. Lalu saya mencoba tidur lagi. Sayup-sayup saya mendengar suaranya yang lebih serak daripada biasanya. Katanya, 'Let's hug each other.'

"'Kenapa?' tanya saya.

"'Because it's nice,' jawabnya.

"Saat itu saya teringat sisi dirinya yang baru saja saya jumpai. Saya merapatkan tubuh saya kepada tubuhnya. Dia menjadi sendok. Saya merasakan napasnya di tengkuk saya. Tangannya merangkul dada saya. Badannya hangat. Kaki kami bertautan. Saya merasakan ada tekanan di pantat saya. Dia mengeratkan pelukannya. It is nice indeed. Tubuh saya merespons tubuhnya. Kami tidak bisa lagi bilang bahwa kami tidak saling tertarik secara seksual. Namun di sisi lain saya merasa janggal. Karena pada siang hari, dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia punya kebutuhan ini.

"Saat itu, saya bertanya-tanya, apakah dia melakukan ini kepada semua orang yang naik ke tempat tidurnya? Apakah saya hanya daging? Sebetulnya tidak apa-apa kalau dia hanya ingin daging. Masalahnya kami sudah lama mengenal, dan kemungkinan besar akan ketemu lagi, karena lingkaran kami tidak besar-besar amat. Seseorang mungkin hanya ingin memperlakukan yang lain sebagai daging, tapi bisa saja ada situasi di mana daging itu bernama. Dan dia harus duduk semeja dengan daging itu."

Aku menatap pemandangan yang terlihat di jendela di samping tempat kami duduk. Motor-motor berseliweran. Angkot berhenti dan melaju pelan-pelan. Pejalan kaki yang melintas. Segala hal yang lewat tanpa peduli apa yang terjadi di tempat yang dilewatinya.

"Saya merasa nggak bisa memberi lebih dari pelukan. Meskipun kemudian, dia menggesekkan bagian bawah tubuhnya ke bagian bawah tubuh saya. Lalu kami saling berhadapan dan membenamkan wajah yang satu di wajah yang lain. Lalu berpelukan sampai badan kami terasa gerah ...."

Perempuan di hadapanku memandangku dengan cara yang sama ketika cerita ini dimulai. Untuk beberapa saat, dia tidak berkata-kata. Sampai akhirnya dia bertanya, "Itukah pertama kalinya kamu sedekat itu dengan laki-laki?"

Mulutku serta-merta terasa amat pahit. Mungkin inilah yang dirasakan pasien yang kujumpai waktu itu di klinik penyembuhan trauma.

"Jadi dulu papa saya ...."

***

(Ditulis di pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung (9/6), temanya Unleashed Your Sexual Fantasy. Karena yang datang hari itu conk semua, jadi kami nggak mengerem tulisan kami. Meskipun bagi saya untuk membacakannya berat juga. Kalau sudah begini, saya berharap lebih terbiasa menulis dalam bahasa Inggris. Supaya saya bisa berjarak dengan cerita yang saya bacakan.)

Kamis, 09 Juni 2016

Kecemburuan Menghanguskan Truk Gandeng

Dua teman lama yang berjumpa di Bandung tengah membicarakan betapa mereka tidak ingin tinggal di Jakarta. "Kemarin di jalan ada truk gandeng yang terguling dan terbakar. Macet gila," kata yang satu.

"Nggak ada itu juga sudah macet," sahut yang lain. "Muatan truknya apa, ya? Pasti deh sesuatu yang volatile."

Definisi 'volatile' menurut kamus Merriam-Webster:

1. Readily vaporizable at a relatively low temperature

2. Flying or having the power to fly

3. a. Lighthearted, lively
b. Easily aroused
c. Tending to erupt into violence: explosive

4. a. Unable to hold the attention fixed because of an inherent lightness or fickleness of disposition
b. Characterized by or subject to rapid or unexpected change

5. Difficult to capture or hold permanently: evanescent, transitory

Bisa jadi truknya bermuatan cinta. Dan api yang membakarnya bernama cemburu.

***

(Buat Idho yang diam-diam menulis puisi, dan Nesya yang memberi kami jamuan makan malam lezat.)

Rabu, 01 Juni 2016

Yang Tidak Berubah

Aku menemukannya lagi di bus yang membawaku ke kantor pada pagi ini. Waktu perjumpaan kami tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang. Aku baru saja pindah ke kota baru, kantor baru, pondokan baru, sampai warung langganan baru. Kemunculan wajah lama seketika memberi kenyamanan karena kini aku tahu ada yang tahu aku. Kalau dia terkejut melihatku, maka dia tidak memperlihatkannya. "Selamat pagi," ujarnya seolah kami baru bertemu kemarin. Seulas senyum muncul di wajahnya ketika aku bercerita bahwa aku pindah kemari karena ingin berganti suasana. "Aku semakin tidak yakin akan mendapat pengalaman dan teman baru lagi. Setiap berangkat kerja, aku ingin memutar ke jalan yang paling berliku. Aku semakin tak sabaran melihat tikungan yang itu-itu lagi."

***

Kemarin, sepulang kerja, aku membongkar barang-barang yang belum sempat kubenahi. Buku-buku harianku mengisi dua kardus Indomie. Aku mulai mengisi diary on and off sejak masih SD, lalu menetapkannya sebagai kewajiban harian pada usia ke-19 tahun. Dalam setahun, aku mengisi satu sampai dua buku. Dapatkah kamu menebak berapa usiaku saat ini?

Namanya muncul berulang kali di buku harian dari tahun 2009. Mataku menangkap sebuah paragraf yang seketika membawaku kembali ke masa itu--Hal-hal yang saya sukai dari -----:
1. Kami sama-sama suka membaca. Dia banyak bercerita tentang hal-hal yang lantas membuat saya penasaran.
2. Wangi cologne yang dipakainya sesegar wangi rumput yang baru saja dipangkas.
3. Kecerdasannya biasa saja.Namun saya suka ketika dia terlihat gugup setiap saya mengatakan hal pertama yang terlintas di benak saya saat berjumpa dengannya: "Senyum chipmunk!" "Perut Buddha!" "I like you love you!"

***

Lucu. Setelah bertahun-tahun, sikapku pada dasarnya masih seperti yang tertangkap dalam buku-buku harian yang kertasnya sudah menguning itu. Seakan aku tidak pernah belajar dari pengalamanku. Maka, wajar saja kini setiap pagi aku melangkah ke halte bus dengan langkah yang ringan. Selalu ada dia di kursinya. Selalu ada teman mengobrol. Dinamika kami berulang kembali. Aku akan membahas apapun yang terlintas di benakku: kesalahpahaman di lingkungan baru; air panas yang semalam tak mengalir di pondokan; sampai seorang komuter tampan dengan jaket berbercak cat dan kanvas yang ditutup kain putih. Dia yakin kanvas itu memuat lukisan realistis, sementara aku menduga lukisan impresionistik.

Ah kupikir, sikapnya juga masih seperti dulu. Dia senantiasa memegang teguh keyakinannya. Keyakinannya bisa berkembang dan berubah-ubah, tapi dia tak pernah menunjukkan kesadaran bahwa keyakinannya mungkin saja salah. (Inilah yang kumaksud dengan 'Kecerdasannya biasa saja.') Dia pendengar yang baik, tapi masih berjarak. Kadang aku merasa, diam-diam, di balik matanya yang sipit itu ada benak yang senantiasa menilaiku.

Sebetulnya itu tidak jadi soal, karena aku pun selalu menilai orang lain. Namun aku tidak pernah menyimpannya sendiri. Aku selalu menyatakan penilaianku--membenturkannya dengan kenyataan. Komuter tampan itu ternyata membawa foto sebuah meja yang sekilas dipadati buku, asbak, pensil, dan secangkir kopi, tapi jika dilihat lebih dekat, semua benda itu terbuat dari kertas. "Jadi ini realistis atau impresionistik?" tanyanya. "Mungkin dua-duanya?" Aku dan si komuter bertukar pandangan, kami mengatakan hal yang sama secara bersamaan.

***

Sejarah (yang kutulis sendiri) mencatat bahwa dengan segera namanya hilang dari buku harianku. Setelah pernyataan, "Aku suka kamu," yang diucapkan dengan lebih serius, dia seolah berlari menghindariku dengan kecepatan cahaya. (Tepatnya kurang dari 43 menit, karena tahu-tahu aku mendengar kabar bahwa dia telah pindah ke Jupiter.)

Sepeninggalnya, serta-merta aku menyadari betapa sedikit pengetahuanku tentang dia ... di luar informasi yang bisa diperoleh di social media. Aku tidak tahu ... preferensi potongan ayam gorengnya: paha, sayap, atau dada? Tapi serius. Aku tidak tahu apakah dia bermigrasi sendiri atau bersama keluarganya? Apakah selama kami bersama diam-diam dia sedang mengurus segala dokumen kepindahan? Apa yang membuatnya tidak bercerita?

Untungnya aku tak pernah berharap pertanyaan tersebut akan terjawab suatu hari. Karena sekarang, setelah kami kembali berjumpa pun, pertanyaanku tetap tak terjawab. Ada pertanyaan yang sudah bisa kujawab sendiri (paha). Namun, ketika kutanyakan soal-soal yang lain, kebanyakan dia hanya mengangkat bahu dan mengatakan, "Lupa. Itu kan sudah lama sekali."

***


(Cerita ini dikembangkan dari tulisan yang dibuat pada saat sesi menulis Couchsurfing Writer's Club (26/5) yang lalu. Sepertinya bisa lebih panjang lagi. Rendy, host sesi nulis malam itu menentukan temanya: What Makes You Vulnerable. Saya merasa rentan ketika menyukai orang yang tidak bisa sama terbukanya dengan saya. Karena temanya begitu, dalam sekejap saja klab nulis kami berubah jadi klab curhat. Di penghujung pertemuan, saya merasa lebih dekat lagi dengan teman-teman yang lain.

Pertemuan klab nulis selanjutnya akan diadakan hari Kamis (2/6) jam 19:15, di Kedai Kecil, Jalan Dipatiukur, dekat Starbucks.)