Kamis, 06 Oktober 2016

Tullah dan Dullah

1.

Di tengah percakapan mereka, Bu Rika menyadari dirinya tidak perlu memalsukan senyum ketika berhadapan dengan Tullah. Tidak seperti kebanyakan orangtua yang datang mengambil rapor anaknya, laki-laki berkulit cerah yang duduk di depannya itu belum menikah. Dalam cara bicaranya, ada nada yang menyiratkan kepolosan. Dia juga tinggi ... wangi. Ketika tersenyum, matanya bersinar hangat. Giginya pun berderet rapi. Tahu-tahu Bu Rika balas tersenyum, lalu lupa sudah bicara sampai mana.

"Iya, Bu Rika. Di rumah Dullah juga nggak banyak cerita," sahut Tullah. "Dia sukanya diam di kamar, dengar musik pakai headset. Kalau saya panggil, seringkali nggak menjawab. Biasanya setelah dihampiri, dia baru bersuara. Kalau saya ajak ngobrol, tanggapannya pendek-pendek. Saya khawatir, sih. Tapi sekarang mungkin memang masanya Dullah begitu. Nilai-nilainya juga bagus, kan, Bu?"

"Nilainya bagus sih, Pak," ujar Bu Rika. "Sepertinya Dullah sadar pentingnya nilai supaya dia nggak kehilangan beasiswa. Tapi beberapa guru bilang, mereka nggak pernah melihat Dullah menunjukkan kesenangan waktu belajar. Saya juga nggak tahu apa pelajaran favoritnya. Biasanya setiap anak, meskipun nggak suka sekolah, menunjukkan minat ke pelajaran favoritnya. Saya prihatin, Dullah bakalan kehilangan minat belajar saat tahu bahwa nilai cuma angka saja."

Alis Tullah naik. "Cuma angka, Bu?"

"Memang cuma angka. Yang lebih penting sekarang bagi Dullah sebetulnya buat kenal apa yang jadi minatnya. Supaya dia bisa menentukan setelah ini mau ke mana. Memang sih anak seumuran Dullah menuntut diberi privasi oleh para orangtua. Tapi jangan sampai lupa bahwa mereka juga masih butuh kita. Kita nggak bisa mengikuti terus suasana hati mereka. Ajak ngobrol terus, dengarkan lebih baik," ujar Bu Rika. "Saya tahu kok Pak Tullah nggak sulit mengajak ngobrol orang lain."

Tullah tersenyum, kali ini tidak menyahut lagi apa-apa. Pipi Bu Rika memerah, dia menyesal kelepasan menyampaikan kalimatnya yang terakhir.


2.

Seorang perempuan muda melotot melihat deretan angka ketika dia berdiri di atas timbangan. "100 gram?!" pekiknya spontan. "Setelah semuanya, cuma turun 100 gram?"

Beberapa orang di gym lantas tersenyum sembunyi-sembunyi. Tullah menghela napas saja. Untung perempuan itu bukan klien yang mesti dia dampingi. "Tubuh punya kemampuan membiasakan diri dengan kondisi yang dihadapinya," ujar Tullah, di depannya ada seorang laki-laki yang sedang mengangkat beban. "Kalau porsi latihan kita tetap, lama-lama tubuh kita berhenti merespons .... timbangannya juga berhenti merespons."

Sesungguhnya, deretan angka di timbangan juga sudah tidak lagi merespons Tullah. Sejak dulu, dia telah mencapai berat badan idealnya. Kalaupun ada yang belum Tullah anggap ideal, maka itu adalah deretan angka di rekening tabungannya. Kunjungannya ke sekolah Dullah mengingatkan Tullah bahwa kurang dari enam bulan lagi adiknya itu akan lulus SMP. Mendaftar masuk SMA membutuhkan biaya. Selama perjalanan dari sekolah ke tempat kerjanya, Tullah berhitung dalam benaknya. Biaya masuk SMA memang sudah disiapkan, tapi bagaimana dengan keperluan lainnya?

Penghasilan Tullah:
Gaji instruktur fitness: 3 juta/bulan
Tip dari klien: > 2 juta

Pengeluaran:
Suplemen pembentuk tubuh: 400 ribu
Perawatan diri (grooming, spa): 700 ribu/bulan
Cicilan motor: 600 ribu

Lalu belanja bulanan, uang jajan Dullah, pakaian, tagihan listrik, lalu air. Setelah telepon dan asuransi kesehatan ... hitungan Tullah mulai berantakan. Dia sadar, kalau dia bisa mengurangi biaya perawatan diri. Namun pos pengeluaran itu terkait dengan besarnya tip yang dia terima. Para klien di gym lebih senang didampingi trainer yang secara fisik bersih dan menarik. Sebetulnya selama ini Tullah masih bisa menabung, tapi jumlah tabungannya rentan berkurang apabila ada situasi darurat, seperti pipa air di rumah mereka meledak dan harus segera diperbaiki, tabungannya berkurang setengahnya.

Baru-baru ini Tullah tahu dari celetukan seorang klien bahwa biaya pendaftaran mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta terkemuka di kota mereka adalah 30 juta rupiah. Setiap semester uang kuliahnya naik hampir dua puluh persen. Tullah tahu bahwa dia punya waktu paling tidak tiga tahun untuk menabung. Namun, bagaimana dengan inflasi? Tullah sungguh berharap Dullah cukup pintar dan beruntung untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. (Dan kalau bisa, di jurusan yang sekiranya membuat Dullah bisa bergerak lincah di lapangan pekerjaan yang tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan Tullah selama ini.)

"Nilai cuma angka saja," begitu kata gurunya Dullah. Tullah yakin, Bu Rika belum pernah mengalami saat di mana dirinya mesti berhenti sekolah demi menghidupi adik dan dirinya sendiri. Orangtua mereka meninggal tiba-tiba akibat kecelakaan. Pada situasi yang mereka hadapi, setiap angka punya makna yang langsung berhubungan dengan kelangsungan hidup. Kalau Tullah ditanya apakah menjadi instruktur gym merupakan panggilan hidupnya ... sejujurnya, Tullah lebih senang mengurus sepetak kecil kebun di rumah. Pagi ini biji tomat yang dia tanam baru bertunas. Kalau selama ini hidup mereka tidak bergantung dari kemurahan hati orang lain, daripada mengulangi kata-kata yang sama di gym lebih baik Tullah mengajak bicara tanamannya.

"Woi, Tullah! Nanti malam jadi, kan?" seru Lexi, rekan sesama trainer. Tullah mengangguk.


3.

Seorang perempuan paruh baya keluar dari lift dengan plastik penuh berisi belanjaan. Pintu lift menutup kembali, di dalamnya tinggal Lexi dan Tullah.

Sejak beberapa bulan lalu, Tullah memperhatikan Lexi semakin sering mengenakan barang-barang baru yang mahal. Sulit membayangkan jam tangan Cartier dan iPhone 6 bisa dibeli hanya dari pemasukan seorang trainer. Setelah ditanya, Lexi bilang apa yang dia lakukan sesungguhnya sederhana. "Modalnya besar sih, tapi gue tahu kok elu udah punya," ujarnya.

"Kemarin kamu bilang, kita bakal ditanya-tanya dulu, ya?" tanya Tullah.

"Iya. Tapi bohong juga boleh, kok. Lha, apa kamu kira namaku betul-betul Lexi?"


4.

Laki-laki yang membuka pintu lebih tinggi daripada Tullah. Tullah merasa terintimidasi karena jarang sekali berhadapan dengan orang yang lebih tinggi. Laki-laki itu mengenakan Kemeja lengan panjang dan pantalon yang potongannya memperlihatkan lekuk tubuh. Kehadirannya juga terasa di udara, karena dia memakai parfum beraroma kuat. Merekaberjalan beriringan ke ruangan yang di sudut-sudutnya dihinggapi kamera. Sofa tempat Tullah duduk menghadap ke jendela. Ada meja berkaca tebal yang memisahkan sofanya dengan tempat laki-laki itu duduk. Di meja juga ada kamera.

"Santai saja, ya," ujar laki-laki itu. "Nama kamu siapa?"

"Indra."

"Sebelumnya pernah ikut modelling?"

"Pernah, lumayan buat nambah-nambah uang saku." Tullah tersenyum.

"Kurang ya dari orangtua?"

"Gue yang boros. Sukanya travelling. Lagipula gue anak satu-satunya. Pengen dong bisa buktiin ke ortu kalau gue bisa dapetin duit sendiri."

Semakin panjang percakapan mereka, Tullah mendapati betapa mudah dan menghiburnya mengarang-ngarang cerita.


5.

"Hisap," pinta laki-laki itu tegas.

Tullah menurut.

"Pelan-pelan. Buka baju kamu."

Tullah melepas kancing kemejanya. Laki-laki itu mundur selangkah dan mengambil kamera dari meja. Dia mengarahkan lensanya ke wajah Tullah. "Tatap kameranya."

Untuk rekaman sepanjang tiga puluh menit, mereka bekerja nyaris selama tiga jam. Saat kelelahan, mereka kerap mengambil jeda paling tidak selama sepuluh menit.

"Rokok?"

Tullah menggeleng.

Laki-laki itu tertawa. "Sudah puas 'ngerokok', ya? Oh ya, kenalin, nama gue Deden."

"Gue ... Indra," ujar Tullah. Lalu mereka tidak banyak bicara lagi.

Kala itu sudah dua kali Deden mencapai klimaks. Namun dia belum juga puas dengan hasil rekamannya. Kali ini Tullah memutuskan untuk lebih melemaskan lagi tubuhnya. Dia berupaya tidak melawan. Bukan hal sulit, karena sebagian besar tubuh memang dirancang bereaksi terhadap kehadiran tubuh orang lain. Dia membiarkan saja tangan Deden menjamah bagian-bagian tubuhnya yang paling sensitif.

Dan kalau dipikir-pikir, apartemen ini merupakan hunian idamannya. Letaknya di tengah kota. Perabotannya minimalis, ada balkon tempat Tullah bisa bercocok tanam. Banyak juga lemari, tempat dia bisa menyimpan segala hal yang tidak enak dilihat apabila dibiarkan berserakan. Tullah bisa membayangkan tinggal di sini--mungkin nanti ketika Dullah sudah jadi pengacara dan berinisiatif memberinya hunian yang layak. Tullah memejamkan matanya, untuk sesaat, dia merasa rumahnya memang di sini. Dan laki-laki yang tengah memeluknya dari belakang memang merupakan kekasihnya.

Namun, dinginnya jam tangan logam yang sekarang hinggap di pinggul, menyadarkan Tullah. Dia membuka matanya.

"Berlutut," kata Deden. Dia lantas berdiri di hadapan Tullah. Tangannya bergerak-gerak cepat di dekat wajah Tullah. Tullah memejamkan matanya, lalu merasakan cairan hangat menerpa pipinya.

"Sekarang lihat ke kamera." Tangan Deden menyentuh pipi Tullah, mengarahkan ke mana dia mesti menatap.


6.

"Dullah! Kemari sebentar, jangan pulang dulu," pinta Bu Rika.

Dullah pun urung keluar kelas. Dia menghampiri meja guru.

"Sebentar ya," Bu Rika nyaris berbisik. "Tunggu yang lain pulang dulu."

Dullah hanya mengangkat alisnya. Ketika hanya ada mereka berdua di kelas, barulah Bu Rika menyerahkan keresek berisi kotak makan yang ukurannya agak besar. "Dullah, ini, Ibu baru saja mencoba-coba membuat Carrot Cake. Karena resepnya baru, Ibu membuat agak banyak sampai rasanya pas ... ini buat Dullah dan Kak Tullah."

Dullah membuka tutup kotak makan tersebut. Kotaknya terisi penuh. "Ini semua buat kami, Bu?"

Bu Rika tertawa canggung. Pipinya bersemu merah. "Nanti kamu beritahu Ibu ya menurut Kak Tullah rasanya bagaimana ...."

Dullah pun pulang sambil membawa pemberian Bu Rika. Ketika sudah agak jauh dari sekolah, dia membuang pemberian itu ke tempat sampah. Dasar perawan tua, batin Dullah. Sempat saja berkhayal di kelas. Tidak perlu jadi jenius untuk bisa menduga apa gambar yang terpatri di benak Bu Rika, dan Dullah sama sekali tidak ingin jadi bagian dari gambar tersebut.

Sesampainya di rumah, Dullah menemukan Tullah sedang menyiram tomat dan kacang panjangnya. "Hai, Dul, ada cerita apa di sekolah?" tanya Tullah, wajahnya berseri sebagaimana biasanya ketika sedang berkebun. Dullah mengangkat bahunya. "Gitu, deh!" katanya. Lalu Dullah buru-buru masuk ke kamar, menutup pintu, menyetel musik, dan membenamkan wajahnya di bantal.

Pesona Kak Tullah telah memikat Bu Rika. Memikat para anggota gym yang memberinya tip. Memikat penjual sayur dan daging di pasar yang bersenang hati mengizinkannya berutang, dkk, dll. Namun pesona itu tidak mempan kepada Dullah yang tinggal dengannya selama tujuh hari dalam seminggu.


7.

Planet itu kecil. Hanya ada sebuah rumah yang dikelilingi padang rumput sehijau lapangan bola. Padang rumput itu dibingkai hutan yang, saking rimbun pepohonannya, sulit ditembus cahaya matahari. Udara di sana sangat bersih. Planet itu ditempati seorang anak laki-laki bernama Dullah. Tidak ada orang lain. Di sana, dia dapat melakukan apapun keinginannya.

Pada kenyataannya, Dullah sedang berada di kelas bersama hampir tiga puluh anak lainnya. Mereka menyimak dan tidak menyimak pelajaran Bahasa Inggris.

Beberapa menit lalu, ketika Dullah larut dalam lamunannya, Bu Mariam menugaskan anak-anak mencari seorang pasangan, untuk tugas kelompok hari itu. Semua anak sudah mendapatkan pasangannya kecuali Dullah dan Fahri.

Anjing, batin Dullah.


8.

Fahri tidak perlu membayangkan tinggal sendiri di planet kecil untuk merasa sendirian di sekolah. Di sekolah yang  mendeklarasikan diri berpijak pada agama, Fahrilah satu-satunya yang mendeklarasikan bahwa dirinya tidak seperti anak laki-laki lainnya. Bahwa dia menyukai anak laki-laki, sebagaimana anak laki-laki menyukai anak perempuan. Hampir setiap hari anak laki-laki mengata-ngatainya dan anak perempuan menganggapnya aneh. Sementara itu, para guru memilih untuk melabeli Fahri 'kasus' atau malah sekalian menganggapnya tidak ada.

Dulu pada hari pertama Fahri masuk sekolah ini, tangan Fahri selalu melambai-lambai setiap kali melangkah dengan hati yang riang. Hampir tiga tahun kemudian, langkahnya jadi kelihatan biasa saja karena semakin jarang hati Fahri merasa riang.

Namun hari ini, Fahri bisa berpasangan dengan Dullah untuk tugas kelompok Bahasa Inggris. Dari luar Dullah adalah segala yang merupakan kebalikan Fahri yang canggung, ekspresif, tapi kesepian. Fahri merasa inilah kesempatan mengenal dan dikenali Dullah. Dengan tangan yang melambai-lambai, dia berjalan ke kursi kosong di sebelah Dullah.

Fahri tidak menyadari ketidakmampuan menyembunyikan perasaan adalah sifat yang paling membuat Dullah jijik kepada orang lain.


9.

Pada tugas Bahasa Inggris kali ini, para siswa bertugas mewawancara satu sama lain tentang keluarga masing-masing. Ketika jam pelajaran Bahasa Inggris hari itu habis, Dullah menyadari bahwa tugas mereka terlalu pendek untuk diberi nilai memuaskan.

Jawaban Fahri panjang dan terbuka, Dullah tidak perlu susah-susah merangkai pertanyaan  untuk tahu bagaimana ayah dan ibu Fahri menggunakan waktu luang mereka. Atau makanan favorit yang hanya dimasak pada saat-saat istimewa. Dibandingkan jawaban Fahri, kebohongan Dullah pendek dan berwarna pucat. Tidak mungkin Dullah menceritakan detail kecelakaan yang merenggut orangtuanya, maupun bagaimana Tullah merawatnya selama ini. Bagi Dullah, kenyataan lebih sulit diterima daripada kebohongan.

Bu Mariam memberi kesempatan kepada seluruh siswa untuk melanjutkan tugas mereka di luar jam pelajaran. Beliau menentukan, batas pengumpulan tugas itu adalah minggu depan.



10.

"Eh ada Dul." sapa Tullah. Kali ini tangan dan kuku-kukunya bersih sekali. Pakaiannya pun rapi. "Ada temannya juga ... Tullah." Tullah mengulurkan tangannya. Di pegelangan tangan Tullah melingkar jam tangan yang baru pertama kali dilihat Dullah.

Melihat Tullah, rahang Fahri nyaris jatuh. "Fahri." Malu-malu tangan Fahri menyambut tangan Tullah. Tangan Tullah seperti memiliki setruman hangat yang mengundang.

"Kakak baru saja buat sandwich pakai tomat hasil panen kita. Kalau mau ambil di kulkas ya," ujar Tullah sambil berlalu.

Adegan itu membuat Dullah merasa sangat malu. Dialah yang menyarankan supaya mereka kerja kelompok di rumahnya, meskipun rumah Fahri lebih dekat dan dilaluinya setiap hari dalam perjalanan pulang pergi ke sekolah. Tadinya Dullah tidak mau menginjakkan kakinya ke ruang pribadi Fahri, lebih baik Fahri yang masuk ke ruangnya dengan batasan-batasan. Kalau tahu bakalan begini, lebih baik Dullah saja yang berkunjung ke rumah Fahri.

Dullah dan Fahri mengerjakan tugas Bahasa Inggris sepanjang sore. Dullah mengarang karakter kakek pensiunan Badan Usaha Milik Negara yang membesarkannya dan kerap bermain golf pada akhir minggu. Juga nenek fiktif yang aktif di kegiatan Darma Wanita, dan sangat perhatian. Orangtua dan kakaknya disebut sekali saja pada kalimat pengantar.

Sandwich bertomat segar yang disebut-sebut Tullah ditelantarkan saja di kulkas.


11.

Mereka mendapat nilai baik dalam tugas Bahasa Inggris. Yang terbaik. Namun nilai itu segera terlupakan. Dullah dan Fahri melalui jalan setapaknya masing-masing.

12.

Setiap hari Fahri bangun dan berkegiatan digerakkan oleh gagasan dan harapannya. Orangtuanya, yang dua-duanya psikolog, mengajarkan bahwa dia hanya akan menerima cinta yang cocok untuknya apabila dia menjadi dirinya sendiri.

Fahri hidup dengan contoh dua orang yang percaya bahwa dunia bisa berkembang ke arah yang lebih baik, bahwa setiap manusia menyimpan sisi baik, seandainya saja mereka tidak salah dipahami.

Meskipun, seandainya manusia tidak punya kapasitas berbuat jahat, tentu di dunia ini tidak akan pernah ada perang, holocaust, korupsi, maupun pencurian sandal di mesjid.

Namun, orangtua Fahri berpikir apabila di dunia tidak ada lagi yang percaya bahwa setiap manusia punya sisi baik, maka sejarah gelap akan selalu berulang.

Setiap waktu, ide-ide yang tertanam dalam diri Fahri itu selalu mendapat tantangan dari Kenyataan. Kenyataan, dengan huruf 'K' kapital di tengah kalimat. Kalau betul semua orang punya sisi baik, mengapa sikap anak-anak di sekolahnya tidak berubah? Meskipun Fahri senantiasa menjadi diri sendiri, mengapa dia tidak dicintai? Dan mengapa sekarang dan dua tahun lalu dia masih diteriaki dengan kata yang sama?

Dan mengapa dia selalu jadi sasaran keisengan anak-anak yang bosan? Dari kursi yang ditempeli permen karet, tas yang disembunyikan, dan jadi korban kekerasan yang entah apa alasannya. Seperti sore tadi.

Sepulang les, tahu-tahu Fahri dicegat sekelompok anak berseragam sekolahnya, diseret paksa ke sudut lapangan olahraga yang ditumbuhi semak-semak. Sekolah sudah sepi waktu itu. Di sana dia dipukuli. Fahri tidak mengenali satu pun anak yang mengeroyoknya. Mungkin mereka anak kelas tujuh, tapi badannya besar-besar. Inisiasi? batin Fahri sambil terhuyung-huyung melindungi diri dari pukulan dan tendangan yang terarah kepadanya. Sambil menahan perih, sudut mata Fahri menangkap sosok yang dikenalnya. "Dullah!" pekiknya.

Dullah yang kebetulan lewat, spontan berhenti. Dia segera mengenali pemandangan yang ada di depannya. Anak-anak yang mengeroyok Fahri juga berhenti. Beberapa dari mereka jadi ragu mengayunkan tinju. "Dia temen lo?" salah satu dari mereka menanyai Dullah.

Dullah diam. Tanpa sengaja, matanya menangkap pandangan Fahri.

"Lo kenal sama dia?"

Dullah menggeleng, dan berlalu.


13.

Keesokkannya Fahri mengirim pesan kepada Dullah: "Gue pengen ketemu elo pas jam istirahat nanti. Lo harus mau, kalo enggak bakalan gue buka aib lu di depan anak-anak satu sekolahan."

Pesan itu hanya dibaca, tapi tidak ditanggapi dan ditindaklanjuti. Dullah merasa tidak melakukan sesuatu yang seharusnya membuatnya malu.

Ketika pulang sekolah, tahu-tahu Fahri menarik tangan Dullah. Tanpa peduli dengan orang yang berlalu lalang, dia langsung menyodorkan teleponnya yang sedang memutar video berjudul 'Casting Binan' tanpa suara. Dullah ingin beranjak, tetapi matanya telanjut menangkap wajah yang dia kenali dalam video tersebut. Wajah Dullah merah padam, dia kehilangan kata-kata.

"Mulai sekarang, elo harus mau jadi temen gue. Atau gue buka aib elo," ujar Fahri.


14.

Langit, dan jam yang melingkar di pergelangan tangan Tullah menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul sebelas malam lebih. Tullah duduk menunggu di depan meja makan. Dullah belum juga pulang. Bagaimanapun, sekarang dialah satu-satunya anggota keluarga yang terdekat dengannya. Dullah adalah alasan Tullah melanjutkan hidup. Kehadirannya menggerakkan Tullah bekerja dan bangun setiap paginya. Membayangkan kehilangan Dullah, mata Tullah berkaca-kaca. Dia berdoa. Meskipun iman juga merupakan salah satu hal yang hilang setelah kecelakaan orangtuanya.

Lalu, Tullah mendengar pintu pagar dibuka, serta bunyi kenop pintu yang ditekan. Tullah langsung menghapus air matanya, dan menghambur ke pintu depan. Dullah baru saja masuk rumah.

"Dari mana kamu? Sekarang jam berapa?" sentak Tullah.

Dullah diam. Wajahnya menunduk.

"Bilang ke Kakak! Masalah kamu apa sih?!"

"Banyak," ujar Dullah singkat. Dia melanjutkan langkahnya ke kamar, sementara Tullah mengikutinya.

"Heh, ngomong yang baik! Kamu kira Kakak nggak khawatir kamu menghilang seperti ini? Kakak khawatir tahu! Kakak juga khawatir kamu nggak pernah cerita apa-apa lagi sama Kakak! Apa kamu nggak percaya Kakak?"

Tidak ada tanggapan.

"Selama ini Kakak yang memastikan kamu bisa sekolah dan punya rumah buat tinggal! Kakak yang memastikan kamu bisa makan sampai kenyang! Apa kakak nggak boleh tahu tentang apa yang kamu hadapi? Apa kakak nggak berhak dapat ucapan terima kasih atas semua yang telah kakak lakukan?"

Wajah dan mata Dullah memanas mendengar rangkaian kata kakaknya. "AKU NGGAK PERNAH MINTA!" serunya.


15.

Seketika Dullah menyesal begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Pandangan Tullah saat ini persis seperti pandangan Fahri ketika Dullah bersikap seolah dia tidak mengenalnya. Pandangan terluka dan tidak berdaya. Dan suatu kesadaran menghantam diri Dullah seperti bendungan yang jebol: Tullah tentu juga tidak pernah minta orangtua mereka meninggal saat dirinya masih muda. Dia tidak pernah minta libur mengurus adiknya, atau libur dari beramah-tamah demi memohon kemurahan hati orang lain. Dullah menyadari, ketika ada orang yang kelihatan berbeda, yang melakukan sesuatu yang membuatnya jauh dari masyarakat di sekitarnya, bisa jadi itu karena dia merasa tidak punya pilihan lainnya.

Tangan Tullah kini terangkat siap menampar Dullah. Namun bel berdering. Tullah dan Dullah membeku.

Bel rumah mereka berdering sekali lagi.

Tullah bergegas ke pintu. "Nanti kita lanjutkan bicaranya," ujarnya dengan suara bergetar.

Ketika membuka pintu, Tullah menemukan bahwa yang menekan bel adalah ... Deden. Dia tersenyum. "Tullah, kita kerja sekarang, yuk? Mumpung akunya lagi mood."

Tubuh Tullah gemetaran. Ketika namanya disebut, dia seperti tidak punya kekuatan untuk menolak. Ketika dia kembali ke kamar Dullah, dia mendapati adiknya sudah tidak ada lagi ada di kamar.


16.

"Fahri." Ibu Fahri menggoyang-goyangkan bahu anaknya. Si anak membuka matanya dengan enggan.

"Ada teman kamu, tuh. Memang sudah malam, tapi kelihatannya dia punya masalah," ujar Ibu Fahri.

"Teman?"

Fahri memakai kacamatanya.


17.

Dullah.