Bandung, 15 Januari 2012 dini hari
Dear kamu,
Tentu kamu tidak tahu, bahkan mungkin
tak peduli lagi kabar saya saat ini. Tidak apa-apa. Kita toh memang sudah lama
tidak bertemu. Kadang-kadang saya pun larut dalam kegiatan harian sampai lupa
kamu sama sekali. Namun setiap teringat, saya panjatkan syukur untuk
kebersamaan kita meskipun singkat dan telah berakhir.
Surat ini ditulis karena sekarang saya
mengingat kamu. Penyebabnya adalah film Prancis yang ditonton tadi malam.
Judulnya Irma Vep, sutradaranya
Olivier Assayas. Bisa saja saya nyatakan ceritanya tentang usaha sekelompok
pembuat film me-remake sebuah film
vampir Prancis klasik. Akan tetapi, pernyataan itu memberi gambaran tidak
lengkap. Sesungguhnya Irma Vep merupakan
jalinan momen kecil memikat yang ditangkap kamera: kecanggungan kru film
menyambut bintang besar dari seberang lautan, silat lidah kru film, naksir yang
diungkap tak pada tempatnya, wartawan yang curcol soal industri film di
negaranya, dan lain, lain, lainnya. Pemutaran film ini berlangsung di IFI
Bandung sebagai bagian dari Tur Festival Sinema Prancis tanggal 14-20 Januari. Kebetulan
tanggal 14-17 ini, agendanya pemutaran film-film Olivier Assayas.
Mungkin saja sekarang kamu suka film
Prancis. Katamu never say never, kan?
(Hahaha.) Meskipun saya masih ingat sekali-kalinya kita nonton film Prancis di bioskop.
Baru pertengahan film, kamu sudah ajak saya keluar. “Ini film, film apaan sih? Masa cuma ngomong sama nyanyi?” bisikmu
tidak nyaman. Saya menolak. Karena, sampai kamu bilang begitu, tidak sedetikpun
saya bosan. Lalu kamu tetap duduk di kursimu dengan kaki yang bergerak
naik-turun-naik turun. Kita di sana sampai film habis, tetapi perhatian saya
tak pernah kembali ke layar. Ke depannya, saya anggap kamulah yang menang dalam
pertempuran itu. Kita tak pernah lagi sama-sama menonton film Prancis.
Sementara itu, bersamamulah saya menonton film-film super hero dan James Bond. Saya masih sakit hati kalau ingat-ingat
ini.
Sekarang, obatnya adalah menonton
sebanyak mungkin film Prancis sendirian. Sebelum bertemu kamu, saya selalu
sedih kalau pergi nonton tanpa siapa-siapa. Apalagi jika duduk di antara dua
pasang kekasih, dan keluarga besar, atau sekelompok teman yang sedang nobar.
Tertawa maupun menangis sendirian akan mengangkat kegilaan saya sampai tingkat berikutnya,
begitu mulanya saya pikir. Setelah kamu? Ah, bodoh amat. Saya menonton kapanpun
saya mau, dengan atau tanpa teman. Baru saya sadar, menonton sendiri berarti
tak perlu risau apakah tontonan yang dinikmati sesuai atau tidak dengan selera
teman-teman. Mungkin sekarang kamu menuding kalau sesungguhnya saya menyenangi
film super hero dan James Bond yang kita
tonton bersama. Hei! Tudingan itu tak sepenuhnya benar. Beberapa film memang
saya sukai, tetapi kebanyakan tidak. Kamu takkan pernah tahu karena saya selalu
berupaya menahan keluarnya rasa tidak suka. Saya percaya menonton film sifatnya
personal. Setiap orang merdeka punya selera masing-masing. Pada saya masalahnya
hanya jika seseorang yang saya ajak memaradekan ketidaknyamanannya ketika film
bergulir. Semestinya kepadamu sejak awal saya serukan, Hei, ketidaknyamanan itu menular tahu! Sama halnya dengan tawa.
Kamu bisa saja tetap bersikeras saya betul-betul menikmati semua film yang saya
tonton bersamamu. Namun, yang sebetulnya saya nikmati saat itu adalah bersama denganmu.
Saya tidak tahu ini akan membuatmu senang
atau tidak. Namun pada pemutaran Irma Vep,
ketika lampu auditorium IFI kembali menyala jumlah penonton berkurang banyak daripada
sewaktu film dimulai. Lantas semakin berkurang saat sesi obrolan dimulai, hingga
tinggal menyisakan sembilan orang peserta reguler obrolan komunitas menonton
film LayarKita. Saya hampir yakin, kalau tadi malam kita nonton bareng niscaya
kamu bakalan menyeret saya ke luar auditorium. Ini pernah terjadi ketika obrolan
usai The Seventh Seal-nya Ingmar
Bergman. “Aduh, ngapain sih ikutan
diskusi? Memang kamu paham filmnya? Memang dia yang bikin filmnya?” rutukmu sambil menunjuk punggawa LayarKita, Tobing. Aduh,
bukan begitu. Justru karena saya tak paham, maka saya perlu ikut obrolan. Obrolan
yang dihadiri pembuat film memang menarik karena segala pertanyaan tentang
teknis pembuatan film dapat langsung terjawab. Di sisi lain, obrolan di mana
yang mengobrol penonton kepada sesama penonton lainnya juga menarik karena di
sanalah mereka dapat saling bertukar dan memperkaya persepsi masing-masing.
Tidak cuma bukan sutradara Irma Vep,
dosa Tobing mungkin termasuk juga kurang menggemari film Prancis, Academy Award minded, serta mengganti nama Robert Bresson menjadi Richard
Bresson. Namun di luar itu, perannya penting sebagai fasilitator diskusi. Peran
ini membutuhkan dua telinga yang difungsikan dengan baik, serta ketajaman
pikiran untuk menemukan pertanyaan yang minta dijawab.
Misalnya tadi malam, saya mendapat insight
dari peserta obrolan bernama Nadia yang mengungkapkan persepsinya mengenai
adegan pencurian kalung dalam Irma Vep.
“Gua sok-sok sebagai Sigmund Freud, nih. Secara luas kan film ini bisa dilihat
sebagai kritik terhadap perfilman Prancis. Nah, barangkali adegan itu
menggambarkan seorang asing yang berupaya mengambil heritage perfilman Prancis. Namun akhirnya meletakkannya kembali
karena merasa itu bukan miliknya.” Pertanyaan Nadia yang belum terjawab, “Memangnya
tahun 1996, ketika film ini pertama dirilis, apa yang terjadi dalam perfilman
Prancis?” Malam tadi, peserta obrolan juga bergantian berupaya menjawab mengapa
Maggie Cheung di-cast pada Irma Vep, serta film di dalam film itu.
Nita menjawab, fisik Maggie cocok memerankan dengan catsuit latex yang serba ketat. Sementara Moko menjawab, “Sebagai
pengamat dari luar, Maggie menjadi sosok yang berbeda daripada kru film
lainnya.” Saya setuju. Idealnya ada narasumber yang mengamati film-film Assayas
dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Begitu.
Apakah kamu masih bersama saya?
Sekarang langit sudah terang. Waktu menunjukkan pukul 5:52. Baru saja saya membuka tirai kamar.
Hei, ingat tidak waktu kita bertemu terakhir kali?
Saya masih memelihara luka karena perpisahan kita. Ketika melihat kamu
saya berucap, “Halo,” dengan nada sedingin es. Kamu membalasnya dengan senyum
yang tidak mencapai mata.
Diam-diam saya sedih karena seakan tak pernah ada dan tak akan ada kata
lain di antara kita. Tapi saya tak menunjukkannya.
Halo. Halo. Halo.