Sejak beberapa minggu lalu, saya punya kegiatan baru: bekerja di kantor. Saya beruntung bisa diterima jadi editor di penerbit yang bukunya saya baca dari kecil sampai sekarang. Kebetulan kantornya dekat rumah. Hanya lima belas menit dengan motor, setengah jam dengan sepeda, dan mungkin satu jam dengan jalan kaki. (Belum pernah ke sana jalan kaki.) Enaknya lagi, kantor saya terletak di bagian Bandung yang masih bersawah. Kalau berangkat pagi-pagi, udaranya masih segar.
Beberapa minggu ini, saya merasa masih banyak lagi yang perlu dipelajari dan dibiasakan. Hampir tiap hari saya berhubungan dengan editor yang posisinya saya gantikan, menanyakan berbagai hal teknis, bahkan karena orangnya baik, juga sekalian meminta dukungan moral. Saya masih deg-degan ketika menelepon penulis, untuk meminta tulisan, mengingatkan deadline, bahkan menyampaikan kabar gembira kalau naskah mereka akan diterbitkan. (Ada penulis yang sampai salah paham mengira naskahnya ditolak berdasarkan percakapan telepon dengan saya. Untung ada e-mail. Dan untung saya suka menulis surat.)
Kini saya tidak bisa lagi jalan-jalan siang tanpa tujuan yang pasti. Sehabis makan siang saya mesti bekerja sambil melawan rasa kantuk. Dulu saya bisa mengunjungi beberapa taman, kantor pos, dan perpustakaan yang berbeda dalam seminggu. Sekarang hanya bisa sekali, dan sebaiknya dipikirkan baik-baik. Pertama kali bertemu akhir pekan setelah punya kantor, saya kegirangan. Saya berupaya melakukan semua hal yang biasanya saya lakukan dalam tujuh hari pada dua hari libur itu. Seninnya saya capek dan enggan berangkat ke kantor.
Lebaran kali ini kantor saya libur cukup lama, sampai sebelas hari! Sebelas hari di mana saya membaca, menonton, jalan-jalan, tidur siang, menyelesaikan gambar, dan memasak Indomie kuah susu. Saya libur membalas e-mail, bahkan libur menulis diary. Sampai dengan satu jam yang lalu, ketika saya merasakan dorongan untuk memulai tulisan ini. Latar belakangnya adalah hari Senin yang kian mendekat. Saya sedih jika nanti masuk kerja dengan hati berat.
Ada beberapa hal yang sejauh ini bisa memunculkan semangat saya berangkat ke kantor. Saya semangat karena bekerja di penerbit yang buku-bukunya ada di lemari saya. Saya semangat (akhirnya) bisa memakai beberapa kemeja yang dibelikan ibu saya. Saya semangat berhubungan dengan para penulis muda. Saya bisa belajar dari keberanian mereka menulis untuk menciptakan cerita. Saya pun semangat jika ada yang bisa saya masukan ke bis surat sepulangnya dari kantor.
Ada ruang kosong pada gambar di atas untuk ditulisi alamat. Gambar itu sebetulnya sampul depan sebuah buku surat yang bisa jadi meluncur ke tempat tinggalmu. Kalau kamu cerita apa yang membuatmu semangat berangkat ke kantor, atau ke sekolah, pada Senin pagi besok.
Saya tunggu ceritanya sampai hari Senin siang.