Saya baru saja berpikir betapa sebetulnya, sebagai manusia, saya sulit melihat diri saya sendiri.
Contoh paling mendasar: ketika sedang berhadapan dengan orang lain, saya enggak bisa lihat telinga, hidung, mulut, atau wajah saya sendiri.
Ketika melihat ke cermin pun, seringkali saya bertanya apakah bayangan di depan itu memang betul-betul diri saya? Cermin enggak menangkap bagaimana karakter atau suasana hati saya, mereka cuma memantulkan apa yang terungkap oleh cahaya.
Saya pikir salah satu hal yang membuat jatuh cinta begitu diburu, adalah ketika ada orang yang mencintai kita, orang itu seolah telah 'melihat' diri kita. Dia mungkin punya sederet ide tentang mengapa kita cukup berharga untuk dicintai. Ide-ide yang mungkin asing bagi diri kita sendiri. Misalnya si A jatuh cinta kepada B, karena beranggapan bahwa B peka dan dapat diandalkan. Sementara itu, B, yang masih ingat sederet kegagalannya, heran bagaimana A bisa berpikiran seperti itu. Sejak pertemuannya dengan A, B berusaha menjadi versi dirinya yang lebih baik lagi, sesuai dengan ide yang dimiliki A tentangnya.
Mungkin itu juga yang membuat putus cinta menyedihkan. Ketika orang yang sudah 'melihat' kita pergi, Dia mungkin juga membawa serta segala 'ide' tentang diri kita. Putus cinta bisa membuat seseorang kehilangan arah apabila sejak awal orang itu enggak punya ide tentang siapa dirinya sendiri.
Misalnya dulu, saya pernah suka sama orang yang melihat saya sebagai penulis yang baik. Ketika hubungan saya dengan orang itu memburuk, saya sempat enggak menulis, karena saya kehilangan kepercayaan bahwa saya merupakan penulis yang baik bersama dengan kepergiannya. Tidak ada lagi yang percaya saya merupakan penulis yang baik selain dia.
Mungkin inilah yang bikin orang ingin dibacakan nasibnya melalui kartu tarot, atau lewat tulisan tangan, bahkan tatapan mata. Mungkin hampir setiap orang betul-betul kepingin tahu apa yang sesungguhnya tersimpan di bawah permukaannya. Orang mencari orang lain yang bisa menjadi cerminnya.
Kemarin, saya sudah menyampaikan kepada M apa saja yang membuat saya suka kepadanya. Mau saya sih, selanjutnya M balas menyampaikan apa saja yang membuatnya suka kepada saya.
Namun hal itu tidak bisa dipaksakan.
Dan kalaupun dia juga suka kepada saya, setiap orang punya cara sendiri menyatakan rasa sukanya. Mungkin dia menyampaikan rasa sukanya dengan cara yang berbeda dengan cara saya.
Di e-mail terakhirnya M bilang, I am happy to be a friend always. As for now, that is what I can offer you. Saya bersepakat dengannya. Untuk sekarang, kami sebaiknya jadi teman saja. Namun, tiap hari saya merasakan dorongan untuk menghubunginya. Saya tidak merasakan dorongan yang sama kepada teman-teman yang lain.
Saya enggak tahu ini terjadi karena saya betul-betul suka M, atau karena saya ingin bercermin lewat pandangannya.
Kalau ternyata yang kedua, maka semestinya saya bisa lebih berprasangka baik kepada diri sendiri. Sebelum mencari telinga orang lain untuk mendengarkan cerita saya, sebelum mencari mata orang lain untuk melihat bagaimana bayangan saya, seharusnya saya sadar bahwa saya punya telinga dan mata meskipun saya enggak bisa melihatnya sendiri.
Semestinya saya bisa melihat dan mendengarkan diri dulu. Sebelum ingin tahu apa yang dilihat dan disimpulkan orang lain.
...
..
.