Hai, apa kabar? Semoga senantiasa dikelilingi orang yang kamu sayangi dan menyayangi kamu di mana pun kamu berada.
Sejak
beberapa hari lalu, aku kepingin menonton A Copy of My Mind-nya Joko
Anwar. Aku biasanya santai-santai saja pergi nonton sendiri. Tapi kali
ini, aku punya feeling film tersebut lebih asyik ditonton sama teman.
Aku suka ngobrol sama teman setelah nonton, saling membandingkan temuan
atas apa yang baru kami saksikan.
Setelah menimbang-nimbang,
kuajaklah Kak Indra buat nonton. Dia setuju, tapi rupanya akhir pekan
kemarin nggak bisa karena latihan angklung dan kunjungan ponakan. Kak
Indra menyarankan kami menonton hari Selasa. Aku pesimistis film ini
masih tayang Selasa depan. Aku mengiyakan, dengan catatan kalau filmnya
sudah nggak ada mungkin kami menonton film yang lain saja. Kak Indra
setuju. Hari Minggu siang, kuputuskan pergi nonton A Copy of My Mind
sendiri di Blitz BEC.
Kamu pernah nonton di Blitz BEC, belum? Aku
baru pertama kali. Dari dulu, karena gaptek aku nggak begitu suka ke
BEC. Tiap kali ke sana, aku dibuat bingung dengan terlalu banyak
pilihan, terlalu banyak sapaan ("Kakak mau jual? Mau beli?"). Kalau
nggak terpaksa nggak akan ke sana. Tapi harus diakui kalau BEC itu
letaknya strategis. Aku bisa parkir di balai kota, dan jalan kaki ke
BEC. Sesampainya di BEC, aku masuk dari Lotte Mart. Sebagai pencinta
belanja bulanan, aku senang dengan desain Lotte Mart. Barangnya tertata
rapi, dan signage produknya dicetak besar-besar. Selain roti, mereka
juga menjual ubi cilembu dengan harga murah! Kata satpam, bioskop ada di
lantai 3A, yang paling atas. Aku awalnya PD saja naik escalator ke
bioskop. Tapi lama-lama, aku merasa, "Kok nggak sampai-sampai?"
Pemandangan pun tidak selalu seindah Lotte Mart. Banyak gerai-gerai yang
masih kosong. Dan gerai-gerai itu mirip. Mungkin banget aku nyasar
kalau sedang sendirian di sana. Aku coba mencari lift, tapi astaga
nunggunya lama banget. Pas dapat lift, orang-orang yang duluan masuk
sudah mau menutup pintu liftnya saja. Tapi sama aku ditahan, lol, sampai
seorang dari mereka menekan tombol membuka pintu dari dalam.
Blitz
BEC mungkin bioskop paling fancy yang pernah kumasuki. Aku cukup yakin
kamu bakalan suka. Mungkin aku juga bakalan suka seandainya untuk masuk
ke sana bisa melewati jalan yang lebih sederhana. A Copy of My Mind
diputar di dalam ruang teater yang kecil, tapi well-designed.
Kursi-kursi di pinggir ditempatkan menyerong ke arah layar dan suaranya
mantap.
Lalu, film dimulai. Yang kusuka dari A Copy of My Mind,
settingnya banyak di tempat-tempat yang selama ini hanya kulewati saja.
Misalnya di salon kecantikan, di tempat-tempat kos yang padat, di lapak
penjual DVD, di penjara ... (Mungkin tempat seperti BEC juga.) Tokoh
utamanya seorang perempuan muda yang bekerja sebagai facial therapist,
yang kebetulan suka nonton film yang ada monster anehnya (semacam anacobra,
human centipede, dlsb). Dia ketemu dan menjalin hubungan dengan seorang
laki-laki yang bekerja sebagai pembuat subtitle untuk DVD bajakan.
Awalnya, kukira film ini tentang kehidupan internal tokoh-tokoh
tersebut. Namun ternyata bukan. Tokoh-tokoh dalam film ini tetap
misterius, dari awal sampai akhir. Pembicaraan di antara mereka hanyalah
yang bersifat permukaan. (Sadly, seperti pembicaraan kita.) Ketika Sari
dan Alek membahas tentang cita-cita, cita-cita Sari: "Punya home
theatre." Alek bahkan nggak punya cita-cita, nggak punya handphone,
nggak punya KTP, dan nggak punya SIM. Yang membuatku tetap tertarik,
mungkin karena secara fisik mereka oke (dan ada adegan intim yang
steamy). Serta dialog antara mereka, sekalipun sifatnya permukaan,
menyiratkan kecerdasan masing-masing.
Banyak hal berkelebatan di
dalam benakku saat nonton film ini. Betapa banyak tempat yang kulewati
tanpa pernah kutahu bagaimana cerita yang ada di sana. Apa yang ada di
pikiran kasir minimarket? Tukang tambal ban? Pedagang asongan? Satpam?
Dan orang-orang lain yang bersentuhan denganku, tapi sekadar untuk
bertransaksi saja. Siapa sesungguhnya mereka? Apa ceritanya? Aku merasa
hal yang paling menjelaskan siapa diriku adalah kesukaanku untuk
bercerita. Aku jadi bertanya-tanya, lalu bagaimana nasib orang yang
nggak punya akses untuk bercerita?
Di akhir film, saat end
credits, kami mendapat kejutan. Joko Anwar, Chicco Jerikho, Paul
Augusta, dkk, muncul dari pintu dan menyapa penonton! Kami nggak
menyangka bakalan ada mereka! "Ada pertanyaan nggak?" tanya Joko Anwar.
Tentu saja penonton blah-bloh. Dan tentu saja aku nggak bisa
menyampaikan satu pun pertanyaan yang berkelebat di kepalaku.
Sebelum
pulang, aku mampir dulu ke balai kota. Begitu keluar dari BEC, rasanya
lega. Rasanya berpijak lagi di atas bumi. Aku menonton latihan marching
band sambil memikirkan apa yang baru saja kulalui. Aku ingat dulu, di
lokasi yang sekarang jadi BEC, ada toko bayi Lavie, ada tukang bakso
malang, ada Ganesha Operation, dan ada rumah dengan taman kecil yang ada
ayunannya. Aku dan teman-temanku, anak-anak yang bimbel di GO, suka
naik ayunannya. Kalau kami terlalu ribut ada anak kecil yang muncul dari
rumah untuk minta kami nggak naik ayunannya. Ayunan itu mungkin mainan
yang sifatnya personal bagi dia. Sekarang aku tahu Lavie pindah ke mana,
GO pindah ke mana, beli bakso malang di mana, tapi aku nggak akan tahu
ke mana anak kecil itu dan ayunannya.
Makasih ya kalau kamu baca sampai kalimat ini.
Salam,
Andika