Jum'at kemarin motor saya mogok. Alhasil saya mesti menggunakan angkutan kota untuk ke kampus, mengikuti ujian Komunikasi Internasional. Perjalanan pulangnya bermasalah. Uang yang dimiliki hanya bisa membawa saya dari Jalan Siliwangi sampai Jalan Pahlawan. Bila ingin mencapai rumah di Ujungberung, saya bisa memilih hitchhiking atau berjalan kaki. Pilihan saya pun jatuh pada berjalan kaki.
Berjalan kaki dari Jalan Pahlawan sampai Ujungberung bisa dibilang cukup jauh. Total ada tiga pom bensin, tiga lampu merah, dua Dunkin Donuts, dan lima sekolah menengah pertama yang saya lewati. Saya baru merasakan efek hilangnya pohon-pohon yang sempat merimbuni Jalan P. H. Mustofa yang ditebang untuk pelebaran jalan. Matahari bersinar begitu terik tanpa ada lebatnya dedaunan yang menaungi pejalan kaki. Saya jadi teringat filmnya Gus Van Sant, Matt Damon, dan Casey Affleck yang berjudul Gerry. Film ini bercerita tentang dua sahabat bernama sama (Gerry) yang tersesat dalam gurun ketika sedang hiking. Dalam level berbeda, kami bertiga sama-sama merasakan buasnya matahari.
Setengah perjalanan relatif dilalui tanpa gangguan. Sedikit banyak saya tenggelam dalam musik yang didengarkan (Album Phoenix terbaru, Wolfgang Amadeus Phoenix, yay!). Sementara kaki melangkah, pikiran saya melayang ke mana-mana. Sampai seorang kenek Colt jurusan Bandung-Garut muncul di Cicaheum dan kembali membawanya berpijak ke tanah.
Tubuh kenek itu tidak terlalu tinggi. Kulitnya cukup terang dan logat bicaranya tidak kasar. Ia menanyakan tujuan saya ke mana: Garut? Tasik? Saya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Namun ia bersikukuh mengikuti langkah saya dan mengajukan pertanyaan follow up, "Terus mau ke mana?"
"Ujungberung," jawab saya, tersenyum. Mengetahui hal itu ia kembali menawarkan saya naik Colt-nya. Saya menggeleng karena tidak punya uang. Ia tidak percaya. Saya berusaha meyakinkannya, dan akhirnya meninggalkan si kenek Colt masih dalam keadaan tidak percaya.
Kembali berjalan di trotoar, beberapa puluh meter kemudian saya kembali melihat kenek Colt itu sedang meluncur di jalan bersama Colt-nya, sekali lagi ia menawarkan saya untuk naik ke mobil. Saya menggeleng dan mengatakan tidak punya uang, kali ini ia tampak mulai percaya. Saya kira inilah akhir dari interaksi antara kami. Namun, sekitar sepuluh meter kemudian mobil Colt itu menepi. Tanpa terduga si kenek turun, menghadap pohon, membuka ritsleting, dan ia pun pipis di pinggir jalan.
Saya menceritakan pengalaman ini kepada teman-teman di writers' circle. Mereka semua terbahak. "Itu sarkasme," ujar seorang teman sembari tergelak. Awalnya saya juga berpikir kalau saya begitu dilecehkan, "Apaan sih kenek ini? Saya kan pasti lewat jalan itu!" Namun kemudian saya merasa kenek itu tidak punya maksud melecehkan, apalagi sarkastis. Ia tidak mengencingi trotoar yang akan saya lewati. Yang dikencinginya hanya batang pohon yang tumbuh di dekat trotoar, dengan posisi yang memungkinkan saya untuk melihat batang penisnya (yang tidak saya lihat karena begitu malu sampai menundukkan kepala dalam-dalam). Sekarang baru terpikir, bagaimana kalau dia ternyata menyukai saya?
Bagaimana kalau dia mengalami love at the first sight? Dan semua perilakunya, mulai dari mengajukan pertanyaan follow up, gigih menggiring saya menaiki Colt, sampai pipis di depan saya, semuanya didasarkan pada rasa sukanya kepada saya? Ia ingin menarik perhatian saya tetapi tidak tahu caranya. Bagaimana kalau dia mengalami konflik kepentingan? Di satu sisi si kenek ingin memberi saya tumpangan gratis, tetapi di sisi lain ia berhadapan dengan pengemudi Colt yang ingin supaya semua penumpangnya membayar ongkos. Bagaimana kalau si kenek ini adalah the one? My so-called soulmate. Kami ditakdirkan hidup bersama seandainya saja pertemuan pertama itu betul-betul dimanfaatkan. Kesempatan yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.
Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau kami berkesempatan bertemu pada suasana yang sangat berbeda? Mungkin ketika saya duduk-duduk dan membaca di taman depan Gasibu, sementara ia sedang jogging. Kami juga bisa bertemu di depan Indomaret ketika sama-sama sedang menunggu hujan reda. Atau malah, ketika saya sedang menunggu motor selesai di-service di bengkel?
Perjumpaan saya dan kenek Colt berlangsung begitu singkat. Minimnya interaksi membuat saya melakukan idealisasi-idealisasi. Mungkin saya akan mengenangnya dalam waktu yang lama.