Senin, 06 Juli 2009

Tentang Identifikasi

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang semangat-semangatnya bercerita tentang miniseri kesukaan, Angels In America, (yang lebih kurang bertemakan homoseksualitas) teman saya menyela, "Cerita kesukaan lu mesti punya karakter yang bisa diidentifikasi dengan diri sendiri ya? Dulu Six Feet Under, The Bubble, sekarang Angels in America . . ." Begitu kira-kira ucapan si teman yang dengan halus menuduh bahwa saya baru bisa menikmati cerita fiksi apabila di dalamnya ada karakter homo-nya, hahaha.

Meskipun dulu (dan sekarang) saya menertawainya, sebetulnya yang si teman katakan ada benarnya juga. Ketika membaca buku, atau menonton film, untuk memudahkan masuk ke dalam cerita saya berusaha untuk mengidentifikasikan diri dengan perasaan-perasaan yang dihadapi oleh setiap karakter, tidak cuma satu karakter homo, saja. Jadi begini, seorang teman yang lain pernah bilang bahwa dalam menulis sebuah cerita pertanyaannya cuma dua: what the hell dan what the fuck. Ada kejadian di dalam setiap cerita yang bermuara dari hubungan sebab-akibat atau sebaliknya. Setiap kali menikmati karya fiksi, pertanyaan yang saya ajukan sederhana saja, "Mengapa karakter A bertindak seperti ini? Mengapa dampak tindakannya seperti itu?" dst. Jika penutur berhasil membuat saya mengerti alasan dari tindakan karakternya, maka saya menyukai cerita tersebut.

Saya mengerti saat si teman berpendapat bahwa saya mempunyai soft spot terhadap film-film yang ada karakter homo-nya. Lebih mudah saja bagi saya untuk mencoba 'memakai sepatu' karakter-karakter tersebut, toh dalam beberapa hal sepatu yang pas di kaki mereka juga sepatu yang pas di kaki saya. Namun ada perasaan yang lebih kuat daripada sekadar perasaan teridentifikasi karena memiliki preferensi seksual yang sama, yaitu perasaan bahwa saya dan karakternya sama-sama 'ada' serta memiliki perasaan dan akal budi.

Seperti sebuah kalimat yang pernah saya temui: 'Tidaklah sulit bersimpati kepada anak kecil yang menangis, sekalipun kita tidak tahu apa alasan anak kecil itu menangis.' Saya dan anak kecil itu sama-sama 'ada' di dunia dan saya pun pernah menangis, merasakan hal yang membuat saya menangis. Saya mungkin tidak tahu alasan si anak kecil itu menangis, tetapi saya tahu persis beberapa alasan dulu saya menangis.

Itu contoh yang mudah. Semakin rumit tindakan sebuah karakter dalam cerita, maka semakin rumit pula alasan yang mesti melatari terjadinya tindakan tersebut. Jika penutur berhasil menyampaikannya, maka tidak sulit bagi saya untuk menyukai karya-karyanya. Semakin rumit tindakan karakter; semakin rumit alasannya; semakin berhasil penutur menyampaikannya; semakin saya suka dengan karya tersebut. Komentar nyinyir si teman tadi benar adanya, tetapi . . . salahnya juga ada.

5 komentar:

  1. Dik, menurut gue selera itu sesuatu yg alami terjadi, kok ...

    Wajar2 aja kalo kita lebih tertarik sama sesuatu yg lebih deket sama kita. Itu justru nunjukin kalo kita punya perhatian dan mustinya kenal lebih banyak tentang sesuatu itu.

    BalasHapus
  2. Iya sih, tapi gue pengen menjelaskan yang alami itu.

    BalasHapus
  3. Mungkin gini, Dik ; kalo kita lebih suka makan bala2 misalnya daripada tempe, kan nggak perlu juga kita bilang kita suka semuanya.

    Kalo ngasih pandangan secara obyektif itu urusan lain lagi, kan Dik ... lu bisa ngasih komentar obyektif ke "tempe" maupun "bala2" dalem kondisi yang lain ...

    Begimana. Ngebantu ngejelasin yg alamikah ... ? ;)

    BalasHapus
  4. Jadi jangan takut dianggap berpikiran picik karena suka dengan sesuatu yang spesifik?

    BalasHapus