Beberapa hari lalu saya datang ke Perpustakaan Batu Api jam satu siang. Tidak seperti biasa udara sejuk karena di sana hujan baru berhenti. Masuk lewat pintu samping, saya meletakkan tas serta jaket di dudukan kayu di atas lantai semen. Buku pertama di rak yang menarik perhatian adalah sebuah novel klasik paperback terbitan Penguin. Tidak hanya hurufnya kecil dan berdempet, buku itu banyak mengandung kata sulit. Saya lalu mengambil antologi cerpen Cuk karya Vincent Mahieu. Selain Mahieu, penulis ini juga dikenal sebagai Jan Boon dan Tjalie Robinson. Entah apa alasan ia memiliki banyak alias, apakah tidak menimbulkan kebingungan? Saya pernah meminjam antologi Mahieu atau Boon atau Robinson yang lain berjudul Cis. Tulisannya kental sekali, saya suka! Salah satu cerpennya berjudul Selamat Tinggal Josephine. Kami pernah membacanya bersama di museum. Tema hari itu adalah menulis cinta pertama.
Tiba-tiba Bang Anton masuk dari pintu depan. Melihat saya, ia menepuk lutut saya. Rasanya lucu karena kami belum begitu akrab. Saya semakin sulit membaca karena jadi ingin bicara dengannya. Jadi ingin akrab. Apa topik pembicaraan yang cocok? Buku? Seperti yang dibicarakannya dengan 943725 pengunjung lainnya? Sering saya mendengar Bang Anton mengobrol tentang pacar dan pandangan politik. Namun saya jelas tak punya keduanya. Apa yang ingin saya bicarakan dengannya? Cita-cita mendirikan perpustakaan juga. Tak berapa lama Teh Arum datang. Di antara pasangan suami-istri ini saya lebih akrab dengan si istri karena kami sering bertemu pada pameran buku terakhir di Landmark. Teh Arum menjaga stand Penerbit Obor bersama teman saya, Sesti. Ia pun menanyakan Sesti. “Sesti sakit,” jawab saya. “Sakit apa?” “Demam, meriang, muntah-muntah. Kemarin baru mau ke dokter,” jawab saya lagi. “Apa kata dokter?” Saya menggeleng. Saya jadi ikut penasaran apa kata dokter. Mengembalikan Cuk, di rak buku saya menemukan Never Let Me Go yang versi filmnya mengharu biru. Saya pun mengambil buku itu.
***
Never Let Me Go mengikuti pasang surut hubungan tiga sahabat: Kathy, Tommy, dan Ruth. Setiap kejadian diceritakan melalui sudut pandang Kathy yang paling kalem di antara ketiganya. Narasi Kathy maju mundur antara masa kini dan masa lalu. Masa kininya sebagai 'perawat' dan masa lalu yang mereka bertiga habiskan di Hailsham.
Sekilas Hailsham seperti sekolah asrama dalam buku-buku berseri Enid Blyton. Tidak sulit membayangkan Kathy, Tommy, dan Ruth sebagai Sally, Darrell, dan Alicia dari serial Mallory Towers. Kejadian seru di awal Never Let Me Go tidak jauh dari dinamika sekolah: duduk di kelas, guru eksentrik, kelompok rahasia, ledakan amarah Tommy, ketegasan kepala sekolah, dan aneka peristiwa yang mempererat persahabatan anak-anak. Namun semakin jauh kita membaca, semakin sering muncul keganjilan yang membuat kita ragu kalau Hailsham memang seperti Mallory Towers. Ada terlalu banyak rahasia: Mengapa anak-anak ini tidak memiliki nama keluarga? Mengapa Miss Lucy mengatakan mereka tidak mungkin tumbuh menjadi aktor atau penjaga toko? Mengapa di Hailsham 'guardian' menggantikan kata 'teacher'? Salah satu rahasia diungkap di sampul belakang buku ini: “Di sanalah manusia dikloning agar bisa menyediakan organ-organ yang dibutuhkan oleh penduduk dunia luar yang sakit.”
Singkat kata, Kathy, Tommy, dan Ruth sebetulnya adalah klon-klon manusia. Sebelum dewasa, mereka hidup selayaknya siswa-siswi sekolah biasa, bahkan mungkin lebih beruntung. Hailsham bukan sekadar ladang organ, tempat ini juga menjamin semua anak mendapatkan gizi, perhatian, dan pendidikan yang penting selama masa tumbuh kembang. Seorang dokter selalu datang memeriksa kesehatan mereka setiap minggunya. Anak-anak bahkan didorong untuk berkesenian. untuk setiap puisi, gambar, maupun prakarya yang dikerjakan, mereka mendapatkan kupon 'Sale' dan 'Spring Exchange'. Keduanya merupakan semacam bazar yang populer karena merupakan satu-satunya cara bagi anak-anak untung memperoleh barang-barang pribadi. Yang terpenting dalam kurikulum Hailsham adalah sejak dini anak-anak diinternalisasikan kewajiban mereka saat dewasa: mendonorkan organ-organnya sampai mati. Kematian mereka itu disebut dengan 'completion'.
Sampai di sini, mungkin beberapa dari kita menyangka bahwa yang menjadi konflik adalah bagaimana tiga tokoh utama berusaha lepas dari kewajiban donor organ; perjuangan melawan sistem represif. Rupanya tidak. Sebagaimana penghuni Hailsham lainnya, Kathy, Tommy, dan Ruth tumbuh besar tanpa mempermasalahkan kewajiban dasar mereka. Saat mulai dewasa, kegalauan ketiganya justru muncul dari hal-hal yang juga dipertanyakan manusia kebanyakan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Dari mana kita berasal?” “Bagaimana seharusnya kita hidup?” “Ke mana semua berakhir?” Juga sama seperti manusia kebanyakan Kathy, Tommy, maupun Ruth segera menemukan bahwa tak ada satu jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka mulai menciptakan teori-teori sendiri.
Salah satu alasan saya membaca Never Let Me Go adalah saya pernah menyaksikan versi layar lebarnya. Dan film itu sangat menyentuh. Di dada saya seperti ada banyak simpul setelah menonton Never Let Me Go. Warna yang digunakan berkesan luntur dengan cipratan warna merah dan hijau di sana sini. Aktor aktrisnya pun bermain baik. Kathy diperankan Carey Mulligan, sementara Andrew Garfield dan Keira Knightley masing-masing memerankan Tommy dan Ruth. Pada film, salah satu momen paling berkesan adalah sewaktu pertama kali melihat Tommy berlari menyambut Kathy dan Ruth setelah melakukan donor keduanya. Mereka bertiga akan mengadakan perjalanan ke pinggir pantai. Tommy botak dan semakin kurus, langkahnya pincang, tetapi semangat dan kepolosannya tetap sama.
Pada buku, saya paling menikmati mengikuti rangkaian peristiwa dari narasi Kathy. Dari narasinya saja, pembaca bisa mengira mengapa Tommy dan Ruth betah bersahabat lama dengan Kathy. Gadis ini adalah seorang pengamat baik. Menyangkut persahabatannya dengan Tommy dan Ruth, Kathy menyimak betul-betul setiap percakapan, gerak-gerik, dan perubahan raut wajah kedua temannya. Inilah yang membuatnya tahu bagaimana cara menempatkan diri di posisi yang lain. Kathy memenangkan kepercayaan Tommy dan Ruth. Kalaupun ada kekurangan, bisa jadi itu adalah sikap Kathy yang kurang kritis. Narasinya memberi gambaran yang dapat diandalkan mengenai diri dan persahabatannya, tetapi narasi itu tidak menjelaskan bagaimana dunia yang mereka tinggali bekerja. Mengapa mereka tidak melawan? Tidak lari dari takdir mereka? Tidak ada satu jawaban pasti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pada akhirnya, saya pikir Kathy, Tommy, dan Ruth menjalani kehidupan yang utuh. Sebagaimana pertanyaan pembaca, pertanyaan yang mereka ajukan mungkin tidak akan terjawab. Namun apa-apa yang sudah digariskan, teori-teori yang mereka temukan, serta pilihan-pilihan yang mereka ambil, semuanya menentukan bagaimana mereka memaknai kehidupan masing-masing.
***
Tiga puluh dua halaman pertama Never Let Me Go saya baca di Batu Api. Saya betul-betul terhisap. Saya meminjam buku ini sebelum berubah pikiran lagi. Ketika saya menghampiri, pandangan Bang Anton tertuju pada layar netbook-nya. Di atas meja ada buku tulis yang penuh dengan tulisan tegak bersambung. Sesti pernah bercerita kalau Bang Anton suka menulis keyword atau informasi menarik yang ditemukannya dari buku. “Pinjam. Seminggu. 5611,” ujar saya ketika perhatian Bang Anton beralih kepada saya. Wajar kalau kami mungkin tidak akan pernah akrab. Saya kulkas begitu. Biasanya Bang Anton kerap memberi komentar singkat terhadap buku yang saya pinjam. Namun kali ini Kazuo Ishiguro seperti tidak membunyikan lonceng apapun di kepalanya. Saya pun tidak tahu apa-apa tentang penulis Never Let Me Go ini selain bahwa bukunya yang lain, Remains of the Day, sudah dibuat versi filmnya oleh Merchant-Ivory Production.
Kemarin, sebelum menulis ini, saya iseng-iseng mencari tahu lebih banyak tentang Kazuo Ishiguro. Terutama resensi media-media luar terhadap Never Let Me Go. Akan tetapi, satu-satunya tulisan yang saya baca habis adalah wawancara penulis ini dengan The Paris Review. Wawancara itu memuat sedikit sekali pandangan si penulis terhadap karyanya. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang masa kecil, remaja, pengalaman Ishiguro sebagai musisi, sampai mendaftar kelas penulisan kreatif. Pokoknya hal-hal pribadi. Ishiguro sepertinya nyaman menjawab semua pertanyaan itu. Jawabannya panjang-panjang. Mungkin saat mengembalikan Never Let Me Go besok, saya akan menceritakan beberapa jawaban kepada Bang Anton.
bagus Dika... :)
BalasHapusKamu emang kulkas yang kadang meledak-ledak... # random, hehhee...
Kulkas berbom!
BalasHapuscuma bisa koment, film dan novel Never let me go, bener2 bikin gregetann..
BalasHapus