Beberapa waktu lalu saya menghadiri sebuah acara bincang buku ulasan musik. Muncul pertanyaan menarik di
tengah hangatnya obrolan, “Hampir semua
orang senang mendengarkan musik—apapun jenisnya, tapi mengapa jarang ada yang
mengulas musik sebagai bagian dari kehidupannya?”
Ulasan musik di koran dan majalah seringkali
sebatas 5 W + 1 H, sementara ulasan di majalah musik cenderung teknis, membahas
proses kreatif, dan menggunjingkan kehidupan pribadi musisinya. Saya tertegun, seperti baru disadarkan apa yang
membuat saya sering melewatkan ulasan musik: 1. Kemunculan musik baru lebih cepat daripada kebutuhan saya mendengarkan musik baru;
2. Porsi ulasan musik terbatas, penulisnya jadi sering menyerah pada kata sifat dan penggunaan
referensi yang belum saya tahu; 3.
Kebanyakan musik diulas berdasarkan musik itu sendiri, tidak
ditambahi konteks lagi oleh penulisnya. Celakalah saya!
Untungnya, pulang dari acara itu saya seperti
dibekali oleh-oleh. Sederhana saja: kalau seseorang bisa jujur mengungkapkan semua
alasan yang membuatnya menyukai (atau tidak menyukai) musik yang ia dengar,
maka sesungguhnya itu cukup jadi bahan baku sebuah ulasan menarik. Terlepas
dari musik kegemaran masing-masing, saya percaya
kebanyakan orang merasakan dan dapat mengenali emosi yang sama pada orang
lainnya. Dua orang bisa saja mendengarkan musik serupa dengan alasan
berbeda, tergantung apa yang terjadi dalam hidupnya. Telinga tidak harus selalu merespon
musik terbaru.
Pada penghujung tahun ini, saya lantas
terdorong menuliskan pengalaman membaca buku (“Lho?”) yang paling diingat selama 2012. Mengapa jadi buku? Karena pada
akhirnya saya pikir oleh-oleh yang saya bawa pulang tak berlaku hanya untuk
ulasan musik. Namun juga, untuk ulasan-ulasan lainnya: buku, film, teater,
fotografi, seni rupa, dll. Saya rasa ulasan yang muncul menanggapi hal-hal tersebut tidak berbeda jauh
dengan ulasan musik. Belum banyak orang yang
dengan sederhana
menulis bagaimana ia menempatkan apa yang diulas ke dalam
kesehariannya.
Buku merupakan bagian besar dalam
hari-hari saya. Kebetulan buku yang saya baca lebih banyak
dan beragam daripada musik yang saya dengar secara sadar selama setahun. Itulah yang berupaya saya tunjukkan
pada tulisan ini.
Selamat membaca!
***
PENGALAMAN MEMBACA BUKU PALING DIINGAT 2012:
1.
Urutan pertama akan diberikan kepada buku yang lebih membekas secara fisik
daripada secara emosional, 1Q84 oleh Haruki Murakami. Setebal 900-an halaman, buku ini sulit ditopang
satu tangan. Karena beratnya itu, dia juga tidak enak dibaca sambil tiduran. (Yang
tetap saya lakukan karena nyaris tak ada gangguan membaca jelang waktu tidur
malam.) Pembatas buku yang saya pakai sering terselip di selimut. Pernah suatu
malam, saking mengantuknya saya malas mencari pembatas itu dan menandai halaman
dengan telapak tangan. Sensasi terjepitnya terbawa sampai mimpi, membawa kata dreamlike, yang sering dipakai
menggambarkan karya Murakami, ke tingkat selanjutnya.
Lebih jauh, bagian seks dalam 1Q84 justru membuat saya kehilangan
nafsu menamatkan buku itu. Dikisahkan suatu malam tiba-tiba tokoh utamanya
ereksi seperti batu meskipun tak bisa bergerak dan tak terangsang secara
seksual. Seperti sudah tahu dan menanti momen ini, tokoh perempuan yang menumpang
di kamarnya lantas mengambil alih, memimpin persetubuhan. Sperma yang keluar
lantas tidak membuahi sel telur perempuan yang saat itu bersetubuh dengan tokoh
utama, tetapi seperti ditransfer ke perempuan lainnya lagi. Aspek kehilangan kendali tubuh tersebut menakutkan sekaligus
membuat saya geram.
Selepas bagian itu perlu beberapa saat sebelum saya melanjutkan
lagi membaca sampai tamat.
Tahun ini semakin tegas saja kalau saya
sudah tidak lagi menggilai Haruki Murakami seperti dulu. Berbeda dari saat
membaca novel-novelnya yang lain, saya mendapati diri tak bisa lagi membiarkan
kejadian-kejadian aneh di dalamnya berlalu. Tidak bisa lagi hanya berfokus pada
perasaan yang timbul akibat membaca kejadian-kejadian itu. Kini saya merasa perlu tahu apakah ada alasan? Ataukah
semuanya
metafor? Kalau iya. lantas apa maknanya? (“Ayo dong, apa!”) Dulu juga saya sempat berpikiran karakter-karakter
Murakami menggambarkan karakter orang Jepang pada umumnya, tetapi dalam profil
Haruki Murakami di The New York Times Magazine
reporternya mendapati tidak begitu. Jepang dan orang Jepang yang ia temui berbeda
dengan Jepang dan orang Jepang dalam buku Murakami.
Usai 1Q84, saya
berniat tidak lagi membaca karya Haruki Murakami. Sampai kemudian, beberapa
hari setelah ulang tahun, seorang teman baik menghadiahkan novel pertama
Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin. Meskipun sudah tidak menggilai, rupanya
saya masih bisa membaca buku itu sampai habis. Saya memahami daya tarik
Murakami dan menerima kepopulerannya.
2. Sebegitu pemalunya saya, baru tahun ini mau berkenalan
dengan sastra Indonesia klasik. Saya mulai sering mengunjungi tempat-tempat
yang menyediakan buku-buku bergenre ini. Judul-judul yang saya tulis pada poin
ini seluruhnya didapat dari Lawangbuku Beranda di Baltos dan Perpustakaan Batu
Api di Jatinangor.
Saya cocok dengan gaya bahasa dan penuturan Gerson Poyk dalam buku kumpulan cerpen Di
Bawah Matahari Bali, tetapi kurang cocok dengan temanya. Itu cukup
membuat saya lanjut membaca novel Sang Guru oleh penulis yang sama. Kali
ini kecewa total. Suatu hari saya menemukan Hati Nurani Manusia,
salah satu novel Idrus. Sudah mengenalnya sejak SMP, ada penggalan “Jalan Lain
ke Roma” lengkap dengan tokoh Open dalam buku teks Bahasa Indonesia. Tanpa
pikir panjang buku pun dibawa pulang, Aman
dari resiko kecewa, batin saya. Namun keliru, Saudara-Saudara! Saya yang
mengingat kesederhanaan bertutur sebagai ciri khas cerpen Idrus, lantas
menghadapi kenyataan dalam bentuk sebuah novel penuh deskripsi yang tidak lekas
menjelaskan apa motif para tokohnya. Deskripsi, deskripsi, deskripsi!
Hati Nurani
Manusia berkebalikan dengan kumpulan
cerpen Senyum Karyamin Ahmad Tohari yang berplot cergas. Namun
ada sesuatu yang membuat saya sulit akrab dengannya. Tema sastra Indonesia
klasik yang saya temui kebanyakan seputar hal-hal sulit yang jauh dari ‘tema’
saya. Di Bawah Matahari Bali membahas
hubungan laki-laki dengan perempuan. Sang
Guru, tentang kesulitan seorang guru yang bertugas Ternate kala meletusnya
pemberontakan Permesta. Hati Nurani
Manusia, tentang keserakahan serta
pengkhianatan. Senyum Karyamin paling
getir, bahasannya kelaparan dan kemiskinan petani. Membaca Senyum Karyamin memunculkan rasa bersalah, karena, sambil baca buku
itu ada makanan yang terhidang di meja. Ada uang dalam dompet untuk beli
makanan. Saya merasa bersalah karena tidak tahu mesti berbuat apa untuk
mengurangi penderitaan tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen itu. Bersalah karena
tidak bisa apa-apa meskipun memiliki kesempatan lebih daripada mereka.
Sejauh ini, penulis kesukaan saya yang paling mendekati genre
sastra Indonesia klasik adalah Vincent
Mahieu, alias Jan Boon, alias Tjalie Robinson. Sebetulnya ia
berkebangsaan Belanda, tetapi karena besar di Hindia Belanda, tulisannya banyak
yang berlatar di sini. Saya suka karena tidak semua rekaman nostalgia diputar
manis. Kental juga kepahitan, serta unsur realisme magisnya. Dua buku kumpulan
cerpennya, Cis dan Cuk sebetulnya saya baca tahun lalu. Namun, cerpen “Santapan” dari Cis termasuk ke dalam Antologi Cerpen Terbaik Majalah Kisah Indonesia terbitan
1955 yang saya baca tahun ini.
“Santapan” mengambil latar zaman kekuasaan Jepang di Hindia
Belanda. Ceritanya tentang seorang pengemis sekarat yang berebut tulang segar
dengan seekor anjing. Perebutan tidak dilakukan secara fisik, tetapi dalam
benak masing-masing. Sementara kesadaran si pengemis semakin melayang, ia berdialog dengan si
anjing. Pada dialog ini anjing keluar sebagai pihak yang sopan dan logis,
sementara manusia kasar dan berpikiran kabur. Meskipun “Santapan” memiliki tema
serupa dengan “Senyum Karyamin”, ada jarak cukup aman antara latar cerita ini
dengan keseharian saya sehingga tidak memunculkan rasa bersalah saat membacanya.
“Ini terjadinya dulu,” ujar saya pada diri sendiri.
3. Alih-alih sastra Indonesia klasik,
saya malah menyukai sastra Jepang klasik, The Counterfeiter, kumpulan cerpen Yasushi Inoue yang pertama kali terbit
pada tahun 1965. Ada tiga cerpen dalam
buku ini semuanya menggunakan realisme. Cerpen pertama dan paling berkesan
berjudul “The Counterfeiter”. Tentang Hosen Hara, seorang pemalsu lukisan, yang
diceritakan dari sudut pandang wartawan yang dapat pesanan menulis biografi
seniman besar yang lukisannya ditiru oleh si pemalsu. Hara bukannya tanpa bakat.
Akan tetapi, daripada membuka jalan sendiri, ia memilih jalan mengekor
sahabatnya. Pada akhirnya jalan mengekor itu juga sama beratnya. Sebagai
pemalsu. Hara tidak bisa terlalu lama tinggal di suatu tempat untuk menghindari
ketahuan. Membuat kembang api lantas menjadi kesenangan dan obsesinya. Padahal
pekerjaan itu sangat berat di musim dingin dan berbahaya bagi lingkungan
sekitar. Lama-lama ia kehilangan kemampuan melukis dan dipandang sebelah mata
oleh tetangga-tetangganya sampai akhir hayat. Dalam cerpen itu, satu-satunya
yang bisa memetik pelajaran dari kisah hidup Hosen Hara adalah si wartawan.
The
Counterfeiter saya beli beberapa
tahun lalu di pameran buku tahunan Fakultas Ekonomi Unpar. Waktu itu stand toko buku Periplus mengobral karya-karya
sastra Jepang klasik semacam The
Counterfeiter dengan harga 3.500-5.000 rupiah. Saya membeli banyak, tetapi
kemudian membacanya tidak sekaligus saat itu juga. The Counterfeiter ini ditamatkan tahun ini ketika sedang mudik ke
Magelang. Saya sulit menjelaskannya, tetapi cerita berlatar Jepang tempo dulu yang
penuh dengan nilai dan kebiasaan itu entah bagaimana cocok dibaca ketika berada
di Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar