“Kartu yang biru itu lucu.”
“Hei …”
“Eh, jangan deh. Sebaiknya yang Mocca
saja! Gambarnya bagus seperti kotak pensil warna. Aku tahu kamu pasti suka!”
“Suka sih suka ... Tapi kan sudah
kubilang: Nggak ada cukup tempat menulis di kartu-kartu kecil itu. Buat
kesan-kesan Meet Up Card to Post di Bandung ini kita perlu tempat yang luas. Kita butuh lebih banyak
kartu.”
“Sebanyak apa?”
***
Pagi itu, di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-68, Fanni dan saya melangkah beriringan memasuki Forest
Walk Babakan Siliwangi. Masing-masing dari kami membawa tiga tas gemuk. Orang yang kebetulan lewat
boleh jadi menduga kami sedang kawin lari. Apalagi saat kami menggelar tikar
dan memasang tali jemuran. Kami yang sebetulnya cuma teman ini lantas
mengeluarkan bekal makanan dan peralatan yang mereka bawa dari rumah. Di
kejauhan terdengar lagu Indonesia Pusaka. Fanni sibuk dengan teleponnya. Usai
menjepit sejumlah kartu pos di tali jemuran. Nah, sekarang tinggal tunggu teman-teman yang lain, pikir saya.
Saat matahari semakin naik,
kami tak lagi berdua. Berturut-turut muncul juga peserta Meet Up Card to Post yang lain: Lana, Upeh, Lily, Tomy, Rizki, Talitha, Muti, dan Widya. Sebagian dari kami baru pertama kali bertemu. Sebagian
lainnya pernah berjumpa, tetapi lebih sering bertukar kabar lewat kartu pos.
Jumlah teman-teman yang hadir ini kejutan—beberapa hari lalu, setengah bergurau kami memasang target pesimistis, “Yaa,
lima atau enam orang!”
“Halo semuanya, kenalin aku Fanni!” Fanni membuka sesi sharing
peserta dengan keceriaan seterik matahari siang itu. “Aku mulai jadi anggota
Card to Post sekitar Maret 2012. Beberapa temanku sudah jadi anggota duluan.
Sejak awal, aku membuat kartu pos handmade.
Alasannya aku nggak punya printer dan nggak bisa bikin desain di komputer. Ah,
aku ingat kartu yang dulu kukirim ke Rizki! Gambar singa, cupu pokoknya! Dulu pas kuliah aku
tinggal di asrama. Waktu mau bikin kartu pos, aku cari-cari inspirasi di dalam kamar.
Pas lihat seprei ternyata ada gambar singa, akhirnya kutiru gambar itu dan
hasilnya kukirim!” Rizki pun menunjukkan kartu pos singa yang dimaksud dan kiriman
terbaru Fanni: kartu pos bergambar seorang model berpose a la street
style yang dikerjakan dengan cat air. Fanni mengangguk bangga, “Mendingan, kan?”
“Lama-lama, aku mulai penasaran
dengan orang-orang yang berkirim kartu denganku. Apa sih yang mereka rasakan waktu mengirim kartu pos? Seperti apa koleksi
mereka? Apalagi aku menerima banyak kartu bagus-bagus. Contohnya kartu pos
bergambar VW ini. Aku dikirimi Annisa Astitri. Sejak dulu
aku dan papa penggemar VW, keluarga kami pernah punya segala jenis VW.”
Fanni melanjutkan, “Setelah dapat kiriman dari Andika, keinginan buat mengadakan
Meet Up Card to Post semakin kuat. Karena tahu kita sama-sama dari Bandung, kuajaklah dia ketemu.” Pada titik ini saya tak tahan tidak menyela, “Pertama kali
Fanni muncul di blog Card to Post sebetulnya aku iri,“ saya mengakui. “Ini siapa sih? Sering
banget dapat kartu. Semua orang juga senang memamerkan kartu buatannya. Kartu yang dibuat Fanni seakan
menjeritkan, ‘I’m fun!’ Sementara
itu, karena jarang ada yang pamer kartuku, aku sempat khawatir orang-orang yang
kukirimi merasa dikerjai. Akhirnya, kucoba mengirimi Fanni kartu. Eh, rupanya
dia suka! Dan langsung mengajak ketemu. Aku sempat ragu. Kayaknya kepribadian kami beda, deh. Aku pemalu dan dia ramai. Tapi kupikir,
‘Apa salahnya?’ Setelah bertemu, rupanya kami punya banyak kesukaan yang sama.
Lama-lama kami jadi sering berkegiatan sama-sama: bikin kartu pos bareng,
nonton gigs bareng, makan bareng,
jalan-jalan bareng, bahkan sempat yoga bareng segala! Di luar dugaan aku dapat
teman dekat baru. Kalau nggak dari Card to Post, mana bisa aku ketemu Fanni?”
Fanni pun
bercerita tentang preferensi kartu posnya. “Sebetulnya macam-macam. Karena suka
gambar, aku suka dapat kartu pos yang digambar sendiri. Aku juga suka crafting, jadi senang dapat kartu-kartu
pos crafty seperti buatan Vienna yang
memakai teknik paperquilling ini.”
Fanni menunjuk kartu pos di belakangnya. “Dan meskipun sekarang di web Card to Post ada tren kartu pos handmade, aku juga suka dapat kartu pos
foto. Ada satu teman Card to Post, namanya Rofida Amalia. Awalnya kami kirim-kiriman kartu pos, lama-lama kami bikin
proyek bersama: dia mengirim foto, aku membuat tulisan yang diinspirasi
fotonya.”
Selanjutnya, Fanni memilih Upeh berbagi pengalaman kartu pos. “Nama saya Ulfa, biasa dipanggil Upeh,”
ujar anak ini kalem. Pertemuan dengan Upeh mengejutkan saya. Sebelumnya, saya selalu
membayangkan Upeh sebagai perempuan muda sassy,
centil, serta sarkastis. Asumsi ini bersumber dari avatar dan foto-foto di web di
mana Upeh selalu memamerkan kartu posnya dengan kuku berkuteks. (Jelaslah cacat logika ini meleset jauh dari
kenyataan!) Alih-alih, Upeh mendekati teman-teman Card to Post dengan tenang dan senyum malu-malu. Siang itu kukunya pun
tak diwarnai. Sejauh ini dalam permainan uji prasangka saya tertinggal 0-2.
“Aku pertama kali menerima
kartu pos kiriman Bening dari Singapura,“ tutur Upeh. “Padahal kami nggak kenal-kenal amat.
Suatu hari di Twitter aku membaca tawaran Bening yang lagi kepingin mengirim
kartu pos. Karena suka kartu pos, aku menyambut tawaran itu. Rupanya Bening anggota Card to Post, sejak
itu aku tertarik bergabung.”
Upeh menyimpan rapi koleksi
kartunya dalam kotak bingkisan berpita. “Sebetulnya belum banyak kartu pos yang
kuterima. Sebagian
kartu yang kukumpulkan beli sendiri, sebagian lagi bikin sendiri. Dulu rasanya susah mencari kartu pos bagus, sekarang semakin
banyak.”
Salah satu kartu pos buatan
Upeh bergambar motif bunga dan daun yang digambar sendiri dengan spidol. Kartu
itu kelihatan unik, lain dengan kartu-kartu yang sudah muncul di Ruang Pamer
Card to Post. “Wah ini harus dikirimin, Pe’!” seru saya antusias. Upeh lantas
mengaku, “Aku banyak kok mengirim kartu ke teman-teman yang lain, tapi sedikit
yang pamer dan membalas.”
“Oh, itu sering terjadi,” sahut saya. “Aku dulu juga begitu: mengirim banyak
kartu, tapi nggak dapat balasan berminggu-minggu. Lama-lama aku nggak terlalu
memikirkan balasan lagi. Kuusahakan paling sedikit mengirim satu kartu pos
setiap minggunya. Sekarang hampir tiap minggu aku menerima kartu pos, yang
mengirim juga nggak selalu orang yang terakhir kukirimi.”
Sebelum menyudahi kisahnya,
Upeh sempat berbagi cerita tentang mengirim kartu pos pada … “Kecengan,”
ujarnya. Serta merta peserta lain menajamkan telinganya. “Terus dibalas, Pe’?”
“Enggak perlu balasan,” jawab Upeh tegas. “Ini bukan soal balasan, tapi soal usahaku
menyampaikan sesuatu.”
Upeh meminta Lana melanjutkan cerita. Di
jagat Card to Post, kartu pos dari Lana memiliki penunggu setianya. Lana menggambar dengan khas dan kerap menyambung kisah setiap kartu pos
yang diterimanya. Dialog tak hanya dilakukan lewat tulisan, tetapi juga lewat
gambar. Ketika para peserta Meet Up
berjumpa langsung dengannya, Lana tak banyak berkata-kata. Namun, mungkin saja
pemudi berpotongan rambut bob ini sebetulnya juga berkata-kata dengan cara
lain. Hari itu Lana memakai t-shirt
berfoto laki-laki yang merokok; bisa jadi pesannya: Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not.
“Pertama kali, aku kenal Card to Post dari zine-zinean online Salamatahari,” Lana mengawali cerita. “Aku juga
pemalu, jadi senang bisa menyampaikan sesuatu lewat gambar dan tulisan” Sambil
bicara, ia memilih-milih kartu dari koleksinya. “Karena aku suka paper doll—boneka kertas yang bajunya
bisa diganti-ganti—aku lalu mengirim kartu pos dengan cetakan paper
doll. Dari kirim-kiriman ini, aku mengenal food blogger yang minta dikirimi kartu
pos paper doll juga. Kami pun
kirim-kiriman. Lama-lama, aku nggak mendengar kabarnya lagi. Setelah tahun baru
2013, aku mengirim lagi kartu pos ke dia. Kata-katanya, ‘Halo, lama tak jumpa.’ Dia lalu mengirim kartu pos bergambar
orang hampir tenggelam yang berseru, ‘Tolooong!’
Rupanya temanku cerita kalau rumahnya baru saja kebanjiran. Belakangan
dia sibuk mengurusi soal ini. Kartu pos ini berkesan karena di saat yang sama
aku sedang praktek kerja lapangan di Jakarta.
“Waktu di Jakarta
kegiatanku cuma pergi ke kantor dan pulang ke kost-an, begitu terus setiap hari. Aku bahkan nggak sempat berkirim kartu pos karena nggak tahu di mana
kantor pos. Padahal ada satu yang persis di belakang kantorku.”
Ketika ditanya soal
gambar-gambar, Lana tersenyum, “Aku punya metode mengirim kartu pos: pertama
kartu pos yang datang kukumpulkan sampai agak banyak, baru aku menggambar semua
kartu balasannya. Kadang-kadang, menunggu mood
menggambar ini agak lama, jadi balasannya juga lama,” Lana tertawa bersalah. “Sebetulnya
dulu cita-citaku jadi anak seni rupa, tapi belum kesampaian karena nggak
keterima di negeri. Akhirnya jadilah aku anak jurnalistik. Karena suka gambar,
maka aku tetap melakukannya. Aku berupaya agar gambar dan tulisanku bisa
dilihat banyak orang. Maka dari itu aku bikin zine bersama teman-teman.”
“Gambar kamu detail, Lan!
Dari mana asal detail itu?” tanya Fanni.
“Sebetulnya detail gambarku
itu dibuat untuk menutupi kekuranganku dalam menggambar. Misalnya kesulitanku membuat
gesture. Aku mencoba menutupinya
dengan menambahkan detail. Detail yang kecil-kecil.”
Lana kemudian menunjuk saya. Saya tak suka karena setiap bicara di depan
umum jantung saya berdebar dan konsentrasi buyar! “Aku dulu juga kenal Card to Post dari Salamatahari. Waktu itu edisi ‘Soal Essay’, pembaca bertugas menulis sendiri isi Salamatahari.
Rupanya Card to Post keluar dalam ujian! Aku suka menulis, jadi senang-senang saja waktu bikin cerpen yang
terinspirasi header Card to Post. Cerpenku sama sekali nggak berhubungan dengan apa Card to
Post sebenarnya, tapi membuatku penasaran mencari tahu tentang komunitas ini.
Tadinya kukira Card to Post semacam toko online yang menjual
kartu pos, tapi ternyata nggak begitu juga. Akhirnya aku daftar jadi anggota Card to Post.”
“Begini,” jelas saya, “ada
satu hal yang selalu kulakukan sewaktu mengenal teman baru dan merasa nyaman
dengan mereka: aku selalu bilang kalau aku homoseksual. Tujuannya supaya nggak tersangkut
rumitnya percintaan dan nggak dijodohkan salah sasaran. Nah, itu juga yang
kulakukan pada teman-teman yang kukirimi kartu pos … pada kartu pos pertama. Tapi ini justru bikin
aku jarang dapat balasan.”
“Untungnya aku kepikiran
mengirim kartu ke Sundea, penulis Salamatahari yang sudah kukenal duluan.,” saya
melanjutkan. “Meskipun sekarang Dea jarang mengirim kartu, tapi balasannya
waktu awal aku bergabung membuatku tetap semangat berkirim kartu pos. Lama-lama
ada juga anak Card to Post yang terus membalas kartuku, namanya Hanifah Nurhayati. Aku suka
nulis panjang di kartu pos, dia juga suka. Kami bertukar banyak cerita, termasuk karakter Spongebob
favoritnya (Sandy) dan episode Spongebob favoritku
(Imajinasi).”
Semakin bertambah usia,
semakin saya merasa jauh dari para teman dekat yang sibuk di tempat berlainan. Sama seperti
semua orang lain, saya kira, kadang-kadang saya kesepian. “Aku mulai mengirim kartu ke teman-teman di luar Card to Post.
Meskipun nggak semua membalas dengan kartu, pada umumnya mereka senang menerimanya.
Yang cukup mendebarkan adalah waktu aku mengirim kartu buat ‘Opa’ di Toko Vintage Garasi Opa,” ujar saya. “Sebetulnya aku kenal para
pemiliknya cukup lama, tapi hubungan kami sempat renggang dan membuatku sedih. Kepalaku
pening waktu kartu itu berpindah tangan ke petugas kantor pos. Berpikir, ‘Andika apaan sih?’ Rupanya ditanggapi positif.
Aku masih suka mengirim ke alamat
itu, tapi sekarang ditujukan langsung buat pemiliknya. Bukan buat ‘Opa’ lagi.”
“Aku juga pernah mengirim
kartu ke teman yang diam-diam kusukai,” kenang saya. “Dia baik, selalu membalas
kirimanku dengan surat pendek dalam amplop cokelat. Sampai suatu hari dia berhenti membalas. Tapi
aku nggak ambil pusing karena nggak ada lagi desakan menyampaikan sesuatu.”
Setelah saya, giliran Lily bercerita. Di antara kami, Lilylah
yang memiliki pengalaman korespondensi paling banyak. Bila kita menyimak ceritanya, tak perlu waktu
lama sebelum menyadari jalan pikirannya yang panjang. Namun gayanya bertutur terbuka dan sederhana
sehingga enak untuk disimak.
“Waktu kecil dulu, aku suka
kirim-kiriman surat
dengan sepupuku. Dia tinggal di Bandung, aku di Jakarta. Pas SMA, aku ikut
pertukaran pelajar. Aduh, itu kesepian sekali! Aku tinggal bersama para koboi
di Arkansas. Mana waktu itu internetnya masih dial up connection …” tukas Lily. “Aku mulai lagi menyurati keluarga dan
teman-teman. Semuanya kutulisi. Dulu dalam seminggu aku bisa sampai mengeposkan
tiga surat. Bedanya dengan di Indonesia, di sana kita nggak perlu membawa surat
yang sudah berprangko ke kantor pos. Tinggal kita masukkan ke bus surat, setelahnya kita balik bendera di bus surat. Nanti surat itu akan dijemput Pak Pos. Bendera merupakan
tanda bahwa bus surat terisi.”
“Aku suka menerima kartu
pos yang dibuat dengan tangan. Sejak dulu aku suka kerajinan tangan. Ibuku
betul-betul crafty mama! Segala kerajinan pernah dicoba. Aku jadi ketularan. Kalau bikin
kerajinan bareng kadang aku suka diledek, ‘Anak Kriya Keramik masa nggak bisa?’
Beberapa waktu lalu aku menerima kartu pos dari Putut yang gambarnya dibuat dengan cetakan
kayu. Sampai sekarang kartunya belum kubalas karena kupikir, ‘Wah, ini aku
harus bikin sendiri juga!’”
“Kemarin ada mahasiswa Korea ke kampusku, ITB,” ujar Lily. Waktu mau pulang, aku dan teman-teman
minta dia mengirimi kami kartu pos. Eh, rupanya dia ingat—waktu sampai di Jepang dia betul-betul
mengirim! ‘Aku sudah sampai Jepang, lho!’ katanya. Waktu tiba di China dia
mengirim sekotak kartu pos yang katanya harus dipakai sampai habis. Gambarnya
lucu-lucu! Sayang dia nggak mencantumkan alamat, aku jadi bingung mau membalas
ke mana. Aku sepakat sama temanku, semua kartu pos memang harus dikirim. Yang namanya kartu pos semakin
berarti kalau dia menyampaikan pesan kepada seseorang.” “Setujuuu!” timpal
Fanni.
“Ada seorang teman, tepatnya mantanku, yang lagi kuliah di Swedia. Sampai sekarang dia masih suka kirim kabar.”
Lily menunjukkan beberapa kartu. “Lihat, deh. Prangko dan cap posnya bagus-bagus,
kan? Kalau di sini, kayaknya prangkonya itu-itu terus. Oh ya, pokoknya kalau
ada cowok yang mau jadi pacarku, dia harus suka juga kirim-kiriman surat atau
kartu pos,” Lily mengumumkan. “Itu prasyaratnya.”
Habis Lily, terbitlah Rizki. Pemuda berkacamata ini adalah salah satu pendiri Card to
Post yang mengampanyekan ajakan berkirim kartu ke berbagai media. Inspirasi Meet Up kami adalah sederet kegiatan
Card to Post yang sudah digerakkan Rizki dkk. di Jakarta dan Yogyakarta. Setiap
anggota Card to Post menemukan satu sama lain akibat upaya mereka. Dapat
dibayangkan betapa senangnya peserta Meet
Up Bandung saat berkesempatan bertemu dan mendengarkan cerita Rizki.
“Sebetulnya
Card to Post berawal dari keinginan memiliki karya teman-teman,” tutur Rizki. “Saya
penggemar fotografi. Bersama teman saya membuat online zine kumpulan foto, Memang Terlalu—MALU. Tadinya ide
Card to Post dimaksudkan sebagai proyek MALU. Tapi kemudian idenya berkembang setelah
saya cerita ke teman-teman. Setelah intens bercerita sama Dea, muncul ide
menjadikan Card to Post sebagai bagian perayaan ulang tahun Salamatahari.
Karena itulah ulang tahun Card to Post (17 November) dekat sekali dengan ulang
tahun Salamatahari (19 November).”
“Kemudian
bergabunglah Putri. Kami bertiga pernah ikut suatu workshop sama-sama. Rupanya kemudian Putri mengeluarkan banyak ide
seru buat Card to Post! Salah satunya Kartu Pos Untuk Presiden. Proyek ini
membuat Card to Post diliput di berbagai media dan semakin dikenal luas. Kami
pun berkeliling dan membuat acara pengumpulan Kartu Pos Untuk Presiden ke
berbagai kota,” lanjut Rizki. “Putri kelebihannya bisa bergerak cepat. Berkat
dia dan teman-temannya, acara pengumpulan itu bisa terdokumentasi dengan baik.
Ada videonya. Putri punya banyak teman yang bersenang hati membantu kami
melakukan kegiatan ini secara sukarela, termasuk membuat website. Sebelum punya website
sendiri, awalnya Card to Post memakai akun Tumblr, lalu sempat juga pindah
ke Blogspot. Dulu sempat kewalahan memenuhi permintaan alamat anggota secara
manual. Admin harus membaca satu per satu e-mail
yang masuk, serta menjawabnya. Inilah yang membuat dulu request alamat butuh waktu lama. Karena buat melakukannya, sehari
bisa habis sekitar satu jam sendiri. Sejak ada website Cardtopost, request alamat
dilakukan otomatis.”
Rizki
lantas bercerita tentang proyek-proyek Card to Post yang lain. “Selain Kartu
Pos Untuk Presiden juga ada Kartu Pos Berantai,” ujarnya sambil mengeluarkan
beberapa Kartu Pos Berantai yang dibawanya. “Kartu Pos Berantai ada yang
berbentuk cerita, kolase. Sebetulnya ada juga kelompok gambar, tapi nggak ada
satu pun kelompok gambar yang mencapai garis finish. Rupanya susah juga. Ada peserta yang tiba-tiba enggan
meneruskan kartunya. Ada kartu-kartu yang tertunda di kantor pos, hilang.
(“Kartu kelompokku!” ratap Fanni.) Padahal di setiap kartu disertai memo, ‘Pak Pos, tolong antarkan kartu ini dengan
selamat, ya? Kartu pos ini sangat penting! Terima kasih.’”
Proyek
Kartu Pos Untuk Presiden juga mengalami hambatan. “Sampai sekarang kartu-kartu
ini belum dikirim kepada Presiden. Alasannya, semua kartu yang masuk belum
terdokumentasikan dan bisa diakses oleh masyarakat. Sayang sekali kalau hanya
dikirim, lalu hilang kabarnya. Tadinya kami mau menyelenggarakan pameran dan
membukukan Kartu Pos Untuk Presiden, tapi terkendala dana. Sejauh ini cara
untuk memamerkannya adalah di acara-acara offline
dan di timeline Twitter.”
Usai Rizki, teman-teman yang
belum bercerita adalah Muti, Talitha, Widya, dan Tomy. Namun karena Muti,
Talitha, dan Widya sama-sama newbie
yang datang terlambat, maka mereka tidak sempat berbagi cerita. Sesi sharing
diakhiri dengan cerita Tomy, seorang pelukis jenaka yang
senang melukis kartu pos yang diterimanya ke atas kanvas.
“Skalanya 1:1. Kalau ditanya
mengapa, jawabannya sama seperti kalian. Saya awalnya terinspirasi kartu yang
dikirim mantan saya,” ujarnya sembari cengengesan. Tomy pun menunjukkan kartu
yang dimaksud. “Kartu ini
bergambar sebuah lukisan di Museum Louvre. Sejak itu, saya malakin teman-teman saya mengirimi kartu
juga. Saya melukis bagian depan dan bagian
belakang kartu.”
“Ayo
kita kirimin Tomy kartu pos foto kita!” seru Lily. “Biar dilukis. Atau kita
kirim yang gambarnya rumit sekalian. Eh, mungkin dia pilih-pilih juga ya.”
Tomy tersenyum. “Beberapa lukisan
selesai dengan cepat karena saya senang mengerjakannya, tapi di beberapa
lukisan yang lain saya menemukan masalah dan selesainya bisa sampai satu tahun.”
Saya
mengangguk-angguk. Saya tak mengerti bagaimana cara sebuah karya dihargai
secara materi. Namun saya menduga, jika ada orang yang melukis kembali kartu
pos yang diterimanya—termasuk pesan-pesannya dengan tulisan semirip mungkin.
Barangkali kartu-kartu itu sangat penting baginya. Kartu-kartu pos, meskipun
dari orang yang sama, kadangkala tulisannya berbeda-beda. Barangkali juga, dengan menulis kembali pesan si pelukis bisa lebih
mengerti perasaan si penulis kartu pos. Saya bertanya-tanya, seandainya saya
memiliki kemampuan melukis Tomy, kartu mana yang ingin saya perlakukan begitu.
***
Sesi cerita berlanjut dengan sesi membuat kartu pos bersama. Pada Meet Up ini, Lily melontarkan ide
permainan berkirim kartu pos secara anonim. Setiap peserta menulis alamatnya
dalam sebuah kertas kecil yang lantas digulung dan dibagikan lagi ke
masing-masing peserta. Setiap peserta mesti menulis kepada orang dengan alamat
yang didapatnya. Kepada siapa kartu pos kita ditujukan merupakan TOP SECRET.
Berbeda
dengan sesi cerita, sesi membuat kartu pos lebih enak diceritakan lewat gambar.
Mari mengamati saja foto-foto yang diambil oleh Rizki:
Sampai di sini, saya tidak bisa
menjelaskan bagaimana hari itu waktu terasa begitu cepat berlalu. Sesi membuat
kartu pos bersama lantas diikuti sesi makan siang dan mengobrol bebas. Dengan
wajah riang Muti dan Widya pamit pulang duluan. Setelah berjalan kaki mencari
tempat makan, akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang cukup bagi semua. Kami
pun berusaha mengenal satu sama lain lebih baik: Rizki mencari tahu peluang
pekerjaan di Bandung; Lana bercerita tentang zine-nya; Talitha tentang kesenangannya berburu barang antik; Tomy
memberikan tutorial melukis kaki Fanni; saya, Upeh, dan Lily saling bertukar alamat
dan nomor telepon, Tiba-tiba langit berawan, dan waktu sudah menunjukkan
sekitar jam empat sore. Di luar tempat makan, masing-masing peserta berpisah
dengan senyum senang.
***
“Ini
Rizki kan yang menulis laporan acaranya?” tanya Fanni.
Rizki
melihat saya, “Itu kayaknya Andika mau?”
“Ya, aku mau!” seru saya. Ketika memulai tulisan ini, ia
mendapati suara-suara di benaknya saling bersahutan.
“… Buat kesan-kesan Meet Up Cardtopost di Bandung ini kita perlu tempat yang luas.
Kita butuh lebih banyak kartu.”
“Sebanyak apa?”
“Sebanyak ini. Lihat deh.”