Perlahan Risma
dan saya beranjak dari Auditorium 8. Kami
baru menonton
sebuah film Jerman, Dreileben: Etwas
Besseres Als Den Tod—Tiga Kehidupan: Lebih
Baik Daripada Mati. Pikiran saya masih terbuai irama jazz lagu Cry Me A River yang mengiringi akhir
film tersebut. Risma melangkah pelan di sebelah saya. Dengan tatapan menabrak lantai. ia menggumam, “Dik,
mereka berdua kok kerjanya santai-santai sih?”
‘Mereka’ adalah Ana dan Johannes.
Keduanya tokoh utama dalam film berlatar kota kecil di pinggiran hutan ini. Ana
bekerja sebagai petugas kebersihan hotel, sementara Johannes perawat magang di
rumah sakit. Sepanjang film memang hanya sesekali kami
melihat Ana dan Johannes disibukkan pekerjaan masing-masing. Apa yang kami saksikan
adalah pertemuan keduanya, bagaimana mereka lalu jatuh cinta dan menari pelan
diiringi lagu Cry Me A River. Alih-alih
menyaksikan Ana repot membereskan ranjang, kami melihatnya berciuman dengan kekasihnya
di atas ranjang. Dan karena film ini perpaduan kisah cinta dan pembunuhan,
adegan romantis tersebut diikuti langkah cepat seorang pria bersenjata.
“Aku nggak suka Ana,” tukas Risma. “Dia
emosional banget!
Cepat berbuat sesuatu yang bikin rugi diri sendiri.”
Sebetulnya Risma dan Ana memiliki kesamaan: sama-sama bekerja di
hotel. Meskipun tidak seperti Ana,
Risma bekerja sebagai staf sales and marketing. Risma sering bercerita
bagaimana pekerjaannya tak lantas selesai ketika ia meninggalkan kantor. Di
luar jam kerja, ia masih berkewajiban menjawab telepon klien yang menanyakan maupun
menyampaikan keluhan mengenai hotel. Setiap orang ingin dilayani ramah, Risma
pun harus bisa mengatur emosi saat mengangkat telepon. Rupanya inilah yang
terberat. Semakin sering kami menghabiskan waktu bersama, semakin sering saya
menyaksikan perubahan wajah Risma dari rileks menjadi problem solving mode ketika teleponnya berdering. Saya mengerti alasan
Risma kurang menyukai Ana.
“Ris, teoriku beda sama teorimu,”
ujar saya. “Kupikir kalau Johannes dan Ana sama-sama nggak bolos kerja, mungkin
pembunuhnya bakalan lebih cepat menghabisi Ana. ‘Kan Ana jadi lebih sering sendirian? Justru karena berduaan terus
sama Johannes, dia jadi ada yang melindungi!”
Risma tertawa mendengar
‘teori’ saya, tetapi ia tak menanggapi lebih jauh. Teleponnya bergetar.
Dreileben merupakan
trilogi film yang diproduksi televisi Jerman. Meskipun setiap film diarahkan
sutradara yang berbeda, seuntas benang merah menghubungkan tema, latar, dan
cerita ketiga film tersebut. Pada hari kedua German Cinema Film Festival di
Bandung (23/6) ketiga film diputar berturut-turut di Blitz Megaplex Paris Van
Java. Begitu keluar auditorium, Risma dan saya segera mengantri di depan pintu
untuk menonton film kedua.
“Mikirin apa?” tanya saya kepada Risma yang membisu.
Ia menyeringai. “Mikirin nanti duduk di mana.”
Antrian penonton memang
cukup panjang. Saya teringat komentar ibu Risma tadi ketika saya menjelaskan
tujuan kami, “Pemutaran film gratis?
Wah, pasti ramai dan berdesakan! Hati-hati Risma, nanti tasnya disandang ke
depan.”
Setelah kami menduduki
kursi, pikiran saya kembali pada Johannes dan Ana. Sementara Johannes berasal
dari keluarga berkecukupan, Ana menghidupi keluarganya dengan penghasilan tak
seberapa. Berulangkali hal ini jadi sumber percekcokan.
“Hm, mungkin mereka jatuh
cinta karena Johannes orangnya baik. Melihat perempuan kesusahan, sama dia ya ditolong,” sahut Risma.
“Aku sedih melihat usaha-usaha
Ana menunjukkan cintanya, kecemburuannya,
justru adalah hal-hal yang bikin Johannes pergi. Mungkin Ana melihat Johannes
sebagai pelindungnya, jalan keluarnya dari kehidupannya sekarang. Tapi Johannes
nggak melihat Ana seperti itu.” Saya diam sejenak. “Meskipun begitu, aku suka bagaimana
Johannes bereaksi mendengarkan Cry Me A
River di akhir film. Meskipun mereka akhirnya berpisah, tapi seenggaknya
reaksi itu menunjukkan hubungan itu juga punya arti bagi Johannes.”
Risma mengangguk. Setelah
itu kami tak berkata-kata.
Saat film kedua dimulai, Risma berbisik pada saya, “Dik, setelah kontrak
kerjaku yang ini habis. Aku sebaiknya kerja apa ya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar