"Halo Alam, kamu punya rencana malam ini? Bisa kita ketemu dan ngobrol?"
Saya memperhatikan tiga tanda titik yang berkedip. Sesaat kemudian, balasannya
muncul. "Halo Dika. Aku enggak punya rencana. Tapi aku enggak bisa menemani
kamu. Bapak sakit. Aku sedang menunggu kabarnya."
Dada saya serasa disikut. Jawaban Alam bisa saya mengerti, tapi saya sungguh
ingin bertemu dan bicara dia.
"Bapak sakit apa?"
"Sakit paru-paru. Bapak sudah beberapa kali sakit seperti ini, tapi kali ini
beliau nggak mau masuk rumah sakit. Kami semua jadi bingung."
Kali ini rasa nyeri saya berubah menjadi rasa bersalah. Saya ingin ditemani,
padahal dia yang butuh ditemani. Alam anak ketujuh, umurnya sudah mendekati
kepala empat. Saya membayangkan bapaknya paling tidak berumur tujuh puluh
tahun. Pada usia seperti itu, waktu yang dihabiskan bersama orangtua jadi
sangat berharga. Jangankan Alam. Saya pun merasa sedih melihat Mama kelelahan
dan kurang sehat sepulang dari perjalanan dinas ke luar kota.
Saya mulai menulis, "Alam, beberapa waktu yang lalu mamaku sakit. Hubunganku
dengan Mama nggak selalu mulus. Kami meyakini hal yang berbeda. Tapi aku
selalu berpikir, biar bagaimanapun semua kesenangan dan kesedihan yang
kurasakan semua berkat orangtuaku. Aku pernah merasakan nggak enaknya melihat
orangtua sakit. Aku berharap yang terbaik untuk bapakmu. Dan semoga kalian
mendapat kekuatan untuk melewati saat-saat yang sulit ini."
"Betul. Apapun kesalahan yang dibuatnya dulu, sekarang yang penting Bapak
sembuh."
***
Sesungguhnya, saya ingin bercerita kepada Alam tentang kesedihan yang saya
rasakan. Tapi rupanya dia punya kesedihannya sendiri. Dulu saya
beranggapan kesedihan adalah makanan pahit yang harus dihabiskan sendiri.
Sekarang saya percaya bercerita bisa mengurangi rasa pahitnya. Saya
kerap kesulitan merangkai kata-kata penghiburan untuk orang yang sedang
berduka. Apalagi kalau saya belum pernah berada dalam situasi yang sama. Apa kata yang bisa membuat orang lain baikan? Namun, baru saja saya menyadari apa yang saya inginkan dari pertemuan dan obrolan dengan Alam bukanlah kata-kata yang menghapus semua duka saya, melainkan doa dan perhatiannya.
(Cerita ini ditulis di pertemuan Couchsurfing Writer's Club Bandung (28/1). Temanya Blue. Teman-teman mulai mengendus kepayahan saya dalam menulis fiksi.)
Dika, makasih, ya :)
BalasHapus