Saya tidak suka dengan uang. Terlepas dari kesenangan mendapatkan, memiliki, dan membelanjakannya; saya kesal dengan bagaimana kepemilikan seseorang atas uang mampu memengaruhi perilaku orang-orang di sekitarnya, dan ... ya, saya cukup payah dalam memanajemen keuangan sendiri. Pada tanggal tiga puluh ini, tidak ada selembar uang kertas pun yang ada dalam dompet saya.
Saya sudah bermasalah dengan uang semenjak saya masih kecil. Ketika kelas satu SD, saya senang sekali mengonsumsi Jagoan Neon, permen yang warnanya bisa menempel di lidah. Masalahnya sekemasan kecil permen ini harganya dua ratus lima puluh rupiah. Padahal ibu telah menetapkan bahwa uang saku saya sehari hanya dua ratus rupiah. Alhasil untuk bisa membelinya saya memakai uang jajan yang setiap hari diberikan ibu, dan uang jajan ekstra yang saya minta dari bapak tanpa sepengetahuan ibu. Taktik ini berjalan dengan mulus, sampai suatu hari kakak saya membocorkannya dan saya pun dimarahi habis-habisan. Bapak pun menjuluki saya Jagoan Jajan.
Tidak berhenti sampai di situ saja, serangkaian 'kejahatan' keuangan lain yang saya lakukan termasuk menggunakan uang SPP untuk jajan dan membeli komik Detektif Conan, diam-diam mencuri uang dari dompet seorang teman (mudah-mudahan ia memaafkan saya), berjualan cokelat demi menambah uang jajan (menjadi masalah ketika usaha ini sukses besar dan malah menjadi prioritas utama saya ke sekolah alih-alih belajar), dll. Duh! Malu rasanya mengingat semua kejadian itu.
Beruntung saya sempat tinggal di kota kecil bernama Magelang. Berhubung di sana tidak terlalu banyak yang bisa dibeli, belanja saya pun terkendali. Pulang-pergi ke sekolah saja saya berjalan kaki, dan di sekolah saya tidak pernah jajan! Perilaku hemat ini sedikit banyak terbawa ketika saya kembali ke Bandung, bahkan selama SMA saya bisa menabung dalam jumlah yang cukup besar. Sayangnya, situasi tersebut tidak bertahan lama. Saya sekarang tidak tenang bila melihat saldo uang yang ada di buku tabungan. Baru terkumpul sedikit, sudah bernafsu membelanjakan. Saya melampiaskan stress dengan berbelanja buku dan DVD bajakan. Uang saya juga banyak keluar untuk eating out, membeli bahan bacaan kuliah, dan merawat motor di bengkel (yang ini sangat mengeluarkan uang).
Makin sedih lagi, usaha saya mendapat uang tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan selalu menemui jalan buntu. Saya sangat mau bekerja sambilan, tetapi waktu saya masih banyak tersita oleh kesibukan kuliah. Sialnya, kesibukan yang dimiliki di luar kuliah juga memang tidak dimaksudkan menghasilkan uang tambahan. Saya pernah hampir diterima bekerja sambilan, tetapi tidak jelas kelanjutannya. Jangan-jangan penampilan mengindikasikan saya merupakan anak manja yang tidak biasa bekerja. Percayalah! Selain sementara memfasilitasi sebuah lingkaran penulis dan menjadi calon pemagang di LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja; di rumah saya melakukan hampir semuanya sendiri: mencuci baju sekeluarga, mencuci piring sekeluarga, mencuci motor, menyapu dan merapikan kamar, dan kadang-kadang menyetrika. Tidak ada pembantu yang berdomisili di rumah keluarga saya.
Melalui catatan yang dibuat saat tengah bokek-bokeknya ini, saya bertekad akan kembali meneruskan jurnal catatan pemasukan dan pengeluaran saya yang terhenti pada November 2008. Memilah-milah mana transaksi yang layak dilakukan dengan yang tidak. Saya akan kembali menulis resensi film dan buku agar bisa mendapat pinjaman gratis di Rumah Buku. Alih-alih makan atau berbelanja, apabila stress saya akan berjalan kaki. Quite a plan, huh?
***
Saya sudah bermasalah dengan uang semenjak saya masih kecil. Ketika kelas satu SD, saya senang sekali mengonsumsi Jagoan Neon, permen yang warnanya bisa menempel di lidah. Masalahnya sekemasan kecil permen ini harganya dua ratus lima puluh rupiah. Padahal ibu telah menetapkan bahwa uang saku saya sehari hanya dua ratus rupiah. Alhasil untuk bisa membelinya saya memakai uang jajan yang setiap hari diberikan ibu, dan uang jajan ekstra yang saya minta dari bapak tanpa sepengetahuan ibu. Taktik ini berjalan dengan mulus, sampai suatu hari kakak saya membocorkannya dan saya pun dimarahi habis-habisan. Bapak pun menjuluki saya Jagoan Jajan.
Tidak berhenti sampai di situ saja, serangkaian 'kejahatan' keuangan lain yang saya lakukan termasuk menggunakan uang SPP untuk jajan dan membeli komik Detektif Conan, diam-diam mencuri uang dari dompet seorang teman (mudah-mudahan ia memaafkan saya), berjualan cokelat demi menambah uang jajan (menjadi masalah ketika usaha ini sukses besar dan malah menjadi prioritas utama saya ke sekolah alih-alih belajar), dll. Duh! Malu rasanya mengingat semua kejadian itu.
Beruntung saya sempat tinggal di kota kecil bernama Magelang. Berhubung di sana tidak terlalu banyak yang bisa dibeli, belanja saya pun terkendali. Pulang-pergi ke sekolah saja saya berjalan kaki, dan di sekolah saya tidak pernah jajan! Perilaku hemat ini sedikit banyak terbawa ketika saya kembali ke Bandung, bahkan selama SMA saya bisa menabung dalam jumlah yang cukup besar. Sayangnya, situasi tersebut tidak bertahan lama. Saya sekarang tidak tenang bila melihat saldo uang yang ada di buku tabungan. Baru terkumpul sedikit, sudah bernafsu membelanjakan. Saya melampiaskan stress dengan berbelanja buku dan DVD bajakan. Uang saya juga banyak keluar untuk eating out, membeli bahan bacaan kuliah, dan merawat motor di bengkel (yang ini sangat mengeluarkan uang).
Makin sedih lagi, usaha saya mendapat uang tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan selalu menemui jalan buntu. Saya sangat mau bekerja sambilan, tetapi waktu saya masih banyak tersita oleh kesibukan kuliah. Sialnya, kesibukan yang dimiliki di luar kuliah juga memang tidak dimaksudkan menghasilkan uang tambahan. Saya pernah hampir diterima bekerja sambilan, tetapi tidak jelas kelanjutannya. Jangan-jangan penampilan mengindikasikan saya merupakan anak manja yang tidak biasa bekerja. Percayalah! Selain sementara memfasilitasi sebuah lingkaran penulis dan menjadi calon pemagang di LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi remaja; di rumah saya melakukan hampir semuanya sendiri: mencuci baju sekeluarga, mencuci piring sekeluarga, mencuci motor, menyapu dan merapikan kamar, dan kadang-kadang menyetrika. Tidak ada pembantu yang berdomisili di rumah keluarga saya.
***
Melalui catatan yang dibuat saat tengah bokek-bokeknya ini, saya bertekad akan kembali meneruskan jurnal catatan pemasukan dan pengeluaran saya yang terhenti pada November 2008. Memilah-milah mana transaksi yang layak dilakukan dengan yang tidak. Saya akan kembali menulis resensi film dan buku agar bisa mendapat pinjaman gratis di Rumah Buku. Alih-alih makan atau berbelanja, apabila stress saya akan berjalan kaki. Quite a plan, huh?