Belakangan ini saya menggemari novelis Jepang, Haruki Murakami. Dalam novel-novel yang saya baca sebelumnya, Norwegian Wood dan Kafka on the Shore, Murakami selalu menggunakan sudut pandang orang pertama dari karakter protagonis yang tidak yakin ingin melakukan apa pada kehidupannya. Intinya Murakami banyak bersikap kritis terhadap modernisasi Jepang di dalam novel-novelnya. Modernisasi dianggap membuat manusia kehilangan otonomi dirinya, sehingga mereka tidak lagi menjadi pelaku tetapi menjadi korban dalam perkembangan kebudayaan.
Pada novel-novelnya, Murakami juga kerap mencantumkan referensi pop dari kebudayaan Barat. Karakter-karakternya gemar mendengarkan The Beatles, Beethoven, Bob Dylan, menonton The 400 Blows-nya François Truffaut, The Graduate-nya Mike Nichols, dan membaca The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Bagi beberapa orang, pencantuman referensi ini tentu akan menimbulkan perasaan teridentifikasi: di satu sisi identitas mereka adalah Timur, sementara di sisi lain mereka mengonsumsi produk-produk budaya Barat: musik top 40, film Holywood, dan serial televisi barat. Kemunculan referensi pop ini sebetulnya cukup aneh, bukankah Murakami mengritik modernisasi dan masuknya kebudayaan populer Barat adalah dampak dari modernisasi? Mungkin ini adalah bentuk kejujurannya yang melawan modernisasi tetapi tetap mengakui bahwa dirinya tidak bisa terlepas dari produk-produk budaya Barat.
Terlepas dari itu semua, membaca The Wind-Up Bird Chronicle seperti pengalaman baru yang memberikan sensasi berbeda dari membaca novel Haruki Murakami yang lain. Novelnya yang pertama saya baca adalah Norwegian Wood (1987), dilanjutkan Kafka on the Shore (2004), dan terakhir The Wind-Up Bird Chronicle (1992-1995). Membaca dengan urutan ini seperti mendaki bukit, bila Norwegian Wood adalah karya pengenalan yang paling normal dan Kafka on the Shore karya pertengahan yang agak sinting sedikit, maka The Wind-Up Bird adalah karya puncak Murakami yang penuh dengan percampuran antara 'dunia nyata' dan surealisme.
Di Jepang, The Wind-Up Bird Chronicle sebetulnya diterbitkan dalam tiga buku berseri. Berbeda dengan edisi Bahasa Inggrisnya, di mana tiga buku itu disatukan dalam satu volume buku setebal 605 halaman paperback, kurang lebih seukuran buku Harry Potter, tetapi ukuran hurufnya paling tidak 1.5 kali lebih kecil. Dengan Bahasa Inggris dan disiplin membaca yang pas-pasan, perlu dua minggu lebih bagi saya untuk menamatkan novel ini. Untungnya Murakami adalah pencerita yang baik dan variatif, sehingga saya tidak pernah merasa kebosanan. Baik di sini berarti apa yang ditulisnya memang menarik (di luar bab-bab yang berfokus pada kejahatan perang di Manchuria, yang bagi beberapa orang mungkin menarik tetapi bagi saya sangat membosankan), sementara variatif maksudnya Murakami kerap variasi dalam format penulisan, di mana selain format bab konvensional kadang-kadang dia mencantumkan 'artikel koran', surat, transkrip chatting, dll. The Wind-Up Bird Chronicle, yang lebih dari sepuluh tahun lalu ditulis di Jepang, tidak akan terasa kuno meskipun dibaca di Indonesia pada saat ini.
Bab-bab awal The Wind-Up Bird Chronicle pernah dimuat di mingguan budaya prestisius, The New Yorker, sebagai cerpen. Cerpen tersebut mengandung banyak referensi pop: Len Deighton, Robert Plant, Cartier, Allen Ginsberg, Adidas, dan majalah Penthouse, yang akhirnya dipangkas habis pada versi novelnya. Oh ya, dalam novel ini referensi pop Murakami tidak seheboh di novel-novel yang lainnya. Murakami lebih mengeksplorasi dunia mimpi; mitos-mitos lama di Jepang mengenai sumur, kucing. Pokoknya The Wind-Up Bird Chronicle sangat post-modernisme, di mana tatanan ditiadakan dan ilmu berkembang secara tidak linear. Murakami bukanlah penulis yang takut memberikan solusi bersifat metafisis, yang tidak akan dimengerti dengan pikiran yang logis. Banyak kebetulan yang menyatu seperti rantai, seakan semua memang sudah ditakdirkan. Sekilas, membaca novel-novel Murakami mengingatkan saya dengan serial Supernova karya Dewi Lestari.
The Wind-Up Bird Chronicle bisa dipinjam di Rumah Buku dengan biaya sewa 8500 rupiah. Bagi yang belum pernah membaca Haruki Murakami tetapi berniat melakukannya, disarankan memulai dengan Norwegian Wood.
Pada novel-novelnya, Murakami juga kerap mencantumkan referensi pop dari kebudayaan Barat. Karakter-karakternya gemar mendengarkan The Beatles, Beethoven, Bob Dylan, menonton The 400 Blows-nya François Truffaut, The Graduate-nya Mike Nichols, dan membaca The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Bagi beberapa orang, pencantuman referensi ini tentu akan menimbulkan perasaan teridentifikasi: di satu sisi identitas mereka adalah Timur, sementara di sisi lain mereka mengonsumsi produk-produk budaya Barat: musik top 40, film Holywood, dan serial televisi barat. Kemunculan referensi pop ini sebetulnya cukup aneh, bukankah Murakami mengritik modernisasi dan masuknya kebudayaan populer Barat adalah dampak dari modernisasi? Mungkin ini adalah bentuk kejujurannya yang melawan modernisasi tetapi tetap mengakui bahwa dirinya tidak bisa terlepas dari produk-produk budaya Barat.
Terlepas dari itu semua, membaca The Wind-Up Bird Chronicle seperti pengalaman baru yang memberikan sensasi berbeda dari membaca novel Haruki Murakami yang lain. Novelnya yang pertama saya baca adalah Norwegian Wood (1987), dilanjutkan Kafka on the Shore (2004), dan terakhir The Wind-Up Bird Chronicle (1992-1995). Membaca dengan urutan ini seperti mendaki bukit, bila Norwegian Wood adalah karya pengenalan yang paling normal dan Kafka on the Shore karya pertengahan yang agak sinting sedikit, maka The Wind-Up Bird adalah karya puncak Murakami yang penuh dengan percampuran antara 'dunia nyata' dan surealisme.
Di Jepang, The Wind-Up Bird Chronicle sebetulnya diterbitkan dalam tiga buku berseri. Berbeda dengan edisi Bahasa Inggrisnya, di mana tiga buku itu disatukan dalam satu volume buku setebal 605 halaman paperback, kurang lebih seukuran buku Harry Potter, tetapi ukuran hurufnya paling tidak 1.5 kali lebih kecil. Dengan Bahasa Inggris dan disiplin membaca yang pas-pasan, perlu dua minggu lebih bagi saya untuk menamatkan novel ini. Untungnya Murakami adalah pencerita yang baik dan variatif, sehingga saya tidak pernah merasa kebosanan. Baik di sini berarti apa yang ditulisnya memang menarik (di luar bab-bab yang berfokus pada kejahatan perang di Manchuria, yang bagi beberapa orang mungkin menarik tetapi bagi saya sangat membosankan), sementara variatif maksudnya Murakami kerap variasi dalam format penulisan, di mana selain format bab konvensional kadang-kadang dia mencantumkan 'artikel koran', surat, transkrip chatting, dll. The Wind-Up Bird Chronicle, yang lebih dari sepuluh tahun lalu ditulis di Jepang, tidak akan terasa kuno meskipun dibaca di Indonesia pada saat ini.
Bab-bab awal The Wind-Up Bird Chronicle pernah dimuat di mingguan budaya prestisius, The New Yorker, sebagai cerpen. Cerpen tersebut mengandung banyak referensi pop: Len Deighton, Robert Plant, Cartier, Allen Ginsberg, Adidas, dan majalah Penthouse, yang akhirnya dipangkas habis pada versi novelnya. Oh ya, dalam novel ini referensi pop Murakami tidak seheboh di novel-novel yang lainnya. Murakami lebih mengeksplorasi dunia mimpi; mitos-mitos lama di Jepang mengenai sumur, kucing. Pokoknya The Wind-Up Bird Chronicle sangat post-modernisme, di mana tatanan ditiadakan dan ilmu berkembang secara tidak linear. Murakami bukanlah penulis yang takut memberikan solusi bersifat metafisis, yang tidak akan dimengerti dengan pikiran yang logis. Banyak kebetulan yang menyatu seperti rantai, seakan semua memang sudah ditakdirkan. Sekilas, membaca novel-novel Murakami mengingatkan saya dengan serial Supernova karya Dewi Lestari.
The Wind-Up Bird Chronicle bisa dipinjam di Rumah Buku dengan biaya sewa 8500 rupiah. Bagi yang belum pernah membaca Haruki Murakami tetapi berniat melakukannya, disarankan memulai dengan Norwegian Wood.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar