Jumat, 24 April 2009

Pameran Foto dari Jerman

Kakak saya sedang gandrung-gandrungnya dengan fotografi. Dua hari yang lalu, ia mengajukan pertanyaan, "Dek, kamu pernah ke Galeri Sumardja?"

"Pernah," jawab saya. "Waktu mau lihat pameran ilustrasi cerpen Kompas. Mas mau ke sana?"

Kakak saya mengangguk. "Ada pameran foto karya orang Jerman. Parkirnya di mana sih?"

Saya lantas menjelaskan tetek bengek lokasinya. Sehari setelah itu (kemarin) kakak saya itu memberi saran agar saya juga datang ke sana. "Pamerannya bagus, pengunjungnya sepi. Pameran foto ini kukasih nilai 7.5," ujarnya.

Saya mencibir, "Memang berapa banyak pameran foto yang pernah Mas datangi?"

"Dua," jawab kakak saya. "Yang satu nilainya 8, yang ini 7.5."

Berhubung tidak ada kerjaan, saya menurut. Kemarin siang, sehabis Jum'atan Galeri Sumardja pun saya kunjungi. Pameran ini dibuka tanggal 7 April dan berakhir 25 April, mungkin ini yang menyebabkan nyaris tiada seorang pun di dalam ruang galeri saat saya memasukinya. Hanya ada seorang pemuda dan wanita berkaus kaki panjang yang tengah mengobrol di ujung ruangan. Foto-foto beraneka macam dan ukuran berjajar di sepanjang dinding galeri. Saya mulai mengamati satu per satu.

Menurut leaflet yang bisa diambil di meja depan, pameran yang bertajuk ,,Berbagai Aspek Seni Fotografi Jerman Masa Kini'' ini menampilkan karya tiga orang seniman: Susanne Brugger, Thomas Demand, dan Heidi Specker. Tema "real space-picture space" memamerkan tiga metode kerja yang berbeda namun dengan isi yang sama, yaitu ruang umum (Saya kira, perlu ada kejelasan apa definisi dari ruang umum di sini).

Rangkaian foto yang pertama kali saya lihat adalah karya Thomas Demand. Foto-fotonya berwarna, dengan ukuran kira-kira setengah daun pintu. Objek-objek yang dipotret Demand mengingatkan saya dengan latar serial The Office: tumpukan kertas yang berserakan di atas meja kerja, asbak, mesin pembuat kopi, gelas-gelas kotor di pantry. Foto-fotonya warna-warni, terang, dan tajam. Namun, di dalam foto-foto tersebut tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Pernah ada manusia, tetapi tidak saat ini. Hal inilah menimbulkan perasaan terganggu. Foto Thomas Demand seperti lolipop merah berkilau yang kelihatannya manis, tetapi ketika dijilat tidak ada rasanya. Seperti kotak hadiah yang besar tetapi tidak ada isinya. Seram.

Salah satu karya Thomas Demand

Sekadar catatan, Demand pernah menampilkan karyanya di Museum of Modern Art (MoMA), New York. Salah satu 'kantor' yang pernah dipotretnya adalah Oval Office di Gedung Putih.

Lalu ada serangkaian jepretan Susanne Brugger yang lumayan bikin sesak napas. Fotonya hitam putih, ukurannya besar-besar (saya perlu mundur dua meter supaya bisa melihat sebuah foto secara utuh), dan objeknya adalah sebuah kota di Jerman dipotret dari udara.


Seperti yang bisa dilihat pada karya Brugger di atas, ada garis-garis hitam yang melintang yang bertujuan agar potret ini ada indeksnya. Sebuah ruangan yang besar dipetakan. Dibagi menjadi ruangan-ruangan yang lebih kecil sehingga ada proses identifikasi yang lebih sederhana ... atau malah lebih rumit? Bayangkan apabila kita sendiri memetak-metakkan 'ruangan personal' sendiri dengan tujuan agar hidup kita lebih sistematis. Di satu sisi mungkin kehidupan memang menjadi lebih terarah. Namun begitu kita kehilangan kendali terhadap sistem dan sistem yang dibuat sendiri beralih peran jadi mengendalikan hidup kita, kita menjadi semacam robot. Tentu ini hanya interpretasi saya saja.

Ngomong-ngomong, dalam karya Susanne Brugger juga tidak ada sosok manusia secara jelas. Mungkin karena foto-fotonya diambil dari jarak jauh. Objeknya jadi seperti kota kosong. Kalaupun ada sosok manusia, sosok itu hanya berupa siluet hitam yang agak kabur. Karya Brugger menjadi favorit saya pada pameran kali ini.

Terakhir rangkaian foto karya Heidi Specker. Fotonya berwarna. Ukurannya ditengah-tengah, tidak sebesar karya Brugger tetapi sedikit lebih besar dari karya Demand. Objek yang dipotret adalah profil gedung-gedung. Yang menarik, foto-foto Specker ini agak buram. Kata wanita berkaus kaki panjang yang tiba-tiba mengajak saya bicara, "Seperti foto yang dipotret dari kamera handphone, tetapi ukurannya diperbesar." (Melihat wajah saya, wanita itu berasumsi bahwa saya berasal dari Medan.)


Specker seperti banyak memotret jendela-jendela kaca gedung. Dalam pameran ini hanya ada satu foto jepretannya yang tidak berjendela. Keburaman dalam karya-karya Heidi Specker ini unik, di mana pada setiap foto-foto jendela gedung semakin ke pinggir jendela-jendela yang ada juga semakin kabur. Alhasil gedungnya jadi seperti tak berjendela. Bayangkan betapa sumpeknya gedung tinggi yang tidak berjendela.

Selesai satu putaran, sekali lagi saya mengamat-amati beberapa foto yang cukup menarik perhatian. Pameran ini betul-betul sepi, sedikit sekali ada tanda-tanda kehadiran manusia. Saya pun jadi merasa seperti ada dalam foto Thomas Demand (Dan setelah diteliti, ternyata dia juga suka memotret pameran-pameran fotonya sendiri dalam keadaan yang sangat sepi). Kekosongan ruang galeri dari kehadiran manusia, seperti mempertegas tema 'real space-picture space'. Baik ruangan dalam foto, maupun ruangan tempat foto dipajang sama-sama spacious.

Saya jadi ingin kembali lagi besok. Saat itu, saya berencana mengajak teman saya melihat-lihat foto yang ada di galeri ini. Namun ternyata teman yang saya ajak mempunyai agenda lain. Saya jadi bertanya-tanya apa saya akan kembali lagi besok.

Mungkin saya akan kembali lagi ke sana, mungkin sendirian lagi.

2 komentar:

  1. Dik, gimana juga gue suka sama warna-warna di karya Thomas Demand. Bukan untuk dijilat, tapi untuk diserap aja kesan "lolipop"-nya ... hehehe ...

    Kalo buat karya Susanne, gue suka cara lo ngebacanya. Keren, keren ...

    BalasHapus
  2. Oh ya, model obyek foto Demand itu banyak dibuat dari kertas lho. Bukan barang yang sebenarnya.

    Sempet ke sana juga, De? Kemarin gw ke sana lagi sama Nia.

    BalasHapus