Siang kemarin, hujan mulai turun ketika saya melintasi Jalan Dipatiukur. Arus lalu lintas sedikit melambat. Reaksi pertama adalah panik dan sedikit menyumpah. Saya belum mengenakan jas penahan air. Hujan dan kemacetan lalu lintas siang-siang (apalagi pagi) adalah kombinasi yang tak pernah gagal membuat pengendara motor, seperti saya, merasa kalah dan terjebak. Pasti basah di tempat tujuan. Saya pun singgah dan berteduh di Victoria Bakery & Cafetaria.
Dengan cekatan pramuniaga membantu saya memilih kue dan minuman yang tersusun rapi di lemari kaca. Kecuali milik satpam, seragam pegawai Victoria berwarna hijau-hijau. Seragam ini sebetulnya elegan seandainya saja bahannya lebih bagus dan para pegawai tidak bersandal jepit. Jam di dinding menunjukkan pukul dua, tidak dekat lagi dari istirahat makan siang. Usai membayar pesanan pada kasir, saya duduk di kursi dekat jendela. Di atas setiap meja terdapat sekotak tisu dan sebuah vas yang berisi bunga mawar palsu. Pandangan saya tertuju ke luar, melihat intensitas dan ukuran titik-titiknya, hujan masih jauh dari reda. Gumpalan asap mengepul dari cerobong restoran B'Gana di seberang tempat ini. Di sebelahnya ada Zoe Corner, tempat saya biasa duduk dan meminjam DVD selama tiga setengah tahun belakangan.
Pesanan diantarkan, perhatian saya kembali ke dalam. Keadaan cukup lengang dengan para pria sebagai mayoritas pengunjung. Mereka duduk berkelompok, sendirian, dan ada juga yang mengobrol berdua di semacam terpisah. Ketika saya datang, Victoria mungkin bukan merupakan bakery & cafetaria terbersih atau terlezat di Kota Bandung, tetapi suasananya sangat cocok untuk kencan atau malah, seperti yang saya lakukan, melamun sambil menunggu berhentinya hujan.
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca wawancara Sarah Sechan di majalah Trax, yang dulu bernama MTV Trax. Sarah mengatakan semasa SMA-nya di Amerika Serikat, ia kerap digencet kakak kelas karena bertubuh pendek dan mengenakan pakaian dari toko-toko secondhand. Saat itu ia mengangan-angankan memiliki nama Victoria. Alasannya, apabila mendengar nama tersebut orang-orang biasanya membayangkan sesosok perempuan yang tinggi, kuat, dan pastinya memberikan perlawanan apabila ditekan.
Dengan membuat beberapa perkecualian. (Sarah Azhari, misalnya.) Saya sependapat dengan Sarah Sechan. Di benak saya, nama Victoria memang memunculkan figur-figur yang kuat. Kekuasaan Ratu Victoria menandai sebuah era; Victoria Beckham memiliki lemari tak berujung beserta suami yang dimenangkannya; Victoria Azarenka adalah petenis remaja Belarusia yang sedang naik daun. Bahkan tulisan Victoria Bakery & Cafetaria pun berwarna merah, warna yang konon identik dengan keberanian, gairah, dan darah. Sementara itu nama Sarah mewakili sosok yang tua, nyaris steril, dan rela dimadu. Sarah mengingatkan saya dengan mantan menantu ratu yang terasing dari keluarga Kerajaan Inggris, Sarah Ferguson; Sarah 'Si Doel Anak Sekolahan', yang sampai episode terakhir tidak bisa lepas dari bayang-bayang Zaenab; Sarah Larson, peserta fear factor yang gagal menjinakkan George Clooney.
Kembali ke masalah dikalahkan hujan dan kemacetan arus lalu lintas. Mudah bagi saya untuk berkesimpulan bahwa di dalam hidup yang ibarat sekeping uang logam ini, semuanya memiliki dua sisi. Menang dan Kalah. Cerah dan Hujan. Lancar dan Macet. Victoria dan Sarah. Namun bagaimana apabila setiap uang logam itu dilempar, sisi yang saya pegang kerap kali berakhir di bawah? Bagaimana tetap ikhlas menerimanya? Sampai sejauh mana seseorang bisa berharap pada perubahan . . . nasib?
Ada yang salah ketika setiap lemparan keping uang logam selalu berakhir dengan tidak menguntungkan. Ada yang mesti diubah. Bisa macam-macam tergantung akar masalahnya. Mungkin pindah tempat melemparnya, mungkin juga mengganti pelempar koinnya. Bisa macam-macamlah.