Shusaku Endo adalah salah seorang penulis Jepang kesayangan saya. Bukunya yang sudah terbit di Indonesia adalah Silence. Trisno Sutanto, dalam resensinya di Harian Kompas, memuji Endo yang "... mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan." Jujur, saya sendiri belum pernah membaca Silence (1966). Sejak membelinya di toko buku bekas langganan beberapa waktu yang lalu, novel itu masih belum beranjak dari rak buku saya. Namun, saya sudah membaca dua karya Endo yang lain: When I Whiste (1974), yang sudah pernah saya buat resensi singkatnya; dan yang kali ini diresensi, The Sea and Poison (1958).
Dikisahkan seorang narator tidak bernama pindah ke Matsubara Barat, kawasan permukiman di pinggiran kota Tokyo. Sama seperti Endo, (Atau malah naratornya adalah Endo sendiri?) si narator memiliki penyakit paru-paru yang mengharuskannya rutin menjalani terapi khusus. Untuk keperluan terapi itulah, si narator bertemu dengan seorang dokter lokal misterius. Tidak lama kemudian, ketahuanlah kalau si dokter pernah terlibat dalam eksperimen medis ilegal yang menggunakan tawanan perang AS. Cerita lantas mundur ke belakang pada kehidupan orang-orang yang terlibat dalam eksperimen medis tersebut.
Dalam The Sea and Poison, Endo menggunakan narasi sudut pandang orang pertama yang betul-betul efektif. Ia tidak banyak menghabiskan waktu untuk mendeskripsikan detail, karena narasi yang digunakannya memungkinkan Endo untuk melompat dari satu highlight ke highlight lainnya. Endo seperti memberikan suatu gambaran dalam bentuk titik-titik di mana akhirnya pembaca sendiri yang menyambungkan titik-titik tersebut.
Tidak hanya itu, novel ini semakin bertambah istimewa dengan kegamblangan Shusaku Endo menuturkan kekejaman Jepang pada masa Perang Dunia II. Masih ingat kasus buku pelajaran yang tidak mencantumkan perbudakan seks? Tidak semua orang Jepang mengakui kekejamannya selama Perang Dunia. Namun itu tidak berarti Endo mengambil posisi sebagai hakim yang sedang mengadili karakter-karakternya. Dengan sabar, ia menyoroti latar belakang dan perdebatan-perdebatan moral yang berkecamuk dalam diri masing-masing karakter. Ia seperti mendengarkan karakter-karakternya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menentukan kesimpulan.
Berdasarkan artikel Caryl Phillips di Guardian, Shusaku Endo terlahir di Tokyo pada tahun 1923. Menghabiskan masa kecil di Manchuria, perpisahan kedua orang tuanya membuat Endo dan ibunya kembali ke Jepang dan tinggal di rumah seorang bibi yang meyakinkan si ibu agar memeluk agama Katolik. Tidak lama setelahnya, ibu Endo membujuk anaknya agar mau dibaptis dan Endo mendapati bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok minoritas Katolik di Jepang. Hubungan Endo dan agamanya sendiri tidak terlalu mudah. Komitmennya yang rendah dalam menjalankan ajaran Katolik membuatnya menanggung rasa berdosa, dan Endo pun merasa telah mengecewakan ibunya. Setelah lulus dari jurusan Sastra Perancis Universitas Keio, Endo melanjutkan pendidikannya di Universitas Lyon di Perancis. Ke depannya ternyata ia sakit-sakitan, dan sempat 'tinggal' di rumah sakit selama tiga tahun! Alhasil tokoh dokter dan latar rumah sakit sering muncul dalam karya-karya Endo. Ia tutup usia pada tahun 1996.
Bagi pembaca yang terbiasa dengan Jepang yang futuristik dan surealis, mungkin tidak menemukannya dalam karya Shusaku Endo. Ceritanya sendiri ditulis pada era di mana semuanya lebih sederhana. Walaupun demikian, kondisi psikologi manusia Jepang setelah masa Perang Dunia tidak bisa dibilang sederhana. Hal inilah yang ditangkap Endo dengan sensitifnya sehingga ada kengerian tersendiri ketika membaca The Sea and Poison.
(Kerangka resensi ini dibuat sambil duduk-duduk basah kuyup di depan jendela kaca besar Reading Lights Bookshop & Coffee Corner. Eh, gosipnya Silence sedang difilmkan oleh Martin Scorcese, lho.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar