Rabu, 28 Juli 2010

Mendiskusikan Ulang Tahun, Merayakan Yesus di Hollywood

Senin petang sekitar pukul enam (19/7), kursi-kursi berjajar memenuhi ruang A di GKI Maulana Yusup. Para pengunjung mulai berdatangan. Seorang musisi mondar-mandir menanti rekannya yang belum kelihatan. Beberapa panitia berwajah serius sibuk memasang perangkat sound system. Di atas meja, berbagai buku dan poster siap untuk dibagikan. Di dalam kotak, kue cokelat menanti saatnya dipotong. Sebentar lagi, perayaan ulang tahun ke-7 MYCinema dan diskusi tentang Yesus di Hollywood bakalan dimulai.

Acara dibuka dengan asyik oleh trio musisi Diecky Indrapraja, Syarif Maulana, dan Satrio. Sementara Diecky dan Satrio memainkan keyboard yang tersambung dengan laptop, jemari Syarif memetik gitar elektrik. Kombinasi ketiganya menghasilkan bebunyian yang reflektif, menenggelamkan penonton dalam perasaan yang sulit diceritakan. Penasaran, host acara malam itu, Ujo menanyakan, “Alirannya apa, sih?” Sejenak berpikir, Diecky menjawab, “Aliran seni tak terkendali.” “Kalau nama band-nya?” Kali ini Dickie berpikir agak lama. “G-Spot Tornado Modern Ensamble,” jawab pemuda berambut keriting itu sembari cengar-cengir. Malam itu, G-Spot Tornado Modern Ensamble memainkan tiga nomor: Bayangan Udara, Trois Saudades, dan Diane, Maaf Aku Membencimu.

Selanjutnya Nadia dari tim MYCinema maju ke depan dan memperkenalkan komunitas ini kepada para hadirin. “Kita sering ditanyai orang-orang, ‘Kapan nih MYCinema bikin film?’ Sebetulnya MYCinema nggak punya rencana bakalan membuat film. Kita memang lebih berfokus pada movie review,” tuturnya. “Kenapa? Karena inilah yang kurang di Indonesia. Kita mengajak semakin banyak orang buat melihat dan mengapresiasi film, serta mengambil nilai-nilai di dalamnya.”

Pertanyaan yang juga kerap diajukan adalah: ‘Di gereja kok memutar film? Mengapa nggak ceramah saja?’ Menanggapinya, Nadia berkata, “Storytelling lewat film efektif sekali buat menawarkan nilai-nilai kepada penontonnya. Akses medianya juga mudah dan murah. Yang paling penting, impact-nya besar.”

Sejarah MYCinema dan Sinema Pada Umumnya
Mulanya kegiatan utama MYCinema adalah pemutaran film di gereja setiap Senin malam. Pertanyaan seperti ‘siapa yang membuat film?’, ‘mengapa film itu yang diputar?’, ‘bagusnya di mana?’, sampai ‘bagaimana menanggapinya?’, merupakan daftar pertanyaan yang selalu dilontarkan demi memunculkan diskusi. Setiap tiga bulan, tim MYCinema bekerja sama menulis, mencetak, dan menyebarkan bulletin kegiatannya ke seluruh penjuru Bandung. Harapannya semakin banyak lagi yang datang, menonton, dan ikut berdiskusi bersama.

Di tahun penyelengaraannya yang ketujuh, MYCinema pun melebarkan sayapnya. Dengan rutin komunitas ini memutar film di semakin banyak ruang publik: Perpustakaan Bale Pustaka, Museum Konferensi Asia-Afrika, hingga Museum Sri Baduga. Secara bergantian anggota tim MYCinema juga mengisi segmen Movie Talk 92.5 Maestro FM setiap Jumat ke-2 dan ke-4 dalam satu bulan. Untuk urusan doorprize, MYCinema didukung oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), Penerbit Kanisius, dan Jive Collection. Dalam kemeriahan perayaan ulang tahun, sang host mengajak segenap rekanan berpartisipasi dalam acara potong kue.

“’Kan Gramedia bergerak di bidang perbukuan, Pak,” kata Ujo kepada perwakilan Penerbit GPU, Arinto Nugroho. “Kok mau jadi sponsornya MYCinema?” Yang ditanyai tersenyum. “Buku kan dekat sekali dengan film,” jawab Pak Arinto. “Orang yang suka film, biasanya juga suka buku. Gus Dur, contohnya. Hobi beliau ya nonton film, baca buku, dan mendengarkan musik.”

Setelah mengucapkan terima kasih kepada para penonton setia, penggerak MYCinema, Tobing Jr., tak melupakan setiap anggota tim, “Terima kasih buat Vino yang mengurusi sound, Ujo yang berhubungan sama sponsor, Nadia yang mendesain bulletin, Soffa yang menulis bulletin, dan Angga yang sekarang di Jakarta.” Kue ulang tahun pun dipotong, Tobing menyerahkan potongan pertama kepada Yunita, “Pengunjung MYCinema yang selalu saya mintai tolong.”

Diskusi Yesus di Hollywood dimulai setelah hadirin makan malam. Ada dua narasumber dalam diskusi ini, Trisno S. Sutanto, dari Majelis Dialog Antar Agama (MADIA) Jakarta, dan Ronny P. Tjandra, managing director Jive Collection. Sementara itu, Tobing berperan sebagai moderator. “MYCinema memang sengaja mengundang dua narasumber,” katanya. “Pak Ronny membahas sejarah kemunculan Yesus dalam film-film Hollywood, dan Trisno akan membahas makna Yesus di Hollywood.”

Berhubung dikejar waktu, Pak Ronny memanfaatkan giliran bicara pertama, “Film merupakan media seni yang relatif baru. Umurnya baru sekitar seratus tahun.” Bandingkan dengan seni musik atau seni lukis yang usianya berabad-abad. “Meskipun begitu, media ini ternyata memiliki dampak yang sangat besar,” lanjutnya. “Efek visualnya bisa masuk sampai alam bawah sadar. Kita bakalan selalu ingat beberapa film yang kita saksikan bertahun-tahun yang lalu.”

Bapak berkuncir ini lalu bercerita tentang awal industri film, “Berhubung proses produksinya membutuhkan dana dan keterlibatan banyak orang, dahulu film bukan media ekspresi personal.” Semua pihak yang terlibat ikut pusing memikirkan bagaimana supaya filmnya menarik penonton sebanyak mungkin. Usaha mereka tak boleh sia-sia, modalnya mesti kembali. “Untuk itu, dapat dikatakan sebuah film memiliki nilai komersial tinggi.”

“Pada dekade 1930-an Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi. Dibuatlah film-film yang membuat penontonnya feel good,” jelas Pak Ronny. The Wizard of Oz (1939) yang diputar MYCinema dua minggu sebelumnya termasuk dalam film kategori ini. Pada masa tersebut juga mulai diperkenalkan film-film bersuara. “Akhirnya era ini mengawali The Golden Age of Hollywood, di mana sinema Amerika menjadi glamor dan punya reputasi global. Bintang yang jadi pujaan adalah aktris cilik, Shirley Temple. Film-filmnya selalu jadi box office hit.”

Ia meneruskan, “Dekade 1950-an dapat disebut sebagai Hollywood Dark Ages. Muncul ketakutan luar biasa terhadap komunis. Orang-orang perfilman yang dicurigai komunis dipaksa hengkang. Sementara di Eropa, film mulai dipandang sebagai media yang mempertanyakan identitas manusia. Muncul Realisme Italia, French New Wave, dan lain-lain.” Produksi film menjamur di berbagai belahan dunia. Sebetulnya Indonesia juga tak ketinggalan membuat film. “Film bisu pertama yang diproduksi di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926),” ungkap Pak Ronny. Film yang diarahkan sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp, ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV. Loetoeng Kasaroeng pertama kali diputar pada momen pergantian tahun, 31 Desember 1926, di teater Elite and Majestic, Bandung.

Masa keemasan Hollywood mulai memudar pada dekade 1960-an. Sejak awal kemunculannya di Amerika Serikat pada pertengahan dekade 1940-an, peran televisi semakin signifikan sebagai penyedia tontonan bagi masyarakat. “Semasa kecilnya, televisi sangat penting bagi sutradara Martin Scorsese,” Pak Ronny berbagi pengalaman menonton sebuah dokumenter. “Di waktu-waktu tertentu, ia, orang tuanya, dan kakek-nenek dari kedua belah pihak bersama-sama duduk menyaksikan televisi. Begitulah cara Scorsese mengenal film-film klasik.”

Sampai saat ini teknologi adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah film. Baik teknologi suara, warna, 3D, maupun kamera digital, semuanya punya andil dalam perkembangan media ini. Sementara itu, penjualan tiket bioskop menjadi pemasukan utama sebuah film. Ketika semakin banyak bioskop yang gulung tikar karena terus merugi; ketika perkembangan televisi (home theatre) semakin memberikan kenyamanan pada penonton. Para pelaku industri mencari terobosan untuk membawa masyarakat kembali menonton di bioskop.

Pada dekade 1950-an, muncul CinemaScope yang dapat mengambil gambar dalam ukuran besar (widescreen). Produser film berlomba-lomba membuat film-film kolosal yang detailnya tak akan tertangkap di televisi. Saat itulah Injil menjadi sumber cerita untuk diadaptasikan ke layar lebar, hasilnya: The Ten Commandments (1956), Ben-Hur (1959), King of Kings (1961), hingga The Greatest Story Ever Told (1965). Film-film inilah yang menjadi tonggak kemunculan Yesus di Hollywood. “Waktu kemudian muncul Jesus Christ Superstar (1973), The Last Temptation of Christ (1988), dan The Passion of the Christ (2004), semuanya dibuat dalam konteks yang berbeda,” ujar Pak Ronny sebelum berpamitan.

Yesus: icon atau idol?
Diskusi kali ini terinspirasi oleh buku Jesus di Hollywood karya Imam Karyadi Artono yang diterbitkan oleh Kanisius. Buku ini mengkaji bagaimana para sineas Hollywood menghadirkan Yesus di dalam film-filmnya. Imam menelusuri benang merah tentang sejarah Yesus di film-film tersebut. Meskipun bertolak dari titik yang sama (penyaliban), masing-masing film menyajikan hal yang berbeda. Berbagai macam gejolak memberikan warnanya sendiri di film-film itu.

Menyimak pembahasan Pak Ronny, narasumber kedua, Trisno S. Sutanto, mengaku terkenang akan film Italia, Cinema Paradiso (1988), sebuah surat cinta untuk dunia perfilman beserta para penikmatnya. “Film ini berkisah tentang film. Tentang seorang anak kecil, petugas pemutar rol film, dan sebuah bioskop kecil.” Menyinggung teknologi 3D, Trisno berbagi pengalaman menonton Avatar tahun lalu, “Saya berusaha meraih bunga yang jatuh dari Na’vi. Rasanya dekat sekali!”

Di awal pembahasannya, Trisno meminta hadirin melakukan sesuatu yang menurutnya sulit: memisahkan sosok Yesus dalam film, dengan sosok Yesus yang sesungguhnya. Ia berkata, “Yesus dalam film Hollywood bukanlah Yesus yang kita imani, melainkan suatu icon budaya. Kebudayaan Barat sangat mempengaruhi penggambaran Yesus di sana.” Trisno memberi contoh, “Di film-film seperti King of Kings, Jesus of Nazareth, maupun The Passion of the Christ, sosok Yesus kebanyakan bule; ganteng. Dan pada beberapa adegan bahkan memancarkan sinar kebaikan.”

“Ada perbedaan mendasar antara Yesus sebagai icon dan Yesus sebagai idol,” jelas Trisno. Ketika berhadapan dengan icon, seseorang akan berusaha melihat apa yang diwakili icon tersebut. Lain halnya bila bertemu dengan idol, idola, seorang penggemar hanya akan memaknai apa yang tampak. “Sayang sekali jika Anda menganggap Yesus memang seperti di film-film Hollywood. Karena sebenarnya sosok itu icon Barat. Anda harus bisa memisahkan antara realitas di bioskop dengan realitas di luar bioskop.”

Agak gawat apabila sebagian masyarakat menganggap icon Yesus sebagai Yesus yang sebenarnya. Kekeliruan ini menjadikan mereka sulit bersikap toleran setiap kali interpretasi yang berbeda. Contohnya, saat film The Last Temptation of Christ (1988) dicekal, atau protes terhadap novel The Da Vinci Code. Keduanya menggambarkan kehidupan Yesus, seandainya Ia menikah dengan Maria Magdalena. Padahal interpretasi terhadap sesuatu, apalagi terhadap Tuhan, sifatnya personal. Sonny, dari Gereja St. Mikael, memiliki kenangan lucu tentang film The Last Temptation of Christ, “Dulu di sekolah, saya dan teman-teman pernah disuruh Frater menonton film itu. Di tengah film, pemutarannya malah dihentikan oleh Suster.”

Trisno lalu menunjukkan bagaimana dalam dunia perfilman belum ada icon Yesus dari Timur. Padahal dalam patung, atau lukisan, ada beraneka macam sosok Yesus dari mata masyarakat Timur. “Apakah ini terjadi karena orang-orang Timur begitu taat kepada agama sehingga terlalu sopan untuk membuat interpretasinya sendiri?” tanya seorang pengunjung dari Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Jawaban pertanyaan itu terkait erat dengan persoalan sejauh mana masyarakat Timur dapat menghayati agama yang diimpor dari Barat. “Menarik juga kalau ada Yesus versi Batak,” gurau Trisno. “Yesus yang makan saksang bersama muridnya dan berkata, ‘Ini darah dan dagingku’.”

‘Keaslian’ Film
Saat jeda diskusi, Kapak Ibrahim maju ke depan dan menemani hadirin. Grup ini digawangi Riksa "Riot" Alhasil (Violin, Backing Vocal), Adew Habtsa (Lead vocal & Rhythm Guitar), Kandi Sekarwulan (Backing vocal & Melody Guitar), Lian Kagura (Poem Reader), dan Noel Saga (Rainstick). Mereka menampilkan hasil musikalisasi dua buah puisi: Jarak karya Sapardi Djoko Damono, dan Lagu Orang Bukit karya Iman Budi Santoso. Suasana menjadi lebih riuh. Kapak Ibrahim membawa rainstick, instrumen unik dari bambu yang apabila dibalik akan berbunyi seperti air.

Sebelumnya, Erwin dari GKI Guntur menyampaikan perbedaan pandangannya dengan Trisno, “Menurut saya justru mudah sekali menemukan sosok Yesus seperti di Injil dalam film-film Hollywood. Apalagi Amerika Serikat merupakan negara yang paling religius di antara negara-negara Barat. Bandingkan dengan di Eropa, di mana orang-orang pergi ke gereja cuma dua kali setahun, waktu Natal dan Paskah.” Ia melanjutkan, “The Passion of the Christ adalah film yang menurut saya paling sesuai dengan Alkitab, saya nggak mempermasalahkan penggambaran Yesus yang ganteng dan berkulit putih, yang penting bagi saya adalah makna yang terkandung dalam ceritanya.”

Dalam memfilmkan Yesus, para pembuat film bisa setia mengikuti Injil atau berani mencari interpretasi sendiri. Salah satu sutradara yang setia pada kitab suci adalah Pier Paolo Pasolini dengan filmnya, The Gospel According to St. Matthew (1964). Padahal sebelumnya film-film sutradara Italia ini terkenal ampuh dalam memancing kemarahan Gereja Katolik. “Tapi ada juga sutradara yang berupaya total menginterpretasikan Yesus, seperti Denys Arcand dalam film Jesus of Montreal (1989). Inilah film Yesus favorit saya,” ujar Trisno.

Ari, dari Sebelas12, tertarik dengan bahasa Aramaic yang digunakan dalam film The Passion of the Christ. “Apakah film ini betul-betul sesuai dengan Injil?” tanyanya. Trisno menggeleng. “The Passion of the Christ tidak sepenuhnya sesuai dengan Alkitab, tetapi diangkat dari buku The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ yang ditulis Anne Catherine Emmerich pada abad ke-18.” Ia pun mengaku kurang menyukai muatan kekerasan grafis yang ada dalam film tersebut.

Kesesuaian film-film Yesus dengan cerita Yesus di Alkitab merupakan hal yang menarik. Rata-rata di film-film tersebut selalu ada adegan di mana Yesus lahir, mengajar, sengsara, sekarat, dan bangkit. Seperti biopik. Padahal Injil bukan biografi Yesus, di dalamnya tidak ada cerita tentang masa remaja Yesus. Bahkan jalan hidup Yesus pun berbeda di setiap versi Injil. Alhasil untuk membuat film dengan struktur narasi yang lengkap, penulis skenario memasukan tradisi-tradisi yang tak ada di Alkitab. Mereka melakukan harmonisasi Injil demi membuat film yang sesuai dengan target pencapaiannya. Produk inilah yang akhirnya sampai pada penonton.

Di penghujung diskusi, mahasiswi Universitas Pasundan bernama Stefani mengajukan sebuah pertanyaan yang takkan lekang dimakan waktu, “Jadi bagaimana cara bertemu Yesus yang sebenar-benarnya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar