Rabu, 06 Oktober 2010

Dekalog VII, Jangan Mencuri

Senin malam (9/8), seperti biasa beberapa orang muncul lebih awal di ruang A-B, GKI Maulana Yusup. Sementara seorang pengunjung asyik dengan laptopnya, beberapa lainnya terkagum-kagum oleh program Classical Baby: The Poetry Show yang kebetulan tengah ditayangkan. Ada juga yang tenggelam dalam lamunannya. Penggerak MYCinema, Tobing, berkeliling ruangan. Ia menyapa serta memastikan semua orang sudah mengambil gorengan dan minuman hangat. Dalam beberapa hal, kegiatan menonton film di MYCinema mirip bepergian dengan angkutan kota. Setelah naik, kadang-kadang penumpang mesti menunggu sejenak. Ketika mobil penuh, barulah perjalanan dimulai.

Malam itu, yang diputar adalah Dekalog VII. Konflik film yang bertolak dari Perintah Tuhan, “Jangan mencuri,” ini bersumber dari tiga perempuan dalam satu keluarga: Ewa (Anna Polony), Majka (Maja Barelkowska), dan Ania (Katarzyna Piwowarczyk). Majka baru berusia enam belas tahun ketika mengandung Ania, hasil hubungannya dengan Wojtek, guru sastranya. Kepala sekolah sekaligus ibunda Majka, Ewa, lantas mengklaim Ania sebagai anak kandungnya. Wanita tegas itu berargumen, ini dilakukan tak hanya untuk menghindari skandal, tetapi juga supaya Majka bisa melanjutkan pendidikannya. Akhirnya, Wojtek menyingkir dari kehidupan mereka bertiga. Ia pindah ke desa dan melepaskan impiannya untuk menjadi penulis.

Enam tahun kemudian, Ewa menjadi sangat protektif terhadap cucunya. Saking tak terpisahkannya mereka berdua, Ania bahkan memanggil neneknya dengan sebutan ‘Mama!’ Seperti Wojtek, Majka pun tersisihkan dari kehidupan anaknya. Setiap kali Ania menangis karena bermimpi buruk, segeralah Ewa merebut anak itu dari rangkulannya yang lebih dulu datang. “Minggir! Kamu tidak tahu bagaimana menenangkannya!” Begitu cara ibunya berseru. Kalau sudah begini, Majka hanya bisa berpaling ke ayahnya. Walaupun beliau tak banyak membantu, dan selalu disibukkan oleh pipa-pipa organ.

Sampai suatu hari Majka membawa lari Ania. Bagaimanapun anak perempuan itu mengenali Majka sebagai kakaknya. Ia tenang-tenang saja diculik, “Seperti di buku cerita!” seru Ania kegirangan. Di rumah, tentu saja Ewa kalang kabut. Ia tidak tahu Majka dan Ania mengunjungi Wojtek, yang sekarang menyambung hidup sebagai pembuat boneka beruang. Laki-laki itu tentu terkejut. Ini adalah pertama kalinya ia berjumpa dengan anaknya. Yang tak diketahuinya, kunjungan ini juga dimaksudkan sebagai pertemuan terakhir mereka sebelum Majka membawa Ania pergi ke Kanada.

Jika serial Dekalog diibaratkan sebagai mobil angkutan kota, barangkali para penumpangnya tak pernah merasa nyaman selama perjalanan. Sepanjang film, akan bermunculan perkembangan yang terus membuat hati was-was. Satu hal yang pasti, semuanya akan sampai pada pertanyaan-pertanyaan sulit. “Dalam Dekalog nggak ada kebetulan-kebetulan, atau dialog yang berlebihan,” ujar Tobing saat film selesai. “Semuanya sudah direncanakan dengan sangat detail.” Pada Dekalog VII bisa jadi yang menjadi pertanyaan: “Bisakah kita mengambil paksa apa yang memang menjadi milik kita?”

Dalam kesempatan ini, Pendeta Samuel dari GKI Taman Cibunut berperan sebagai pembahas film. Sebelum Pak Samuel membahas film ini, penonton diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan setengah jengkel, Yunita mengatakan, “Saya kira ini bakalan jadi Dekalog yang ceria. Di awal film kan ada pertunjukan teater anak-anaknya. Eh, ternyata sama saja.”

Sementara itu, Erwin menangkap suasana khas dekade 1980-an dari adegan-adegan film ini. Tentang temanya, “Menurut gua, Majka sangat egois,” ujar Erwin. “Gua pikir yang dimaksud ‘jangan mencuri; bukan mencuri anaknya, melainkan mencuri kenyamanan anaknya. Majka cuma memikirkan dirinya sendiri, berbeda dengan Wojtek yang betul-betul memikirkan masa depan Ania.” Pendapat tersebut disetujui oleh Candra dan Sius. Bagi Candra, “Majka sama seperti ibunya. Dua-duanya keras kepala.” Ia melanjutkan, “Mungkin masalah ini bakalan cepat selesai kalau mereka bisa lebih tenang seperti Wojtek atau Stefan, bapaknya Majka.” Sius menambahkan pertanyaan, “Kenapa sih neneknya bisa sampai bersikap seperti itu?”

Mendengar pendapat-pendapat yang menyudutkan Majka, tentu saja Soffa tidak tinggal diam, “Menurut saya, wajar saja jika Majka sampai menculik Ania. Apalagi di film ini diceritakan bahwa Ewa sempat menyusui Ania. Ini tentu menyakiti hati Majka. Menurut saya, Wojtek dan bapaknya Majka bukannya berpikiran tenang. Mereka cuma nggak mau ambil pusing dalam masalah ini. Wojtek nggak mau hidupnya direpotkan dengan hadirnya anak kecil.”

“Wojtek bukan nggak mau repot, tapi dia takut kehilangan,” sahut Candra. “Bagaimanapun, Majka adalah korban dalam film ini,” komentar Yunita. Rupanya Pak Samuel pun setuju. Ia berpendapat paling tidak ada lima hal yang membuat Majka menjadi korban, “Pertama-tama, masa kecilnya tidak bahagia.” Setelah melahirkan anak pertamanya, ternyata Ewa tidak bisa hamil lagi. Ini membuatnya selalu bersikap keras kepada Majka. “Ditambah lagi, ayahnya selalu sibuk dengan organ rusak.” Pak Samuel lalu melanjutkan, “Ketiga, Wojtek yang tidak bisa diandalkan. Keempat, Ania yang direbut darinya. Dan yang terakhir, Ania tidak mengakuinya sebagai ibu.”

Pak Samuel juga menjelaskan, di masa yang lalu (ancient time) perintah ‘Jangan Mencuri’ sebetulnya ditujukan untuk melarang praktek pencurian manusia—melarang penculikan dan perbudakan, di mana kehidupan seseorang dimanipulasi dengan sedemikian rupa sehingga kehidupannya tidak terasa seperti kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa Ewa juga mencuri identitas Majka sebagai ibu Ania.

Sebetulnya, Majka tak bisa membawa Ania ke luar negeri karena di mata hukum dia bukanlah ibunya. Oleh karena itu malam-malam buta Majka memberi Ewa ultimatum agar statusnya sebagai ibu kandung Ania diakui. Pada momen ini, jelas seluruh penonton mafhum bahwa Majka melakukannya karena merasa tak memiliki pilihan lain. Namun sempat-sempatnya Ewa bernegosiasi bahkan melancarkan serangan balik yang menciutkan hati Majka, “Tidak ada seorangpun yang akan bersaksi mendukungmu. Termasuk ayahmu.”

Di tempat lain, Wojtek merasakan jalinan kasih sayang (bond) antara Ania dengan dirinya. Padahal sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Ketika melihat paspor Majka, barulah ia menyadari kemungkinan bahwa ia tak akan melihat anaknya lagi. Situasi pun berbalik, Wojtek yang awalnya membantu Majka menutupi keberadaannya mulai membujuk perempuan itu supaya Ania tetap tinggal bersama kakek-neneknya. Merasa tidak didukung siapa-siapa lagi, Majka lantas meminta Ania memanggilnya ibu. Namun, upaya ini pun gagal. Meskipun dipinta berkali-kali, tetap saja anak itu memanggilnya, “Majka.”

Dini hari, Majka membawa Ania lari dari rumah Wojtek. Mereka sempat bersembunyi di hutan, di bawah jembatan, sebelum akhirnya pergi ke stasiun. Namun kereta belum juga datang. Keduanya pun bersembunyi di ruang penjualan tiket. Sementara itu, Wojtek menghubungi Ewa dan suaminya. Mereka bertiga lantas mencari Majka dan Ania. Sementara Wojtek mencari di hutan, orang tua Majka mencarinya di stasiun. Ewa bertanya kepada petugas penjualan tiket tentang anak dan cucunya. Petugas itu mengaku ia melihat mereka pergi beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, Ania yang mendengar suara neneknya kegirangan dan memanggil, “Mama!” Kereta pun datang. Majka yang merasa kalah total langsung naik ke atas kereta sendirian. Saat kereta mulai bergerak, Ania berlari mengejar Majka. Akhirnya mimpi buruk yang selama ini dialaminya menjadi kenyataan. Orang tua Majka hanya bisa memandang dengan sedih.

“Saya sudah bisa membayangkan luka Ania sewaktu dia besar nanti,” ujar Soffa menanggapi ending film yang tragis. Fadil, penonton lainnya, berpendapat: “Sebetulnya Ania punya perasaan terhadap Majka, tapi dia belum bisa membahasakannya.” “Kalau saja Majka lebih sabar,” Candra berangan-angan. Melihat film ini, Jesse mengomentari, “Film ini menunjukkan bagaimana satu pelanggaran terhadap sebuah Perintah Tuhan bisa merembet kepada pelanggaran perintah lainnya.” Ia melanjutkan dengan pertanyaan, “Apakah usaha Majka untuk merebut hidupnya kembali bisa dibenarkan? Kieslowski seperti ingin menjelaskan apa yang benar belum tentu baik.”

Ada banyak studi psikologi, sebagaimana segudang novel klasik, yang menunjukkan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan memiliki hubungan yang istimewa (baca: kompleks). Pada dasarnya setiap ibu tidak rela membiarkan anak perempuannya melakukan kesalahan yang sama seperti kesalahan yang pernah dilakukannya sendiri pada masa lampau. Untuk itu, tidak jarang para ibu melakukan campur tangan terhadap pilihan-pilihan hidup anak perempuannya. Mereka seperti memiliki ekspektasi yang harus dipenuhi anak perempuannya. Ekspektasi yang apabila gagal bisa menyulitkan interaksi antara keduanya. Teori ini bisa menjelaskan rumitnya hubungan Ewa dan Majka. Mungkin diam-diam Ewa menyalahkan Majka yang menyebabkannya tak bisa hamil lagi. Karena hanya memiliki seorang anak, harapan Ewa pun menjadi terlalu tinggi. Saat Majka tak dapat memenuhi harapan tersebut, sikap Ewa pun menjadi dingin. Ia lantas melihat Ania sebagai kesempatan kedua untuk membesarkan anak perempuan lain yang tak pernah dimilikinya.

Pak Samuel berkata, “Sebetulnya apabila kehidupan Ania berlangsung dengan normal, seperti biasa, lambat laun ia akan menyadari kehadiran Majka sebagai ibunya.” Namun jelas itu hanya terjadi jika Ewa dan Majka saling memaafkan dan bersepakat untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada Ania.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar