Minggu, 23 Januari 2011

#2: Tablet ini dinamakan C

Catatan: mulai sekarang saya ingin rutin mengunggah tulisan-tulisan dari sesi menulis Reading Lights Writer's Circle. Tidak semua tulisan ini bagus, justru banyak yang memalukan. Namun dari kegiatan inilah saya paham kalau menulis itu menyenangkan.

Warnanya merah. Bentuknya hati. Tablet ini dinamakan C, kependekan dari 'cinta'. Penelitian membuktian C bisa menghilangkan perasaan ingin mencintai dan dicintai. Tablet ini bisa didapatkan tanpa resep dokter dan tidak menimbulkan kecanduan. Kalaupun ada masalah, pastilah karena harganya yang fantastis: enam juta untuk setiap tabletnya. Tetap saja, C laku bak kacang goreng. Masa ini disebut-sebut sebagai akhir dari era cinta organik.

Tiga hari yang lalu, Sius baru saja putus dari pacarnya empat tahun terakhir, Bimo. Sampai malam ini, ia belum bisa tidur nyenyak. Sius membasahi bantalnya setiap kali teringat laki-laki yang biasanya tidur di sisi lain kasur itu. Dadanya sakit penuh kenangan mereka berdua. Sius tahu masalahnya, ia pun tahu apa solusinya. Sius butuh menenggak C. Secepatnya.

Masalahnya, Sius bukan dari kalangan berpunya. Ia hanya mahasiswa dari Jambi dengan jatah bulanan terbatas. Setiap bulan orang tuanya mengirimkan tiga juta. Namun, terjebak dalam gaya hidup yang salah, ia tak pernah bisa menabung. Sekarang masih tanggal 17, tetapi sisa uang di ATM hanya lima ratus ribu. Biasanya Bimolah yang mengingatkan Sius untuk berhemat. Sekali lagi sosok Bimo muncul. Air mata Sius menggenang lagi.

***

Jam tiga pagi, sebuah ponsel berdering nyaring. Iwan, si empunyanya bangun. “Halo.”
“Iwan? Sius, nih,” kata suara dari seberang telepon.
“Kenapa, Yus?” tanya Iwan, menahan kantuk.
“Gue butuh uang nih. Empat juta saja … Gue butuh C secepatnya. Tiap ingat Bimo hati gue sakiiit sekali ….”
Langsung saja kepala Iwan bekerja. Berpikir. Mencari-cari alasan untuk menolak tanpa membuat Sius merasa tak enak. “Ah, coba elu mintanya kemarin!" tukas Iwan. "Gue baru saja bayar kredit mobil. Sekarang tabungan gue kosong!”
“Tapi hati gue sakiiiiit," lolong Sius. "Rasanya remuk, hancur, dan lebur. Gua perlu bantuan lu, Wan ...”
Iwan menghela napas. “Dulu sebelum C orang-orang juga bisa survive, kok. Jangan berlebihan lu.”
Telepon pun ditutup.

***

Sisa malam dipakai Sius untuk menangis. Ia teringat lagi pertemuan pertamanya dengan Bimo. Hari itu hari pertamanya menginjakkan kaki di kampus. Ketika itu Bimo, seorang aktivis, sedang berkampanye. Pemuda ceking bersuara nyaring itu mengajak mahasiswa-mahasiswa baru bersikap tegas melawan pemerintah yang kebijakannya hanya menguntungkan investor. Idealisme Bimo dalam memperjuangkan sesuatu menembus hati Sius. Setelah berbulan-bulan pura-pura peduli dengan isu itu, Sius menyatakan cintanya. Ketika itu gayung bersambut.

Jam delapan pagi, air mata Sius sudah habis. Namun tidak dengan kepedihannya. Perasaannya tidak enak, tetapi hari itu ia bertekad keluar dari kamar kosnya. Sius akan mencari tablet C bajakan yang marak dijual di jalanan.

Tablet C tak luput dari pembajakan. Konon C yang beredar ilegal di jalanan merupakan produk percobaan yang sengaja disebar oleh pabrik obat saingan. Apabila tablet C resmi tidak memiliki efek samping, tablet C bajakan memiliki banyak efek samping. Dari yang paling ringan: gatal-gatal sampai efek keracunan yang membuat orang tak mampu lagi mencintai tanpa kehilangan keinginan untuk dicintai. Resikonya memang besar, tapi rasa frustrasi karena putus cinta membuat orang sukarela menjadi kelinci. Tablet C bajakan relatif murah, rata-rata tiga ratus ribu setiap tabletnya.

***

Sebuah angkutan kota berhenti di depan Jalan Dalem Kaum. Sius turun. Hampir semua orang Bandung tahu di sanalah pusat penjualan C bajakan. Meskipun praktek jual beli ini ilegal, pihak berwenang angkat tangan. Tiap bulannya rekening mereka semakin gendut dengan setoran yang dikirimkan para pedagang.

“C, Mas! C?” cegat seorang pedagang ketika Sius berjalan di trotoar.
Sius mengangguk. “Berapa?”
Si pedagang C bajakan merendahkan suaranya “500 ribu per tablet.”
“Bah! 500 ribu! Aku tak punya uang segitu!” tolak Sius.
“Harganya memang agak mahal. Tapi yang ini ampuh sekali," bujuk si pedagang. "Sejak keluar bulan lalu, belum ada yang mengeluhkan efek sampingnya. Ori, lah.”
Sius menggeleng. “Kakak tidak punya yang lebih murah?”
Si pedagang menyerah. “Jelas ada. Tapi ini keluaran tahun lalu. Banyak orang yang hilang nafsu makannya setelah menenggak ini, khasiatnya pun nggak terlalu ampuh. Sekarang ini malah dijual sebagai obat diet. Harganya 100 ribu per tablet, mau?"
Sius menghela napas. Ia mengeluarkan beberapa lembaran 100 ribu. "Tiga," ujar Sius. Setelah membeli sebotol Aqua, pemuda itu langsung menelan ketiga pil itu. Baru berjalan beberapa langkah, Sius pingsan.

“Tolooong! Toloooong! Ada orang pingsan,” seru seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.
Massa pun berkerumun. “Jigana mah karacunan C,” bisik seorang pramuniaga. “Lagi?” sahut temannya.

Dengan tergopoh-gopoh seorang laki-laki jangkung menerobos ke kerumunan. “Saya dokter, saya dokter.” Dokter itu menekan-nekan perut Sius. Berusaha mengeluarkan apa yang baru saja ditelan pemuda itu. Setelah beberapa saat, Sius terbatuk dan mengeluarkan isi perutnya. Perlahan ia membuka matanya. Sius menangkap sosok dokter. Rambutnya kelabu. Wajahnya serius, seperti Gabriel Byrne dalam serial In Treatment. Dengan suara yang setengah serak sang dokter bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”

Ketika itu Sius tahu dirinya tidak perlu C lagi.

4 komentar:

  1. Andai saja tablet itu beneran ada!

    BalasHapus
  2. Hehehehe ... cerita2 yg begini emang lahirnya di RLWC.

    Jadi kangen juga sama gathering ini. Kalo suatu weekend gue kosong lagi, gue mau main lagi, ah.

    Nggak memalukan, kok, Dik, seru =)

    BalasHapus
  3. ceritanya memikat sejak awal, tapi buat saja akhirannya kurang memuaskan :(

    ayo diisi lagi blognya kang andika :)

    BalasHapus