Beberapa tahun belakangan, saya merupakan warga negara
Indonesia pencinta buku berkelakuan buruk. Saya tak rutin lagi membaca cerpen
dan ulasan buku di media massa besar, sebutlah Kompas dan Tempo. Saya
tidak lagi mengikuti berita naskah apa yang memenangkan sayembara penulisan,
maupun buku apa yang memenangkan penghargaan kesusasteraan. Twitter, Goodreads, dan blog penggemar
buku menjadi telinga yang mendengar judul apa yang sedang dibaca dan banyak
dibicarakan orang. Namun, nyaris tidak memberikan pengaruh terhadap pola
belanja buku saya. Saya semakin jarang membeli buku berbahasa Indonesia
terbitan baru. Meskipun kunjungan ke toko buku hampir tiap minggu dilakukan,
kebanyakan berakhir dengan tangan hampa.
Saya merindukan: ulasan buku penuh rayuan, yang membujuk saya
mau terjun ke dalam lubang demi memuaskan rasa ingin tahu. Saya ingin: membaca
wawancara dengan penulis, yang memberi gagasan tak hanya tentang siapa si
penulis dan tentang apa bukunya, tetapi juga dunia di mata penulis—apa
pandangannya pada peristiwa yang terjadi saat ini. Saya mengharapkan: media
massa di Indonesia memiliki jawaban atas edisi 20 Under 40 mingguan The New
Yorker. Edisi ini memuat dua puluh cerpen yang ditulis dua puluh penulis
berusia di bawah empat puluh tahun. Pembaca The
New Yorker pun dimanjakan beragam tema dan gaya penulisan, sekaligus
kisi-kisi bakat baru yang layak memperoleh perhatiannya. Saya memimpikan:
pengalaman belanja yang berbeda di setiap toko buku. Penjual buku adalah
seseorang yang paham dagangannya dan siapa pembelinya. Mereka menjadi semacam
kurator, di mana buku-buku di tokonya merupakan kepanjangan dari selera dan
kepribadian masing-masing. Mereka harus ramah luar biasa, serta secara rutin
menyusun deretan buku unggulan yang lantas mereka promosikan secara aktif dan
kreatif. Penjual buku idaman saya akan membuat struktur di mana dengan mudah
pengunjung toko bisa terlibat lebih jauh di dalam toko buku, dengan
merekomendasikan buku favoritnya kepada pengunjung lainnya.
***
4. Daftar pengalaman membaca paling berkesan 2012 ini berlanjut
menanggapi pertanyaan seorang teman pada sebuah siang cerah yang tak terlalu
sibuk, "Biasanya kamu beli buku berdasarkan apa, Andika?”
“Saya membaca punggung bukunya,” sahut saya. “Mencari tahu
buku itu tentang apa, melihat endorsement-nya,
lalu membaca paling tidak beberapa halaman pertama. Kalau lantas mau
melanjutkan, baru saya beli.”
“Terus kalau bukunya dibungkus plastik kamu buka?” tanyanya.
“Eh … “ saya diam sejenak, “jawaban saya tadi biasanya cuma
dilakukan waktu berkunjung ke toko buku bekas saja. Saya nggak pernah beli buku
baru.”
“Jadi kamu beli buku baru berdasarkan apa?”
“Mungkin resensi. Kalau saya suka karya dia sebelumnya, ada
kemungkinan saya beli karya terbarunya.”
Kenyataannya, dalam setahun ini hanya satu kasus yang sesuai
jawaban terakhir saya: Na Willa karya Reda Gaudiamo.
Reda Gaudiamo adalah penulis istimewa bagi saya. Ketika SMA (serasa lima juta tahun lalu) saya sudah suka membaca, tetapi
belum suka menulis selain diary. Belum
kenal ambisi menerbitkan karya. Suatu hari, berjalan kaki pulang dari sekolah di
daerah Dago, saya melihat sebuah toko buku kecil berukuran setengah garasi.
Toko itu kelihatan teduh dan sepi—mungkin itu kesan yang tak sengaja muncul dari
letaknya di tepi jalan yang dinaungi bayangan pohon-pohon besar. Tidak
terburu-buru, saya pun mampir. Saking sepi dan mungilnya, hanya melangkah masuk
saya sudah merasa bersalah karena menginterupsi lamunan penjaganya. Setelah
beberapa menit painfully self-conscious, saya menemukan kumpulan cerpen pertama Reda yang berjudul Bisik-Bisik.
Bisik-Bisik berukuran kecil, berwarna jambon, dan dibungkus plastik yang
bisa dibuka tanpa harus dirobek. Penasaran dengan judul serta penggalan cerpen
di punggungnya, saya membuka bungkus plastik buku itu. Membaca beberapa cerpen,
saya tak langsung terpikat tetapi cukup senang dengan format cerpennya yang
dialog semua. Baru! Saya kemudian keluar
membawa pulang Bisik-Bisik. (Sebagian
karena kesulitan memasukkannya kembali ke dalam bungkus plastik.) Di kemudian
hari, gaya bertutur serba dialog ini menginspirasi saya menulis cerita fiksi berformat
sama. Kelihatannya gampang sekali! Sampai sekarang, setiap melihat Bisik-Bisik saya masih ingat hari ketika
saya membelinya.
Sebagaimana pembaca buku pada umumnya, setelah menamatkan Bisik-Bisik saya lanjut membaca buku
lainnya. Banyak buku. Beberapa di antaranya membuat saya jatuh hati dan sama
berpengaruhnya seperti Bisik-Bisik. Saya
gembira ketika suatu hari menjumpai Pengantin
Baru, buku kedua Reda, di rak
perpustakaan. Namun, kecewa setelah membacanya. Meskipun buku itu ditulis penulis
kesukaan, rupanya
Pengantin Baru belum terlalu beranjak dari Bisik-Bisik. Penuturan yang dulu segar, sekarang berkurang daya tariknya.
Terlebih ketika menjelaskan tema serupa. Padahal saya yakin penuturan Reda bisa
mengangkat lebih banyak tema secara lebih dalam.
Suatu Minggu pada tahun 2012, menghadapi kebosanan di rumah,
saya iseng ke luar untuk beli surat kabar (satu dari dua eksemplar saja yang
saya beli tahun ini). Membaca sepintas dari depan sampai belakang, “Waaa,
rupanya Reda Gaudiamo mengeluarkan buku lagi! Judulnya Na Willa!” seru saya
sesampainya pada halaman resensi buku. Muncul keinginan membaca dan memiliki Na Willa, apalagi (walaupun dengan kata-kata sifat sederhana) buku itu
digambarkan sebagai buku layak baca. Beberapa hari kemudian hal itu saya
lakukan, dan saya sama sekali tidak menyesal.
Sebagian kesenangan membaca Na Willa muncul dari buku itu
sendiri: Desain buku apik, dengan ilustrasi cantik hampir di setiap
halaman. Gaya penuturan sederhana Reda bersinar ketika narasi dalam bukunya
disuarakan Willa, seorang anak perempuan jelang usia sekolah. Willa yang senang
bernyanyi, main kelereng, belajar membaca, dan ingin segera bersekolah. Saya
suka cerita kehidupan keluarga dan bertetangga di permukiman pinggir kota
Surabaya pada 1960-an. Saya suka perbedaan etnis orang tua Na Willa, dan cerita
ketika Willa memutuskan ingin mirip siapa. Saya menghormati Mak, ibu Willa yang
di balik setiap hukuman fisik menyimpan harapan terbaik bagi anaknya. Membaca Na Willa memunculkan perasaan hangat.
Sebegitu sukanya, tanpa malu saya membuat serangkaian tweets tentang buku ini disertai harapan di antara follower saya yang tak seberapa itu ada
yang membeli Na Willa.
Kesenangan lain. Muncul. Dari perasaan haru mendapati hati kembali
tertinggal pada seorang penulis yang pernah sangat disuka.
Inilah pengalaman membaca paling menyenangkan selama 2012!
(Bersambung)