Salah satu penulis kesukaan saya bernama Nadine. Dia berasal dari Afrika Selatan. Dalam sebuah cerpennya, Nadine pernah menuangkan duka yang dia rasakan akibat kematian suaminya. Nadine menulis, setelah beberapa saat, duka menjadi topik yang membosankan bagi orang lain, bahkan bagi sahabat-sahabat terdekatnya. Nadine pun bertanya-tanya, "Lantas kepada siapa dirinya dapat bercerita?"
Kemudian Nadine mendapat ide: dia akan mengunjungi seorang kekasih lama suaminya. Kekasih lama suaminya adalah seorang fotografer yang namanya sering terpampang kecil-kecil di halaman pertama surat kabar terbesar di Afrika Selatan. Mudah menghubunginya karena dia tergabung dalam agensi besar. Dalam hitungan hari, Nadine mendapati dirinya dalam perjalanan kereta api ke kediaman laki-laki tersebut, dengan sebotol wine di atas pangkuannya.
Kunjungan tersebut berawal hangat. "Silakan masuk," ujar si fotografer. Dia tidak meminta penjelasan siapa Nadine dan mengapa dia ada di sana. Namun dengan cepat kehangatan itu terhapus kecemburuan. Nadine tidak akan pernah mengerti mengapa suaminya jatuh cinta kepada sesama laki-laki, sebagaimana si fotografer tidak mengerti bagaimana mantan kekasihnya dapat berakhir dengan wanita yang ada depannya. Cerita mereka tentangnya tidak beririsan, seperti bayangan tangan yang diterpa oleh sinar dua lampu secara bersamaan. Nadine keluar dari apartemen si fotografer secara tergesa, dengan kesadaran bahwa segalanya telah hilang. Dia hanya tahu versi suaminya yang dia ketahui.
Dalam cerpen itu, Nadine tidak menceritakan apa profesi suaminya. Sekarang saya membayangkan, bagaimana kalau suami Nadine adalah seorang arkeolog? Bagaimana kalau pada malam yang relatif cerah dan gerah seperti malam ini, dia dan Nadine suka duduk-duduk di luar untuk mencari angin?
Si suami akan bercerita tentang hari-hari sulit di mana dia masih berjuang sebagai arkeolog muda, di mana gajinya tidak cukup untuk membiayai penelitian mandiri yang dia lakukan. Hari-hari di mana sajian lezat di atas meja bukan menjadi prioritas utamanya.
"Lalu bagaimana ketika tidak ada lagi uang untuk membeli makanan?" tanya Nadine.
"Kamu tahu, tempat kerjaku dulu tidak bisa disebut sebagai kota besar," ujar suaminya. "Tapi tak jauh dari lokasi penelitian kami, ada tambang yang menyerap banyak pekerja. Kotanya cukup makmur, ada sebuah toko buku kecil dan restoran McDonald's di dekat pusat kota. Restoran itulah gerai fast food pertama di daerah itu. Pada hari libur, para pekerja tambang datang dengan badan yang bersih dan wangi, sambil menggandeng orang-orang yang mereka sayangi ke McDonald's. Anak-anak tidak bisa diam, semua merengek minta dibelikan ..."
"Happy meal," sambung Nadine.
Suaminya mengangguk. "Kita tahu anak-anak jarang menghabiskan makanannya sampai bersih. Begitu keluarga itu pulang, aku akan mengendap ke meja mereka dan mencuri makanan sisa."
"Itu sih bukan pencurian," sahut Nadine. "Kamu hanya mengambil apa yang tidak lagi mereka inginkan."
Kali ini suaminya menggeleng. "Bagian terburuknya adalah ... hal ini menjadi kebiasaan. Aku tidak lagi ke sana hanya jika tidak punya lagi makanan. Aku melakukannya setiap hari libur. Ada sebuah keluarga yang datang setiap minggunya, anak perempuan mereka nyaris tidak pernah menyentuh makanan pada Happy Mealnya. Begitu mereka pergi, aku menyapu meja mereka dengan kecepatan serigala yang mengejar mangsanya."
"Sampai suatu hari," suami Nadine melanjutkan."Ketika aku menunggu mereka selesai makan, aku mendapati mata anak perempuan itu menatapku dengan tidak terputus. Dia mendorong baki makanannya ke arahku, seakan mengajakku untuk mengambil makanannya saat itu juga. Usianya barangkali baru enam tahun .... Saat itu aku tersadar, selama ini mungkin dia tidak menyentuh makanannya karena tahu bahwa aku sudah mengincarnya. Cepat-cepat aku keluar dari sana dan tidak kembali lagi. Harga diriku begitu tinggi, bahkan aku pun lupa berterima kasih. Sampai sekarang, aku merasa telah mencuri makanan anak perempuan itu."
***
Mungkin di dalam cerpennya, sesungguhnya Nadine ingin menuturkan cerita itu kepada si fotografer. Namun, di tengah jalan pikirannya bercabang. Sama seperti suaminya, harga dirinya pun tinggi. Nadine tidak rela menjadi perempuan berduka konyol yang berupaya membahas Happy Meal dengan mantan kekasih suaminya. Namun jika tidak begitu bagaimana dia berbagi rasa dukanya? Bahwasanya kini baginya Happy Meals sudah bukan lagi Happy Meals, melainkan Sad Meals.
(Cerita ini dikarang pada sesi nulis Couchsurfing Bandung Writer's Club. Ais, host pada malam itu, meminta kami memilih kalimat dari Twitter Magic Realism Bot yang paling kami suka, untuk dikembangkan menjadi apapun. "Tapi karena waktunya cuma setengah jam, ya jangan bikin epos mahabharata juga ...." katanya cheeky. Nadine dalam kisah ini terinspirasi Nadine Gordimer. Namun karena saya lupa-lupa ingat detail cerpennya, pada dasarnya kisah ini merupakan karangan belaka. Kalimat favorit saya menjadi judul cerita ini.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar