Dua orang perempuan yang sedang mendorong kereta bayinya masing-masing berpapasan. Yang satu lebih tua daripada yang lainnya. Yang lebih tua tersenyum, dan mengintip kereta yang lain. "Badannya montok, lucu sekali," komentarnya. "Namanya siapa?"
"Charletta, Tante," kata perempuan yang lebih muda dengan suara menirukan anak-anak. "Aku umurnya empat bulan. Kata dokter, harusnya sih aku sudah bisa berguling. Tapi aku belum bisa! Dokterku maklum sih. Katanya bayi berpipi tembem memang lebih malas." Perempuan itu tersipu, lalu bertanya dengan suara biasa, "Kalau anak Ibu namanya siapa?"
"Muhammad Romy," sahut perempuan yang lebih tua. "Umurnya baru sehari."
"Hah? Sehari?" Perempuan yang lebih muda heran dan melirik kereta bayi Romy. Dia terkejut ketika menemukan hanya ada boneka beruang usang di dalamnya.
Karena Romy meninggal pada hari kelahirannya.
***
Kamu tidak akan pernah tahu betapa sepinya klab ini sejak kepergianmu. Meskipun malam ini bertema disko. Para perempuan datang dengan rambut mengembang, pakaian senam, dan bulu ketiak yang tidak tercukur. Para laki-laki menemani dengan kemeja berwarna mencolok, serta jaket dan sepatu kulit yang berkilau. Semua orang menari mengikuti musik nyaring di bawah lampu gemerlapan. Aku menari bersama kenangan, cita-cita yang kandas, dan penyesalan-penyesalan.
***
Ada musik yang bermain di kepala kita saat kita memasak berdua. Musik itu tidak pernah terdengar oleh tetangga maupun tamu kita. Namun suaranya senyata gerakan bahumu yang mengikuti putaran knop kompor. Aku pun moonwalking ke kulkas untuk mengambil nasi sisa kemarin. Kamu mengaduk nasi sambil menyanyikan reff dengan suara selegit kecap manis. Aku lantas memasukkan telur, garam, dan potongan cabe yang sedikit ketetesan darahku. Nasi goreng kita tidak rata, rasanya tidak karu-karuan, tapi kita memastikan perut kita lapar sebelum menyantapnya.
***
Kamu selalu nyaman berdiri di panggung, dengan lampu bercahaya kebiruan yang menyorot kepadamu. Tidak cuma bernyanyi, melawak, ataupun mendongeng, kamu bahkan tidak malu menitikkan air matamu di atas sana. Aku selalu nyaman berada di kursi penonton, melihatmu melakukan semua yang kausenangi. Meski kadang aku pun bertanya, apakah dari sana kamu dapat melihatku?
***
(Cerita-cerita ini ditulis pada pertemuan Couchsurfing Writer's Club kemarin. Temanya menulis cerita dengan pancingan lagu. Hostnya Tada, dia banyak memutar lagu-lagu pesta: Lost in Music-nya Sister Sledge, lagunya Gladys Knight and the Pips, dll. Padahal saya berangkat ke klab nulis dengan perasaan tidak karuan karena siangnya menghadapi badai (bad day) di kantor. Kami pun hanya berdua saja malam itu, klab nulis kami sedang sepi peminat. Namun menulis dan membacakan cerita, sekalipun ceritanya sedih, memunculkan perasaan lega bagi saya.)
Bagus-bagus, Dik!
BalasHapus