Sekitar sebulanan yang lalu, ketika sedang membicarakan film-film pra-Academy Awards, seorang teman baik saya menyatakan keinginannya untuk menonton Revolutionary Road. “Karena Leo?” tanya saya. Teman saya yang berkelamin perempuan itu kontan mengiyakan. Leo yang dimaksud tidak lain adalah Leonardo DiCaprio. Beberapa saat kemudian, seorang teman lain juga bilang mau menonton film itu. “Karena Leo?” Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Walaupun berambut keriting, teman saya itu laki-laki lurus. Ia buru-buru menyanggah dan mengungkapkan bahwa tema film ini mengingatkannya pada kehidupannya sendiri. “Kehidupan seperti apa?” tanya saya. Si teman menjawab dengan enggan. Saya jadi penasaran.
Meskipun berjudul Revolutionary Road, film ini tidak bercerita tentang revolusi. (Hm. Mungkin ada unsur revolusinya, tetapi bukan revolusi politik seperti di buku sejarah.) Dan sekalipun dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, jangan menonton Revolutionary Road dengan harapan akan menyaksikan Titanic jilid dua. Adegan percintaan yang kolosal dan sentimental rupanya bukan dagangannya film ini.
Revolutionary Road merupakan adaptasi dari novel karya novelis Amerika, Richard Yates, yang berjudul sama. Film yang berlatarkan tahun 50-an ini menyorot kehidupan keluarga kecil, The Wheelers, yang merupakan potret keluarga ideal Amerika pada masa itu. The Wheelers terdiri atas pasangan suami istri muda, Frank Wheeler dan April Wheeler; anak-anak perempuan dan laki-laki; sebuah rumah bercat putih di kawasan suburban; dan halaman rumput hijau lengkap dengan alat penyiram otomatisnya. Sementara Frank adalah sales person berpenghasilan cukup yang selalu mengeluhkan kebosanan atas pekerjaannya, April merupakan aspiring actress yang merasa terhimpit kehidupan sebagai suburban wife.
Perasaan yang bisa jadi mengemuka ketika menonton Revolutionary Road adalah perasaan mengganggu. Sutradaranya, Sam Mendes (American Beauty, Road to Perdition, Jarhead), menampilkan imaji yang indah. Pencahayaannya terang, karakter-karakternya kelihatan keren dengan kostum sophisticated dan sisiran rambut necis, musiknya swing-y and jazzy, dekorasi rumahnya rapi, dll. Namun di sisi lain, semua itu cuma imaji. April Wheeler menyadari itu betul. Sekalipun ia dan suaminya dianggap masyarakat sebagai pasangan sempurna, tetapi sebetulnya mereka tak jauh berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Suatu hari, dipicu oleh kegagalan pertunjukan drama yang dibintangnya, April merasa muak dengan kehidupannya dan membujuk Frank agar mereka bisa memulai kehidupan baru di Paris. Paris, Perancis.
Sampai di sini, mungkin beberapa penonton Revolutionary Road (seperti saya) memandang dengan skeptis, “Emang kalo pindah ke Paris otomatis jadi bahagia? Sumber kenggakbahagiaan mereka bukan itu, kan?” Pertanyaan yang bisa dimengerti. Penonton mungkin menganggap Paris hanya sebagai Paris, sebuah kota di belahan bumi yang berbeda dengan tempat The Wheelers tinggal. Ide memindahkan keluarga ke sana kelihatan seperti sesuatu yang kekanak-kanakan. Namun bagi April dan Frank, Paris berarti lebih dari itu. Paris adalah simbol dari perubahan drastis yang ingin mereka lakukan. Keputusan pindah ke sana adalah semacam bukti dari kesungguhan mereka untuk meraih apa yang diimpi-impikan: kebahagiaan. Parisnya sendiri bisa jadi tidak penting, tetapi keberanian untuk pindah ke Paris yang sangat berarti. Akhirnya meskipun menyangsikan The Wheelers jadi pindah dan hidup bahagia di Paris, saya berharap mereka betul-betul melaksanakan rencana itu.
Seperti yang sudah disinggung sepintas di awal tulisan ini, Revolutionary Road merupakan tipikal film yang diproduksi untuk berkompetisi di Academy Awards. Di ajang tersebut, film ini mendapat tiga nominasi untuk Best Art Direction, Best Costume Design, dan Best Suporting Actor. Saya cukup yakin Revolutionary Road tidak akan memenangkan satu pun piala. Pada kategori Best Art Direction paling yang menang Curious Case, sementara Best Costume Design—Australia, dan Best Suporting Actor akan dimenangkan Heath Ledger sebagai Joker. Namun, bukan berarti bahwa film ini kurang bagus. Dari segi akting, Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet bermain lumayan. Kalau diperhatikan lagi Frank Wheeler sebetulnya menyebalkan, tetapi karena DiCaprio yang memerankannya karakter itu jadi terkesan simpatik. Winslet bahkan diganjar piala Golden Globe sebagai artis terbaik. Dan rasanya film ini menawarkan sebuah tamparan bagi para pekerja muda ibukota yang mulai terhisap mimpi kemapanan. Di luar beberapa adegan yang gampang ditebak, Revolutionary Road layak disimak, lah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar