Selasa siang (30/11), sekitar jam satu, sekumpulan orang duduk dan bercengkrama di ruang audiovisual Museum KAA. Semuanya menanti program pemutaran film mingguan yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2010. Mulanya film-film yang diputar khusus menceritakan Afrika dan Asia saja, tetapi lambat laun temanya makin beragam dan berganti setiap bulannya. Bulan November, mengikuti Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal sepuluh, tema filmnya adalah kepahlawanan.
Minggu, 12 Desember 2010
Embusan Angin yang Menyisakan Duka
Jumat, 15 Oktober 2010
Menonton Film-film Israel
Rabu, 06 Oktober 2010
Bercermin dalam Rumah Arwah
Dekalog VII, Jangan Mencuri
Rabu, 28 Juli 2010
Mendiskusikan Ulang Tahun, Merayakan Yesus di Hollywood
Kamis, 24 Juni 2010
Menonton Dekalog di MYCinema
Jumat, 30 April 2010
Sepucuk Surat dan Selembar Kartu Pos
Versi surat:
Ezra,
Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kertas surat ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kamu malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.
Eh, by the way, sepuluh tahun ini aku tak lagi di Bandung. Usai belajar drama di Upsalla, aku dapat izin kerja dan menetap di Swedia. Kurang lebih sepekan lalu ibu pergi meninggalkan aku dan kakakku. Beribu kata yang semestinya terucap menguap begitu saja. Saat ibu menyatu dengan tanah, awalnya aku tak percaya, tetapi ketika tabur bunga, aku yakin melihat kamu! Kamu bercelana jeans, berkemeja putih, bermantel hitam panjang persis seperti dulu di toko buku. Waktu itu saking buru-burunya, kamu telat mengantisipasi sedan yang mendadak keluar dari parkirannya. Kamu pasti sedih kalau melihat begitu ringseknya motor Honda kesayanganmu. Seorang tukang parkir mencoba menghalangiku melihat kondisimu. Kasihan dia, selangkangannya kutendang sekuat tenaga. Lalu air mataku bercampur dengan air hujan.
Ezra, aku tak tahu di mana alamatmu. Surat ini kutinggalkan di sini saja, kalau-kalau suatu hari kau mampir dan membeli roti. Seorang pramusaji yang baik berjanji akan menyampaikannya kepadamu.
Peluk kangen,
Karin
Versi kartu pos:
Ezra,
Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kartu ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kau malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.
Setelah sekian lama tak di Bandung, tempo hari aku kembali. Ibu meninggal. Di luar permakaman, aku melihatmu. Tanganku gemetar antara acuh atau menyapa. Nyaliku ciut melihat anak yang kaugendong dan seorang perempuan yang kaugandeng tangannya. Banyak yang mau kukatakan, tetapi aku yakin kau takkan senang mendengarnya. Aku tak tahu di mana alamatmu. Kartu ini kutinggalkan di sini, kau boleh mengambilnya kalau nanti membeli roti.
Salam,
Rio
Rabu, 21 April 2010
Potretan Teman
Samar-samar saya teringat lagi hari di mana saya mengenakan kombinasi pakaian itu. Pada sebuah Sabtu siang, kami janjian mencari film di Pasar Kota Kembang. Film yang banyak dibicarakan orang waktu itu adalah New York, I Love You. Nia mau menontonnya, tetapi kepingin terlebih dahulu menonton Paris, Je T'aime. Siang itu adalah kali pertama saya memakai rompi suede hitam yang dibeli di pasar tumpah seharga empat puluh ribu perak. Saking antusiasnya dengan baju baru, di tengah perjalanan ke rumah Nia saya lupa beli bensin; mesin motor pun mati persis di depan rumahnya. Siang itu Nia memakai baju gambar Barong. Setelah mendorong motor dan mengisi bensin di penghujung Jalan R.E. Martadinata, kami meluncur ke ITB. Hari itu ada Expo ITB, tetapi siang itu belum terlalu banyak hal yang bisa dinikmati, kecuali mungkin bola-bola warna-warni yang digantung di atas Student Centre, seperti hujan bola. Kami pun hengkang ke Kota Kembang, ditawari film bokep oleh mas-mas yang duduk-duduk di pintu masuk. Kalau tidak salah, Nia membeli Precious dan Paris, Je T'aime, sementara itu saya membeli The Countess. Saat mau keluar, saya sempat merekomendasikan Mary & Max, yang akhirnya dibeli Nia juga. Kami makan di pujasera di sebelahnya, dan mengobrol tentang keseharian yang kami lalui masing-masing. Sebelum membayar, Nia sempat ke WC tetapi akhirnya tak jadi menyelesaikan bisnisnya karena ada taik yang masih mengambang. Saat itulah hujan mulai turun. Awalnya gerimis, kemudian menjadi deras, kemudian gerimis lagi, kemudian deras lagi, dan menjadi gerimis, saat itulah kami pergi. Nia ingin mengambil uang di ATM NISP, di tengah perjalanan hujan semakin deras kami berteduh di Toko Buku Diskon Togamas di Jalan Tamansari. Nia ke WC, lalu kami langsung pergi ke Reading Lights tanpa mengambil uang dulu. Di sana wifi tidak hidup. Kami ke atas dan, saking betul-betul tidak ada kerjaan lain, foto-foto. Nia dengan kamera digital andalannya, dan saya dengan kamera film yang tak bisa diandalkan. Nia menyuruh saya berdiri di depan sebuah lukisan besar, kami pun saling memotret. Foto Nia hasilnya begini:
Bagus juga.
PS: Hari itu Dani pakai waistcoat juga. Beda dengan punya saya yang sedikit kedodoran, waistcoat-nya sangat fit dan sepertinya memang custom made. Anak writer's circle itu memakainya di atas kemeja lengan panjang yang juga fit. Dani sempat mencibir saya yang mengenakan kaus training di bawah waistcoat, hahaha. Belakangan baru saya tahu kalau rupanya dia suka mengecek The Sartorialist!
Selasa, 20 April 2010
Skinned Alive, Edmund White, dan Saya
Jumat, 15 Januari 2010
Ketika Buku Berjamur
Kemarin-kemarin, hujan turun setiap sore di kota Bandung. Puncaknya terjadi pada hari-hari libur pergantian tahun yang lalu. Banyak pedagang yang mengeluh karena omzet penjualan tidak setinggi saat tahun baru sebelumnya. Rupanya hujan membuat para turis malas keluar dari kamar hotel.
Keganasan musim hujan kali ini juga telah memangsa dua buku saya. Biasa: naik motor+hujan+tas=buku basah. Buku-buku itu untungnya paperback, bukan buku foto yang dicetak di kertas yang agak glossy atau komik yang kertasnya bakalan menempel satu sama lain apabila sedikit kena air. Buku-buku yang kehujanan ini lantas saya jemur, tetapi karena hari sering mendung mereka tidak kunjung kering. Sampai suatu hari saya menemukan halaman-halaman buku saya mulai ditumbuhi jamur! Jamur bintik-bintik hitam yang biasa muncul di pakaian yang lembab dan terlalu lama tidak dicuci! Tampilan buku yang menjadi keriting dan menjijikkan membuat saya malas membacanya lagi.
Tempo hari ketika sedang main-main ke Rumah Buku/Kineruku, semacam perpustakaan alternatif di Bandung, saya melihat dua buah buku yang pinggiran halamannya berwarna. Tidak seperti buku-buku biasanya yang pinggiran halamannya polos seperti ini:
Dua buku di Rumah Buku/Kineruku itu kelihatan lebih elegan dan menonjol di antara buku-buku lain yang berpinggiran polos. Kalau cuma melihat pinggirannya, sulit menduga berapa umur buku itu. Saya jadi kepikiran untuk mewarnai pinggiran buku saya yang berjamur dengan krayon.
Krayon-krayon ini saya beli dua tahun yang lalu, dan belum juga habis. Ada baiknya juga menyimpan sekotak krayon di rumah untuk berjaga-jaga, apalagi tidak pernah ada kepastian tentang kapan energi kreatif akan datang dan menjangkiti kita. Saya lantas memilih krayon biru tua untuk mewarnai pinggiran buku yang berjamur. Hasilnya ternyata cukup lumayan. Saya jadi keterusan mewarnai pinggiran buku-buku bulukan yang lain. Ini dia:
Keren, kan? Melihat buku-buku ini membuat saya membayangkan Power Rangers, permen Jagoan Neon, dan kolam renang di hari yang panas.
***
Tips-tips mewarnai pinggiran buku:
1. Mulai dari buku yang tidak mahal. Utamakan yang paling jelek dan paling tidak bisa diselamatkan. Kalau hasilnya ternyata memuaskan, baru lanjutkan dengan buku-buku (jelek) yang lain.
2. Pilih warna yang berbeda dari warna-warna yang ada di sampul buku tersebut. Kecuali kalau anda memang tipikal orang yang senang memadupadankan warna tas dengan sabuk dan sepatu; warna celana dengan topi; atau warna kemeja dengan kaus kaki.
3. Saya menggunakan krayon pastel karena permukaan ujungnya yang besar sehingga proses mewarnai tidak terlalu memakan waktu. Konsekuensinya adalah tangan saya mudah kotor. Namun saya kira resiko itu tidak sebesar apabila pewarnaan dilakukan dengan cat air atau cat minyak.
4. Warnai buku kita sendiri, bukan buku orang lain atau malah buku pinjaman dari perpustakaan.
5. Selamat mencoba.