Pengalaman adalah guru yang paling baik. Begitu bunyi pepatah yang sering saya jumpai. Selama ini saya kira saya paham maksudnya, tetapi baru kemarin ini saya menyadari bahwa pengalaman hanya akan jadi guru yang paling baik jika saya mau belajar dari pengalaman itu. Kesadaran ini muncul dengan tak terduga dari peristiwa yang terkait dengan dompet.
Beberapa pekan lalu dompet saya hilang. Dompet itu antara lain berisikan uang, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK) motor, dan berbagai macam kartu berharga lainnya. Saat itu saya merasa kehilangan identitas. Mungkin hanya amnesia saja yang membedakan saya dengan Jason Bourne.
Putus asa mencari dompet, saya memutuskan untuk mengurus surat penting yang hilang. Berhubung si kakak juga rutin memakai motor, mengurus STNK menjadi prioritas utama saya. Demi menghemat biaya, saya bertekad tidak menggunakan jasa calo. Dan dimulailah petualangan saya menjajal birokrasi pengurusan surat-surat penting.
Setelah membaca tips mengurus STNK hilang dari sebuah blog (benar blog, bukan dari situs resmi kepolisian), saya mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengurusan STNK, yaitu: membuat surat laporan kehilangan di pos polisi terdekat, fotokopi kartu tanda penduduk, buku kepemilikan kendaraan bermotor, dan surat laporan kehilangan, membuat surat rekomendasi STNK di kantor Poltabes, membuat bukti fisik dan surat pernyataan pajak, menyerahkan semua surat-surat itu beserta biaya sebesar lima puluh ribu rupiah ke bagian duplikasi STNK di kantor Samsat, dan STNK baru bisa diambil seminggu kemudian.
Ketika melapor di pos polisi terdekat saya baru tahu bahwa di Bandung, kota tempat saya berdomisili, ada beberapa langkah lain yang tak tercantum dalam blog yang saya jadikan acuan. Selain langkah-langkah di atas, ternyata saya juga perlu memasang pengumuman kehilangan di koran, serta datang ke ke kantor Polda dan kantor Polantas. Entah apa keperluan saya di kantor Polda dan kantor Polantas, petugas polisi dari pos polisi tidak kooperatif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.
Dari pos polisi, saya langsung memasang pengumuman kehilangan pada harian Pikiran Rakyat hari Sabtu, di mana banyak orang membaca iklan baris. Malangnya, tak seorang pun yang menghubungi saya perihal dompet yang hilang itu. Saya pun kembali melanjutkan proses pengurusan STNK.
Pada hari Senin, berbekal surat persyaratan yang dibutuhkan, saya berangkat ke kantor Poltabes Bandung di jalan Merdeka. Sesampainya di sana saya bertanya pada seorang petugas letak bagian tilang dan rekomendasi STNK, di mana saya dapat mengurus surat. Tidak saya sangka, petugas itu mengatakan bahwa saya tidak perlu ke sana. Ia mengatakan surat rekomendasi STNK mestinya diurus di kantor Samsat.
Dari sana saya bergegas ke kantor Samsat di jalan Surapati. Di parkiran Samsat saya disambut oleh seorang pria yang baik hati mencarikan tempat parkir untuk motor saya. Awalnya saya kira ia tukang parkir, ternyata bukan. Begitu saya turun dari motor, pria itu langsung menawarkan jasanya sebagai calo.
Untuk kasus seperti saya, begitu kira-kira perkataan si calo, biayanya tiga ratus lima puluh ribu.
Mendengar jumlah itu batin saya langsung menolak. Apalagi saya sudah merasa di setengah perjalanan. Namun, ternyata mulut saya tak sepakat dengan si batin. Termakan oleh ‘kebaikan’ calo mencarikan parkir, alih-alih menolak tawaran, saya malah menanggapi, “Kalau dua ratus lima puluh ribu, bagaimana Pak?”
Saya lemas ketika calo itu dengan mudah menerima tawaran yang saya ajukan. Beruntung saya melupakan satu persyaratan penting: kartu tanda penduduk. Berhubung STNK itu atas nama kakak saya, maka kartu tanda penduduknya mutlak diperlukan untuk mengurus STNK baru. Saya terbebas dari bujukkan calo dengan alasan mesti meminjam kartu tanda penduduk milik kakak saya terlebih dahulu. Tidak tega melihat tampang kecewa calo, akhirnya saya menggunakan jasanya untuk cek fisik. Tidak apa, toh saya tak tahu nomor mesin mana yang mesti saya gosok.
Setelah meminjam kartu tanda penduduk dari kakak, saya kembali ke kantor Samsat. Di bagian tata usaha saya menyerahkan segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Lagi-lagi saya dibuat terkejut dengan jawaban petugas polisi bahwa persyaratan saya belum cukup. Saya mesti ke kantor Poltabes, Polda, dan Polantas. Begitu saya tanyakan surat apa lagi yang mesti dibuat, petugas polisi itu bersikap tidak kooperatif, jawabannya berkeliling ke sana kemari dan berujung pada penawaran ‘bantuan’ untuk mengurus STNK.
Kontan saya tolak tawaran itu. Saya bersikeras minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Akhirnya petugas polisi mengambil segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan dengan dingin meminta saya duduk 'santai' di ruang tunggu.
Merasa tidak berdaya, saya menurut. Saya menunggu selama kurang lebih setengah jam. Saat-saat itu saya manfaatkan untuk berpikir mengenai bagaimana seorang licik memanfaatkan niat baik sesamanya, dan dengan tidak langsung mematikan niat baik sesamanya itu. Bahkan gaji kecil pun bukan dijadikan alasan untuk mengambil keuntungan dari orang lain.
“Aditya!” Polisi memanggil nama kakak saya yang tercantum pada kartu tanda penduduk.
Saya menghampiri polisi itu hanya untuk diberitahu surat rekomendasi tidak akan dibuat sampai persyaratan lengkap. Walaupun demikian, polisi tersebut masih bersedia ‘membantu’.
“Iklannya kan sudah ada. Biayanya jadi seratus tujuh puluh ribu,” rayu polisi itu. Lelah fisik dan mental, saya akhirnya menyanggupinya tanpa menawar lagi. Uang saya diterima tanpa tanda terima.
Pada hari Rabu saya kembali ke kantor Samsat, STNK sudah bisa saya ambil. Ada kelegaan karena urusan ini bisa cepat selesai meski begitu pengalaman ini menumbuhkan keengganan saya berurusan lagi dengan birokrasi. Untuk sementara saya lupakan dulu soal surat-surat lain yang hilang.
Rangkaian pengalaman birokrasi ini beberapa kali sukses mengejutkan saya. Saya dikejutkan sikap tak kooperatif polisi birokrat dan betapa tidak jelasnya proses pengurusan surat-surat penting. Seakan tak cukup, kejutan paling besar terjadi beberapa hari kemudian ketika saya menemukan kembali dompet yang hilang saat sedang merapikan lemari pakaian. Rupanya dompet itu bersembunyi di sudut lemari saya.
***
Pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya mengingat pepatah itu sambil tertawa dan menangis. Setidaknya pengalaman ini mengajari saya dua hal. Pertama, satu-satunya cara agar tidak repot mengurus STNK hilang adalah dengan tidak menghilangkannya. Kedua, kebodohan harus dibayar dengan harga mahal. Sangat mahal.
(Hasil workshop penulisan artikel dan feature bersama Farid Gaban, dibuat hampir dua tahun yang lalu.)