Selasa, 15 Desember 2009

Isi Perut Hari Ini

Hari ini saya sarapan kira-kira jam setengah sepuluh. Seselesai ujian hukinter, saya keluar dari kampus dan berjalan beberapa belas meter menuju Warkop Gembul. Pagi itu Gembul cukup lengang. Dengan cekatan seorang perempuan melayani saya, mencidukkan ke atas piring setengah porsi nasi kuning, sedikit telur dadar, kering kentang, mentimun, dan sambal. Saya minta tambah suiran ayam pedas, dan sebiji perkedel jagung. "Minumnya?" "Teh tawar aja." Total lima ribu lima ratus rupiah. Saya melahapnya cepat-cepat di atas meja yang tidak terlalu penuh dirubungi lalat.

Lalu makan siang dilakukan pada pukul setengah dua belas di rumah. Sekembalinya ke rumah, saya langsung menghampiri meja makan. Menemukan ada sayur kubis, bala-bala setengah matang, daaan pepes ikan! Dari presentasinya cukup jelas kalau pepes ikan ini bukan produksi orang rumah. Saya mengambil sedikit nasi, sedikit sayur kubis, sebuah bala-bala, dan sedikit pepes ikan. Usai makan saya tidur-tiduran di karpet ruang keluarga sambil menonton DVD, tak makan waktu lama sebelum akhirnya tidur betulan. Sempat terbangun ketika DVD selesai, saya melanjutkan tidur di kamar. Baru beberapa menit, kakak saya menanyakan perihal keberadaan STNK.

"Di kantongku," jawab saya, tetapi terlalu ngantuk untuk mengambil dompet di saku dan mengeluarkan STNK. Kakak saya maklum dan menutup pintu. Beberapa saat kemudian saya merogoh saku, mengeluarkan STNK, dan berteriak, "Mas STNK di sini!" Tidak ada tanggapan, saya berteriak lagi, "Mas STNK di sini!" Pintu kamar terbuka dan kakak saya yang sudah berjaket dan siap berangkat mengambil STNK yang sudah saya sodorkan. Setelah pintu kembali tertutup, saya pun jatuh tidur.

Ketika bangun jam tiga siang, saya menyalakan komputer. Mulai terpikir untuk menulis tentang hari yang penting ini, tetapi dengan cara dan persepsi yang berbeda dengan apa yang biasa saya tulis di blog ataupun buku harian saya: lebih trivial, lebih tidak memikirkan hubungan antara sebuah kejadian dengan kejadian lainnya. Browsing-browsing dua jam, saya lalu mandi dan makan malam. Menu makan malam saya sama dengan makan siang, hanya saja sayurnya lebih banyak dan pepesnya lebih sedikit.

Kakak saya lalu pulang dan memakai komputer. Saya menonton berita sejenak, lalu membaca. Beberapa saat setelahnya, tiba-tiba mulut saya ingin yang manis-manis. "Aku?" kakak saya menawarkan diri untuk dimakan. Namun, saya ke Toko Barokah dan membeli dua buah cokelat Beng-Beng. Satu saya berikan buat kakak saya, satu lagi untuk saya. Sempat mencoba membuat posting tentang hari ini, saya menghapusnya karena jadinya tidak sesuai niatan. Dua paragraf awalnya saja terlalu gelap, saya tidak kuat bila harus meneruskannya sampai akhir. Beberapa jam kemudian saya mendapat pencerahan tentang bagaimana hari ini seharusnya ditulis. Dan saya pun menulis entri blog ini sambil menyesap teh hangat tawar.

Hari ini adalah hari terakhir di semester tujuh.

Minggu, 13 Desember 2009

Reportase: Semalam Lagi Bersama Eliana

Sekitar tujuh puluh orang hadir saat Budi Warsito, pengelola Rumah Buku/Kineruku, membuka acara. Hujan turun rintik-rintik. Tidak besar, tetapi terasa. Hanya segelintir pengunjung yang duduk di atas karpet yang digelar di atas hamparan rumput, karena kebanyakan lebih memilih berdesakan di teras belakang yang dinaungi atap. Beberapa laron terbang di dekat layar. Perangkat pemutar film sudah diselubungi plastik.

“Mungkin kalau orang sebanyak ini berdoa bersama-sama dalam hati masing-masing, hujan nggak jadi deras,” tukas Budi, meyakinkan pengunjung serta dirinya sendiri.

Sabtu petang (28/11), di Jalan Hegarmanah 52, Kineruku Special Screening diselenggarakan dalam suasana nostalgia. Rumah Buku/Kineruku mengajak para penikmat film di Bandung menengok ke belakang, untuk sekali lagi melihat film Eliana, Eliana (2002) yang pernah berlayar di bioskop-bioskop Indonesia kurang lebih tujuh tahun silam. Menyimak kembali Eliana, Eliana, pengunjung tak hanya bisa melakukan retrospeksi terhadap karya-karya para pembuat filmnya, namun juga berkesempatan mengukur sejauh mana sejarah film Indonesia melangkah sejak dirilisnya film ini. Apalagi kali ini hadir pula pembuat filmnya: Riri Riza dan Prima Rusdi.

Jam tujuh malam para penonton lantas bertemu dan berkenalan lagi dengan Eliana (Rachel Maryam). Gadis itu baru saja menendang ... (foto acara dan lanjutannya bisa dicek di sini)

(Reportase ini dibuat untuk Rumah Buku/Kineruku. Menulisnya cukup susah karena sebetulnya masih banyak lagi yang bisa ditulis. Penutupannya dibuat terburu-buru, supaya cepat bisa dikirim. Sempat kaget juga waktu membacanya lagi ternyata ada kata merubah, bukannya mengubah! Padahal saya tahu itu salah sejak kecil! Majalah Bobo pernah membahas perihal salah kaprah ini dengan gambar rubah sebagai ilustrasi. Untung saja ketika saya cek di webzine, yang tertera adalah kata mengubah. Terima kasih, Editor!)


Senin, 23 November 2009

Pada Suatu Hari Sabtu ...






Foto-foto ini sebetulnya diambil untuk ilustrasi jurnal writer's circle yang ini. Namun karena pencucian filmnya sangat tergantung pada mood kakak saya, foto-foto ini baru bisa diposting hari ini. Foto diambil dengan kamera saku Coppa Fuji Film, dengan film hitam putih Kodak. Klik Biar Gede.

Kamis, 29 Oktober 2009

Reportase: Babi Buta di Taman Rumput

Pukul tujuh kurang, kumandang adzan sayup terdengar dari kejauhan. Di halaman belakang Hegarmanah 52, orang-orang duduk lesehan di karpet yang digelar di atas hamparan rumput yang sedikit basah karena gerimis sore sebelumnya. Langit malam sedikit berawan. Layang-layang putus tersangkut di pohon cemara. Belum ada gambar di layar. Suasana hening.

“Sebentar ya, kita tunggu sampai adzan selesai…” Ariani Darmawan mengumumkan.

***

Sabtu malam (24/10), seorang laki-laki berdiri di sudut teras Rumah Buku/Kineruku. Ia mengenakan jaket dan celana pendek berwarna hitam, serta kemeja putih bergaris-garis. Laki-laki itu bernama Edwin. Dialah sutradara Babi Buta Yang Ingin Terbang, film panjang pertamanya yang menjadi buah bibir di berbagai festival film internasional. Di acara Kineruku Layar Tancep, Edwin (beserta istri) dan sang produser sengaja hadir untuk menemani pengunjung menyaksikan pemutaran perdana film Babi Buta Yang Ingin Terbang di kota Bandung.

Ketika membuka acara, Ariani Darmawan menyampaikan bahwa mulai pekan ini ... (lanjutannya baca di sini.)

Kamis, 22 Oktober 2009

Pohon Kersen Berbuah Kratingdaeng

Beberapa hari yang lalu kakak saya minta dijemput jam setengah dua siang di Stasiun Kebon Kawung. Tiba lima menit lebih cepat, saya sempat duduk-duduk di bawah pohon kersen berbuah botol Kratingdaeng.


Sebatang pohon kersen juga tumbuh di rumah nenek saya di Magelang. Semasa SD, setiap liburan sekolah saya pernah selalu ke sana bersama dengan seorang sepupu saya. Dulu Magelang berarti bermain di halaman rumah yang luas, bermain dingdong di kompleks Ruko Armada, bermain ke sawah dan dangau di belakang panti asuhan milik kakek, pokoknya memainkan apa saja yang bisa dimainkan. Apalagi siaran televisi di rumah nenek selalu tertangkap dengan buram. Jadi saya dan sepupu saya mesti kreatif dalam menghabiskan waktu.

Jujur saja, saya tidak nyaman bila berdekatan dengan nenek. Sempat tinggal selama dua tahun bersamanya semasa SMP, saya merasa lebih mengenal beliau dibandingkan sepupu-sepupu yang lain. Di mata saya nenek seperti karakter Meryl Streep di film Doubt. Ketika masih anak-anak, kepribadian nenek yang paling terasa adalah overprotective. Saya dan sepupu saya kerap dilarang ini-itu: tidak boleh membuat rumah pohon, tidak boleh lama-lama di dapur, tidak boleh bermain kartu, dll. Maka permainan yang tak ada ujungnya yang selalu dimainkan saya dan sepupu saya adalah melarikan diri dari nenek. Kami jarang lama-lama tinggal di rumah; kalau pun di rumah maka kami akan bersembunyi.

Salah satu tempat persembunyian yang paling nyaman adalah di pohon kersen. Pohon kersen nenek tinggi menjulang. Buahnya banyak, dimakan sampai puas pun tak kunjung habis. Kalaupun setiap hari buahnya yang merah dipetik oleh anak-anak tetangga, keesokan harinya ada saja buah yang matang. Biasanya sepupu saya akan memanjati dahan pohon itu sampai cabang tertinggi, sementara itu saya selalu berpuas diri duduk bersandar di cabang besar yang tidak terlalu tinggi. Kami lantas bercengkerama. Saya akan bercerita tentang apa saja, dan sepupu saya akan mencarikan kersen matang untuk saya.

Semakin lama, rupanya saya dan sepupu tumbuh menjadi dua orang yang berlainan sifat. Saya semakin menggilai buku, semakin suka diam di rumah dan membaca; di sisi lain sepupu saya semakin jauh menjelajah. Bersama dengan saudara kami yang lebih tua, dengan antusias ia berpetualang Pasar Secang, klenteng di Pecinan, sampai terminal Kebon Polo. Pelan-pelan, pohon kersen yang awalnya merupakan markas kami berubah menjadi medan perang kami.

Saya akan membawa dan membaca buku di bawah pohon, sementara sepupu saya akan memanjat ke atas dan mulai menjatuhkan buah-buah kersen yang masih hijau ke atas kepala saya. Kadang saya mengabaikannya, tetapi kadang-kadang saya juga membalasnya dengan melempari batu-batu seukuran jari ke dahan tempat sepupu saya bertengger. Serangan saya sering luput, kalau sudah begitu maka ia akan bernyanyi-nyanyi riang, "Musuh menyerang! Musuh menyerang! Kita menang! Kita menang!" Dan demikianlah permainan kami pada liburan kali itu. Sampai suatu hari saya membalasnya dengan memukul kaki sepupu saya menggunakan tongkat kayu ketika ia sedang turun dari pohon.

Liburan itu saya ingat sebagai liburan terakhir yang kami habiskan bersama sebagai anak-anak. Sepupu saya jatuh, menangis hebat, dan langsung ditanggapi oleh seisi rumah. Ketika ibu sepupu saya menanyakan apa yang terjadi, saya hanya bisa bilang, "Dia jatuh." Yang langsung ditanggapi oleh sepupu saya di sela-sela tangisannya, "Bohong! Si Andika mukul aku sampai jatuh!" Saya menyesal setengah mati, tetapi tidak bisa mengucapkan lebih dari sekadar permintaan maaf yang lemah. Untuk selanjutnya saya cenderung menjaga jarak dengan keluarga sepupu saya itu. Kami tidak pernah lagi berlibur bersama. Kami sebaya, sama-sama tinggal di Bandung, tetapi sama sekali tidak dekat.

Saat ini perbedaan kepribadian saya dan sepupu saya semakin menjulang saja, meskipun situasi di antara kami sudah semakin biasa-biasa saja. Sepupu saya tumbuh menjadi pemuda tinggi, ganteng, sementara saya tumbuh menjadi pemuda pendek dan secara normatif berpreferensi seksual menyimpang. Kami berdua sama-sama kuliah, hanya saja sepupu saya kuliah sambil menjalankan berbagai bisnis, sementara saya kuliah sambil berkutat dengan kegiatan tulis menulis.

Saya membayangkan dalam waktu sepuluh tahun akan menatap potret di mana sepupu saya akan berpose dengan istri dan anaknya di depan sebuah rumah berhalaman yang asri. Di sisi lain, segalanya serba mungkin bagi saya. Soal pekerjaan mungkin cukup jelas: saya berencana kerja di penerbitan atau menjadi jurnalis. Namun yang lainnya? Tidak tahu. Kalau sepupu saya diibaratkan seperti pohon kersen rindang yang selalu manis berbuah, mungkin saya adalah pohon kersen rindang yang berbuah botol Kratingdaeng.

Kakak saya di bawah pohon kersen berbuah Kratingdaeng

Beberapa saat setelah insiden saya melukai sepupu saya, pohon kersen di rumah nenek ditebang hingga batang yang tersisa pendek sekali. "Bahaya," begitu kata nenek ketika ditanyai apa alasannya.

Jumat, 16 Oktober 2009

Reportase: Kursi-Kursi Panas Itu ...

Menjelang dimulainya acara, Ari Rusyadi mewakili teman-temannya menyapa pengunjung, “Kalau boring, garing, paling nggak filmnya pendek.”
“Tapi ada tujuh, ya?” canda Budi Warsito.
“Iya.”

* * *

Adalah hal yang lumrah jika Bandung menjadi pilihan orang-orang Jakarta untuk menghabiskan waktu di akhir pekan. Biasanya masing-masing sudah punya distro, factory outlet, atau warung batagor favorit. Namun kali ini tujuan sebagian dari mereka rupanya bukan untuk berbelanja pakaian maupun menikmati aneka macam jajanan. Sabtu malam (10/10), mobil-mobil berplat nomor B berderet rapi di area parkir Rumah Buku/Kineruku, tempat berlangsungnya pemutaran Film-Film Kursi Panas yang merupakan film-film pendek tugas akhir Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2008-2009.

Sekelompok warga IKJ inilah bagian spesial dari acara Kineruku Special Screening. Kehadiran mereka di Hegarmanah 52 menjanjikan ... (lanjutannya baca di sini)

Senin, 28 September 2009

Sepucuk Surat Untuk Petugas Observatorium Bosscha

Bandung, 28 September 2009


Kepada Yth.,
Bapak/Ibu Petugas Observatorium Bosscha
FMIPA - ITB

Dengan hormat

Melalui surat ini, saya bermaksud mendaftarkan tempat untuk rombongan saya yang akan berkunjung ke Observatorium Bosscha pada hari Rabu, 30 September 2009, jam 5 sore. (Jika yang tersedia hanya sesi jam 3 sore juga tidak apa-apa.) Rombongan saya terdiri atas Andika (saya), Syarif, Nia, dan Dea. Sebagai orang Bandung yang belum pernah ke Boscha, kami berempat sangat antusias dalam menyaksikan sendiri kelima teleskop besar yang ada di sana.

Kami semua juga sangat menyesalkan bahwa saat ini kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Pertumbuhan vila, permukiman penduduk, dan area komersial memang harus dikendalikan sehingga tidak mengancam fungsi Observatorium Bosscha baik sebagai lembaga penelitian dan pengembangan ilmu astronomi, maupun sebagai Benda Cagar Budaya Nasional. Apalagi observatorium ini merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan astronomi di Indonesia.

Sekadar catatan, kami tidak bermaksud membuat kegiatan sendiri seperti pembagian rapor, foto sebelum-pernikahan, atau bahkan pembentukan agama baru selama kunjungan ke observatorium. Kami juga tidak berencana membawa serta hewan peliharaan masing-masing. (Dan kebetulan hewan peliharaan saya adalah ikan.)

Demikianlah surat ini, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kata-kata kurang berkenan yang menyinggung perasaan Bapak/Ibu.



Salam,




Andika Budiman

Kamis, 24 September 2009

Mudah-mudahan ...

...hujan 'kan membawa keteduhan.

Reportase: Serunya Adik-adik Nonton Layar Tancep

(Reportase KidsFfest on Tour Bandung untuk Rumah Buku, telah melewati pengeditan.)

“Adik-adik sudah ngumpul semuanya di sini?” tanya Kak Budi.
Sudaaah…!!!” pekik adik-adik pengunjung, nyaring dan serentak.
“Nggak ada yang ketinggalan di rumah, kan?”
Adaaa!!!” sahut seorang anak.
“Lho, siapa?”
Sayaaa…!!!”

* * *

Rabu petang (16/9), halaman belakang Rumah Buku/Kineruku, Jalan Hegarmanah 52 Bandung, diserbu sepasukan anak-anak kecil usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru Bandung dengan tujuan sama, yaitu menonton film anak yang diputar di acara Kineruku Layar Tancep, sebagai rangkaian kegiatan festival film anak-anak, KidsFfest on Tour 2009 Bandung. Derap langkah, riuh rendah, dan warna-warni pakaian anak-anak itu semakin menambah keunikan acara menonton layar tancap ini. Punggawa Rumah Buku/Kineruku, Ariani Darmawan dan Budi Warsito pun menempatkan diri sebagai Kak Rani dan Kak Budi. Lantas keduanya mengajak adik-adik pengunjung untuk menjaga kenyamanan menonton dengan tidak menginjak kabel, tidak buang sampah sembarangan, tidak berebut goody bag; pokoknya tidak berbuat yang tidak-tidak.

Sebagai pemanasan sebelum ... (Lanjutannya klik di sini)

Senin, 07 September 2009

Menjajal Birokrasi

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Begitu bunyi pepatah yang sering saya jumpai. Selama ini saya kira saya paham maksudnya, tetapi baru kemarin ini saya menyadari bahwa pengalaman hanya akan jadi guru yang paling baik jika saya mau belajar dari pengalaman itu. Kesadaran ini muncul dengan tak terduga dari peristiwa yang terkait dengan dompet.

Beberapa pekan lalu dompet saya hilang. Dompet itu antara lain berisikan uang, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK) motor, dan berbagai macam kartu berharga lainnya. Saat itu saya merasa kehilangan identitas. Mungkin hanya amnesia saja yang membedakan saya dengan Jason Bourne.

Putus asa mencari dompet, saya memutuskan untuk mengurus surat penting yang hilang. Berhubung si kakak juga rutin memakai motor, mengurus STNK menjadi prioritas utama saya. Demi menghemat biaya, saya bertekad tidak menggunakan jasa calo. Dan dimulailah petualangan saya menjajal birokrasi pengurusan surat-surat penting.

Setelah membaca tips mengurus STNK hilang dari sebuah blog (benar blog, bukan dari situs resmi kepolisian), saya mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengurusan STNK, yaitu: membuat surat laporan kehilangan di pos polisi terdekat, fotokopi kartu tanda penduduk, buku kepemilikan kendaraan bermotor, dan surat laporan kehilangan, membuat surat rekomendasi STNK di kantor Poltabes, membuat bukti fisik dan surat pernyataan pajak, menyerahkan semua surat-surat itu beserta biaya sebesar lima puluh ribu rupiah ke bagian duplikasi STNK di kantor Samsat, dan STNK baru bisa diambil seminggu kemudian.

Ketika melapor di pos polisi terdekat saya baru tahu bahwa di Bandung, kota tempat saya berdomisili, ada beberapa langkah lain yang tak tercantum dalam blog yang saya jadikan acuan. Selain langkah-langkah di atas, ternyata saya juga perlu memasang pengumuman kehilangan di koran, serta datang ke ke kantor Polda dan kantor Polantas. Entah apa keperluan saya di kantor Polda dan kantor Polantas, petugas polisi dari pos polisi tidak kooperatif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.

Dari pos polisi, saya langsung memasang pengumuman kehilangan pada harian Pikiran Rakyat hari Sabtu, di mana banyak orang membaca iklan baris. Malangnya, tak seorang pun yang menghubungi saya perihal dompet yang hilang itu. Saya pun kembali melanjutkan proses pengurusan STNK.

Pada hari Senin, berbekal surat persyaratan yang dibutuhkan, saya berangkat ke kantor Poltabes Bandung di jalan Merdeka. Sesampainya di sana saya bertanya pada seorang petugas letak bagian tilang dan rekomendasi STNK, di mana saya dapat mengurus surat. Tidak saya sangka, petugas itu mengatakan bahwa saya tidak perlu ke sana. Ia mengatakan surat rekomendasi STNK mestinya diurus di kantor Samsat.

Dari sana saya bergegas ke kantor Samsat di jalan Surapati. Di parkiran Samsat saya disambut oleh seorang pria yang baik hati mencarikan tempat parkir untuk motor saya. Awalnya saya kira ia tukang parkir, ternyata bukan. Begitu saya turun dari motor, pria itu langsung menawarkan jasanya sebagai calo.

Untuk kasus seperti saya, begitu kira-kira perkataan si calo, biayanya tiga ratus lima puluh ribu.

Mendengar jumlah itu batin saya langsung menolak. Apalagi saya sudah merasa di setengah perjalanan. Namun, ternyata mulut saya tak sepakat dengan si batin. Termakan oleh ‘kebaikan’ calo mencarikan parkir, alih-alih menolak tawaran, saya malah menanggapi, “Kalau dua ratus lima puluh ribu, bagaimana Pak?”

Saya lemas ketika calo itu dengan mudah menerima tawaran yang saya ajukan. Beruntung saya melupakan satu persyaratan penting: kartu tanda penduduk. Berhubung STNK itu atas nama kakak saya, maka kartu tanda penduduknya mutlak diperlukan untuk mengurus STNK baru. Saya terbebas dari bujukkan calo dengan alasan mesti meminjam kartu tanda penduduk milik kakak saya terlebih dahulu. Tidak tega melihat tampang kecewa calo, akhirnya saya menggunakan jasanya untuk cek fisik. Tidak apa, toh saya tak tahu nomor mesin mana yang mesti saya gosok.

Setelah meminjam kartu tanda penduduk dari kakak, saya kembali ke kantor Samsat. Di bagian tata usaha saya menyerahkan segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Lagi-lagi saya dibuat terkejut dengan jawaban petugas polisi bahwa persyaratan saya belum cukup. Saya mesti ke kantor Poltabes, Polda, dan Polantas. Begitu saya tanyakan surat apa lagi yang mesti dibuat, petugas polisi itu bersikap tidak kooperatif, jawabannya berkeliling ke sana kemari dan berujung pada penawaran ‘bantuan’ untuk mengurus STNK.

Kontan saya tolak tawaran itu. Saya bersikeras minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Akhirnya petugas polisi mengambil segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan dengan dingin meminta saya duduk 'santai' di ruang tunggu.

Merasa tidak berdaya, saya menurut. Saya menunggu selama kurang lebih setengah jam. Saat-saat itu saya manfaatkan untuk berpikir mengenai bagaimana seorang licik memanfaatkan niat baik sesamanya, dan dengan tidak langsung mematikan niat baik sesamanya itu. Bahkan gaji kecil pun bukan dijadikan alasan untuk mengambil keuntungan dari orang lain.

“Aditya!” Polisi memanggil nama kakak saya yang tercantum pada kartu tanda penduduk.

Saya menghampiri polisi itu hanya untuk diberitahu surat rekomendasi tidak akan dibuat sampai persyaratan lengkap. Walaupun demikian, polisi tersebut masih bersedia ‘membantu’.

“Iklannya kan sudah ada. Biayanya jadi seratus tujuh puluh ribu,” rayu polisi itu. Lelah fisik dan mental, saya akhirnya menyanggupinya tanpa menawar lagi. Uang saya diterima tanpa tanda terima.

Pada hari Rabu saya kembali ke kantor Samsat, STNK sudah bisa saya ambil. Ada kelegaan karena urusan ini bisa cepat selesai meski begitu pengalaman ini menumbuhkan keengganan saya berurusan lagi dengan birokrasi. Untuk sementara saya lupakan dulu soal surat-surat lain yang hilang.

Rangkaian pengalaman birokrasi ini beberapa kali sukses mengejutkan saya. Saya dikejutkan sikap tak kooperatif polisi birokrat dan betapa tidak jelasnya proses pengurusan surat-surat penting. Seakan tak cukup, kejutan paling besar terjadi beberapa hari kemudian ketika saya menemukan kembali dompet yang hilang saat sedang merapikan lemari pakaian. Rupanya dompet itu bersembunyi di sudut lemari saya.

***

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya mengingat pepatah itu sambil tertawa dan menangis. Setidaknya pengalaman ini mengajari saya dua hal. Pertama, satu-satunya cara agar tidak repot mengurus STNK hilang adalah dengan tidak menghilangkannya. Kedua, kebodohan harus dibayar dengan harga mahal. Sangat mahal.

(Hasil workshop penulisan artikel dan feature bersama Farid Gaban, dibuat hampir dua tahun yang lalu.)

Senin, 24 Agustus 2009

Reportase Nonton Impian Kemarau di Rumah Buku

Tulisan ini (sudah melewati proses pengeditan oleh Mas Budi) dibuat untuk zine ruku/kineruku:

Sabtu malam (22/08) menjelang pemutaran Impian Kemarau, halaman depan Rumah Buku dipenuhi kendaraan para pengunjung yang ingin menonton film tersebut. Motor-motor yang diparkir sampai meluber melewati pagar. Ini di luar dugaan, karena kemarin hari pertama puasa. Orang-orang mungkin lebih memilih menghabiskan malam dengan berbuka di rumah dan sholat tarawih bersama keluarga. Namun bagaimanapun Rumah Buku juga sebuah rumah. Kebanyakan pengunjungnya pun saling mengenal meskipun tidak datang secara berbarengan. Layaknya keluarga yang lama tak berjumpa, mereka lantas menyapa akrab dan saling berbincang. Kemeriahan semakin lengkap dengan keberadaan es cendol sebagai minuman manis yang cocok untuk pelepas dahaga sekaligus . . . (selengkapnya)

Senin, 10 Agustus 2009

Kaus Kaki

Laci lemari baju saya penuh dengan kaus kaki yang tidak ada pasangannya. Modelnya bermacam-macam: tipis, tebal, panjang, atau pendek. Hampir semuanya sudah termakan waktu. Ada yang karetnya kendor dan kainnya berbintil-bintil. Namun, berhubung kebanyakan warnanya sama (hitam), saya santai-santai saja bila kaus kaki kanan dan kaki kiri saya saling berlainan. Sepasang kaus kaki lengkap ialah suatu keistimewaan.

Tiap kali bertemu dengan orang baru, saya merasa seperti membuat dan mendapatkan sepasang kaus kaki baru. Setiap pertemuan menimbulkan kesan, atau perasaan. Perasaan saya pada orang itu ibarat sepotong kaus kaki untuk disimpannya, dan sebaliknya perasaan orang itu terhadap saya merupakan sepotong kaus kaki yang mesti saya jaga. Bila bertemu saya dan teman baru saya akan memiliki sepasang kaus kaki yang sama-sama kami pakai sebagai pelindung diri. Dunia penuh dengan ancaman, tetapi saya yakin ancaman itu bisa jadi adalah konteks dari pertemuan kami.

Dalam makna yang sebenarnya, kaus kaki harus dipelihara supaya tetap nyaman dipakai. Mencucinya mesti hati-hati, jangan sampai kaos kakinya luntur, melar, atau mengecil. Dijemurnya juga berdekatan saja, agar tidak sulit memasangkannya ketika pelipatannya nanti. Namun berteori memang gampang, ketika beradu dengan realita palingan juga kalah. Sering terbersit di pikiran, Kaus kaki itu penting nggak sih? Harganya paling sepuluh ribu tiga ... Meskipun demikian, dalam maknanya yang tidak sebenarnya, seseorang tidak bisa begitu saja membeli kaus kaki. Demi mendapatkannya, semua harus mengusahakannya. Seringkali saya putus asa karena merasa tidak memiliki mata uang yang sama. Sebetulnya ironis, karena pada kalimat sebelumnya saya berpendapat bahwa seseorang tidak bisa begitu saja membeli kaus kaki.

Awal pekan lalu saya menghadiri sendirian sebuah promo musik klasik dan acara nonton film pendek di Radio Maestro, Bandung. Ada masing-masing satu teman yang sebetulnya saya inginkan hadir menemani di kedua acara itu. Saya kenal baik dengan keduanya dan yakin bahwa acaranya sesuai dengan minat mereka. Namun saya urung mengajak karena takut ditolak, dan yang selanjutnya terjadi adalah saya mengajak seseorang yang sudah dipastikan akan menolak dengan segala macam alasan. Seseorang yang diajak semata-mata karena saya lebih nyaman dengan penolakan daripada penerimaan. Kalaupun secara mengejutkan seseorang itu mengiyakan, tidak terbayang di benak saya bagaimana kami nantinya berinteraksi.

Perasaan dan pengalaman tidak nyaman ini terus mengemuka sampai akhir pekan, menjelang menonton resital gitar klasik bersama seorang teman yang seharusnya saya ajak ke Radio Maestro. Saya kangen menghabiskan waktu bersamanya. Percaya atau tidak, sebetulnya kami sudah berencana menonton resital sama-sama sejak tiga minggu yang lalu. Bagi saya, resitalnya nomor dua, hang out-nya itu yang nomor satu. Meskipun dua lembar tiket sudah dalam genggaman, saya kuatir kalau-kalau si teman membatalkan acara jalan pada saat-saat terakhir. Tiba-tiba muncul pertanyaan tentang kesungguhannya menghabiskan Malam Seninnya dengan saya.

Dengan hati yang mendung, saya mandi sebelum pergi ke tempat rendezvous. Ketika mengambil ikat pinggang, tidak sengaja tangan saya menyentuh sepotong kaus kaki hitam kecil yang tersembunyi di sudut lemari. Laci kaus kaki pun dibuka. Pandangan lantas tertuju pada sepotong kaus kaki tanpa pasangan yang identik dengan sepotong kaus kaki di tangan.

Saat itu saya tahu kalau semuanya akan baik-baik saja.

Selasa, 28 Juli 2009

The Accidental

Sudah lama juga sejak terakhir ngeblog, membuat resensi. Padahal ada beberapa buku yang habis dibaca, ada beberapa film yang selesai ditonton. Kali ini yang akan dibahas adalah The Accidental-nya Ali Smith.


Mengambil latar sebuah vila di Norfolk, The Accidental mengisahkan keluarga Smart yang justru tidak terlalu pintar dalam memahami emosinya masing-masing. Mereka terdiri dari dua anak: Astrid dan Magnus, Eve si ibu, dan Michael si ayah tiri. Jika Astrid adalah anak perempuan dua belas tahun yang terobsesi dengan handy-cam-nya, maka kakaknya Magnus merupakan bocah SMA suicidal yang tiba-tiba menjauhkan diri dari jangkauan keluarganya. Sementara itu Eve beprofesi sebagai penulis literatur sejarah populer yang sedang mengalami writer's block, sedangkan Michael adalah dosen literatur yang terjebak dalam serangkaian affair dangkal dengan para mahasiswinya. Sampai suatu hari keluarga Smart kedatangan Amber, seorang wanita misterius yang menuntun mereka keluar dari kegelapan.

Yang paling berkesan dari buku ini adalah penggunaan stream of consciousness oleh Ali Smith melalui sudut pandang orang ketiga. Stream of consciousness merupakan jenis penuturan yang melakukan karakterisasi melalui penjabaran proses berpikir si tokoh. Semua orang mengalami peristiwa yang sama, tetapi Astrid, Magnus, Eve, dan Michael mendapat kesempatan menjelaskan peristiwa tersebut dalam versi masing-masing. Di satu sisi, penuturan yang seperti ini memungkinkan si penulis menulis begitu banyak informasi dalam satu paragraf pendek. Namun di sisi lain, penuturan ini juga membuat pembaca mesti ekstra perhatian untuk bisa mengikuti jalan ceritanya. Berikut secuplik paragraf yang berfokus pada karakter favorit saya, Astrid:

The beginning of things - when is it exactly? Astrid Smart wants to know. (Astrid Smart. Astrid Berenski. Astrid Smart. Astrid Berenski.) 5.04 a.m. on the substandard clock radio. Because why do people always say the day starts now? Really it starts in the middle of the night at a fraction of a second past midnight. But it's not supposed to have begun until the dawn, really the dark is still last night and it isn't morning till the light, though actually it was morning as soon as it was even a fraction of a second past twelve i.e. that experiment where you divide something down and down like the distance between the ground and a ball that's been bounced on it so that it can be proved, Magnus says, that the ball never actually touches the ground.

Pusing, pusing. Untungnya Ali Smith sering melakukan variasi dalam menjabarkan proses berpikir karakternya. Selain prosa, kadang-kadang ia menggunakan format tanya jawab dan soneta. Satu hal lagi yang membuat pembaca tidak mudah bosan: The Accidental memuat referensi pop tanpa menyebut judul buku atau film yang dimaksud, tetapi deskripsinya cukup membuat pembaca mengetahui hal apa yang dimaksudkan Smith.


Kebetulan Ali Smith adalah seorang lesbian, semua bukunya ia dedikasikan untuk pasangannya selama 22 tahun, Sarah Wood. The Accidental masuk dalam lima besar The Man Booker Prize 2005.

Senin, 06 Juli 2009

Tentang Identifikasi

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang semangat-semangatnya bercerita tentang miniseri kesukaan, Angels In America, (yang lebih kurang bertemakan homoseksualitas) teman saya menyela, "Cerita kesukaan lu mesti punya karakter yang bisa diidentifikasi dengan diri sendiri ya? Dulu Six Feet Under, The Bubble, sekarang Angels in America . . ." Begitu kira-kira ucapan si teman yang dengan halus menuduh bahwa saya baru bisa menikmati cerita fiksi apabila di dalamnya ada karakter homo-nya, hahaha.

Meskipun dulu (dan sekarang) saya menertawainya, sebetulnya yang si teman katakan ada benarnya juga. Ketika membaca buku, atau menonton film, untuk memudahkan masuk ke dalam cerita saya berusaha untuk mengidentifikasikan diri dengan perasaan-perasaan yang dihadapi oleh setiap karakter, tidak cuma satu karakter homo, saja. Jadi begini, seorang teman yang lain pernah bilang bahwa dalam menulis sebuah cerita pertanyaannya cuma dua: what the hell dan what the fuck. Ada kejadian di dalam setiap cerita yang bermuara dari hubungan sebab-akibat atau sebaliknya. Setiap kali menikmati karya fiksi, pertanyaan yang saya ajukan sederhana saja, "Mengapa karakter A bertindak seperti ini? Mengapa dampak tindakannya seperti itu?" dst. Jika penutur berhasil membuat saya mengerti alasan dari tindakan karakternya, maka saya menyukai cerita tersebut.

Saya mengerti saat si teman berpendapat bahwa saya mempunyai soft spot terhadap film-film yang ada karakter homo-nya. Lebih mudah saja bagi saya untuk mencoba 'memakai sepatu' karakter-karakter tersebut, toh dalam beberapa hal sepatu yang pas di kaki mereka juga sepatu yang pas di kaki saya. Namun ada perasaan yang lebih kuat daripada sekadar perasaan teridentifikasi karena memiliki preferensi seksual yang sama, yaitu perasaan bahwa saya dan karakternya sama-sama 'ada' serta memiliki perasaan dan akal budi.

Seperti sebuah kalimat yang pernah saya temui: 'Tidaklah sulit bersimpati kepada anak kecil yang menangis, sekalipun kita tidak tahu apa alasan anak kecil itu menangis.' Saya dan anak kecil itu sama-sama 'ada' di dunia dan saya pun pernah menangis, merasakan hal yang membuat saya menangis. Saya mungkin tidak tahu alasan si anak kecil itu menangis, tetapi saya tahu persis beberapa alasan dulu saya menangis.

Itu contoh yang mudah. Semakin rumit tindakan sebuah karakter dalam cerita, maka semakin rumit pula alasan yang mesti melatari terjadinya tindakan tersebut. Jika penutur berhasil menyampaikannya, maka tidak sulit bagi saya untuk menyukai karya-karyanya. Semakin rumit tindakan karakter; semakin rumit alasannya; semakin berhasil penutur menyampaikannya; semakin saya suka dengan karya tersebut. Komentar nyinyir si teman tadi benar adanya, tetapi . . . salahnya juga ada.

Senin, 15 Juni 2009

Menunggu Hujan di Victoria

Siang kemarin, hujan mulai turun ketika saya melintasi Jalan Dipatiukur. Arus lalu lintas sedikit melambat. Reaksi pertama adalah panik dan sedikit menyumpah. Saya belum mengenakan jas penahan air. Hujan dan kemacetan lalu lintas siang-siang (apalagi pagi) adalah kombinasi yang tak pernah gagal membuat pengendara motor, seperti saya, merasa kalah dan terjebak. Pasti basah di tempat tujuan. Saya pun singgah dan berteduh di Victoria Bakery & Cafetaria.

Dengan cekatan pramuniaga membantu saya memilih kue dan minuman yang tersusun rapi di lemari kaca. Kecuali milik satpam, seragam pegawai Victoria berwarna hijau-hijau. Seragam ini sebetulnya elegan seandainya saja bahannya lebih bagus dan para pegawai tidak bersandal jepit. Jam di dinding menunjukkan pukul dua, tidak dekat lagi dari istirahat makan siang. Usai membayar pesanan pada kasir, saya duduk di kursi dekat jendela. Di atas setiap meja terdapat sekotak tisu dan sebuah vas yang berisi bunga mawar palsu. Pandangan saya tertuju ke luar, melihat intensitas dan ukuran titik-titiknya, hujan masih jauh dari reda. Gumpalan asap mengepul dari cerobong restoran B'Gana di seberang tempat ini. Di sebelahnya ada Zoe Corner, tempat saya biasa duduk dan meminjam DVD selama tiga setengah tahun belakangan.


Pesanan diantarkan, perhatian saya kembali ke dalam. Keadaan cukup lengang dengan para pria sebagai mayoritas pengunjung. Mereka duduk berkelompok, sendirian, dan ada juga yang mengobrol berdua di semacam terpisah. Ketika saya datang, Victoria mungkin bukan merupakan bakery & cafetaria terbersih atau terlezat di Kota Bandung, tetapi suasananya sangat cocok untuk kencan atau malah, seperti yang saya lakukan, melamun sambil menunggu berhentinya hujan.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca wawancara Sarah Sechan di majalah Trax, yang dulu bernama MTV Trax. Sarah mengatakan semasa SMA-nya di Amerika Serikat, ia kerap digencet kakak kelas karena bertubuh pendek dan mengenakan pakaian dari toko-toko secondhand. Saat itu ia mengangan-angankan memiliki nama Victoria. Alasannya, apabila mendengar nama tersebut orang-orang biasanya membayangkan sesosok perempuan yang tinggi, kuat, dan pastinya memberikan perlawanan apabila ditekan.

Dengan membuat beberapa perkecualian. (Sarah Azhari, misalnya.) Saya sependapat dengan Sarah Sechan. Di benak saya, nama Victoria memang memunculkan figur-figur yang kuat. Kekuasaan Ratu Victoria menandai sebuah era; Victoria Beckham memiliki lemari tak berujung beserta suami yang dimenangkannya; Victoria Azarenka adalah petenis remaja Belarusia yang sedang naik daun. Bahkan tulisan Victoria Bakery & Cafetaria pun berwarna merah, warna yang konon identik dengan keberanian, gairah, dan darah. Sementara itu nama Sarah mewakili sosok yang tua, nyaris steril, dan rela dimadu. Sarah mengingatkan saya dengan mantan menantu ratu yang terasing dari keluarga Kerajaan Inggris, Sarah Ferguson; Sarah 'Si Doel Anak Sekolahan', yang sampai episode terakhir tidak bisa lepas dari bayang-bayang Zaenab; Sarah Larson, peserta fear factor yang gagal menjinakkan George Clooney.

Kembali ke masalah dikalahkan hujan dan kemacetan arus lalu lintas. Mudah bagi saya untuk berkesimpulan bahwa di dalam hidup yang ibarat sekeping uang logam ini, semuanya memiliki dua sisi. Menang dan Kalah. Cerah dan Hujan. Lancar dan Macet. Victoria dan Sarah. Namun bagaimana apabila setiap uang logam itu dilempar, sisi yang saya pegang kerap kali berakhir di bawah? Bagaimana tetap ikhlas menerimanya? Sampai sejauh mana seseorang bisa berharap pada perubahan . . . nasib?

Ada yang salah ketika setiap lemparan keping uang logam selalu berakhir dengan tidak menguntungkan. Ada yang mesti diubah. Bisa macam-macam tergantung akar masalahnya. Mungkin pindah tempat melemparnya, mungkin juga mengganti pelempar koinnya. Bisa macam-macamlah.

Jumat, 05 Juni 2009

The Sea and Poison

Shusaku Endo adalah salah seorang penulis Jepang kesayangan saya. Bukunya yang sudah terbit di Indonesia adalah Silence. Trisno Sutanto, dalam resensinya di Harian Kompas, memuji Endo yang "... mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan." Jujur, saya sendiri belum pernah membaca Silence (1966). Sejak membelinya di toko buku bekas langganan beberapa waktu yang lalu, novel itu masih belum beranjak dari rak buku saya. Namun, saya sudah membaca dua karya Endo yang lain: When I Whiste (1974), yang sudah pernah saya buat resensi singkatnya; dan yang kali ini diresensi, The Sea and Poison (1958).


Dikisahkan seorang narator tidak bernama pindah ke Matsubara Barat, kawasan permukiman di pinggiran kota Tokyo. Sama seperti Endo, (Atau malah naratornya adalah Endo sendiri?) si narator memiliki penyakit paru-paru yang mengharuskannya rutin menjalani terapi khusus. Untuk keperluan terapi itulah, si narator bertemu dengan seorang dokter lokal misterius. Tidak lama kemudian, ketahuanlah kalau si dokter pernah terlibat dalam eksperimen medis ilegal yang menggunakan tawanan perang AS. Cerita lantas mundur ke belakang pada kehidupan orang-orang yang terlibat dalam eksperimen medis tersebut.

Dalam The Sea and Poison, Endo menggunakan narasi sudut pandang orang pertama yang betul-betul efektif. Ia tidak banyak menghabiskan waktu untuk mendeskripsikan detail, karena narasi yang digunakannya memungkinkan Endo untuk melompat dari satu highlight ke highlight lainnya. Endo seperti memberikan suatu gambaran dalam bentuk titik-titik di mana akhirnya pembaca sendiri yang menyambungkan titik-titik tersebut.

Tidak hanya itu, novel ini semakin bertambah istimewa dengan kegamblangan Shusaku Endo menuturkan kekejaman Jepang pada masa Perang Dunia II. Masih ingat kasus buku pelajaran yang tidak mencantumkan perbudakan seks? Tidak semua orang Jepang mengakui kekejamannya selama Perang Dunia. Namun itu tidak berarti Endo mengambil posisi sebagai hakim yang sedang mengadili karakter-karakternya. Dengan sabar, ia menyoroti latar belakang dan perdebatan-perdebatan moral yang berkecamuk dalam diri masing-masing karakter. Ia seperti mendengarkan karakter-karakternya, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menentukan kesimpulan.

Berdasarkan artikel Caryl Phillips di Guardian, Shusaku Endo terlahir di Tokyo pada tahun 1923. Menghabiskan masa kecil di Manchuria, perpisahan kedua orang tuanya membuat Endo dan ibunya kembali ke Jepang dan tinggal di rumah seorang bibi yang meyakinkan si ibu agar memeluk agama Katolik. Tidak lama setelahnya, ibu Endo membujuk anaknya agar mau dibaptis dan Endo mendapati bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok minoritas Katolik di Jepang. Hubungan Endo dan agamanya sendiri tidak terlalu mudah. Komitmennya yang rendah dalam menjalankan ajaran Katolik membuatnya menanggung rasa berdosa, dan Endo pun merasa telah mengecewakan ibunya. Setelah lulus dari jurusan Sastra Perancis Universitas Keio, Endo melanjutkan pendidikannya di Universitas Lyon di Perancis. Ke depannya ternyata ia sakit-sakitan, dan sempat 'tinggal' di rumah sakit selama tiga tahun! Alhasil tokoh dokter dan latar rumah sakit sering muncul dalam karya-karya Endo. Ia tutup usia pada tahun 1996.


Bagi pembaca yang terbiasa dengan Jepang yang futuristik dan surealis, mungkin tidak menemukannya dalam karya Shusaku Endo. Ceritanya sendiri ditulis pada era di mana semuanya lebih sederhana. Walaupun demikian, kondisi psikologi manusia Jepang setelah masa Perang Dunia tidak bisa dibilang sederhana. Hal inilah yang ditangkap Endo dengan sensitifnya sehingga ada kengerian tersendiri ketika membaca The Sea and Poison.

(Kerangka resensi ini dibuat sambil duduk-duduk basah kuyup di depan jendela kaca besar Reading Lights Bookshop & Coffee Corner. Eh, gosipnya Silence sedang difilmkan oleh Martin Scorcese, lho.)

Rabu, 03 Juni 2009

Buku Bekas Berbahasa Inggris

Kemarin saya memeriksa obral buku yang diadakan di Baca-Baca Bookmart di Sasana Budaya Ganesha. Setelah selama kurang lebih satu jam melihat-lihat, saya mendapati tidak ada sedikitpun keinginan untuk membeli sebuah buku pun. Memang buku-buku yang diobral adalah buku-buku terbitan KPG yang kualitasnya tidak usah diragukan lagi. Namun, namanya juga buku obral, judul-judul yang ditawarkan agak kurang menarik. Misalnya Anna Karenina-nya Leo Tolstoy yang harganya dibanting sampai sepuluh ribu rupiah. Bukannya tidak menghargai karya-karya klasik, tetapi *aduh* bukannya lebih baik membeli buku bekas terjemahan Bahasa Inggrisnya yang dapat ditemukan di mana-mana?

Belakangan saya lebih rela membelanjakan uang demi buku-buku bekas berbahasa Inggris daripada buku-buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Alasannya:

1) Tidak perlu merisaukan bagaimana kualitas terjemahan. Ada beberapa buku yang terjemahannya saya sukai, seperti The Kite Runner dan Middlesex oleh Berliani Nugrahani dan serial Lemony Snicket's yang belakangan diterjemahkan Donna Angela. (Konon terjemahan The Catcher in the Rye juga bagus, ada yang pernah baca versi Bahasa Indonesianya?) Namun banyak juga buku yang terjemahannya mengecewakan, seperti Misteri Soliter-nya Jostein Gaarder dan Gempa Waktu-nya Kurt Vonnegut di mana umpatan 'piece of shit' diterjemahkan menjadi 'seperiuk tai'.

2) Proses penerjemahan sebuah buku memakan waktu lama. Penerbit biasanya hanya menerjemahkan buku-buku yang klasik dan atau sudah terbukti laris manis di pasaran internasional. Kecuali penulisnya sudah memiliki nama dan serialnya terbukti meledak di Indonesia. (J.K. Rowling dan Harry Potter.) Alhasil buku yang diterjemahkan biasanya kurang lengkap dan up to date. Contoh: sejak pertama kali diterbitkan buku pertamanya pada tahun 2003, sampai sekarang serial Lemony Snicket's berbahasa Indonesia belum rampung juga. Padahal di luaran sana, serial ini sudah berakhir dengan buku ketigabelasnya yang terbit pada tahun 2006! Sementara itu buku bekasnya banyak bergelimpangan di english used bookstores terdekat. Saya jadi bertanya-tanya, seberapa sulit sih proses yang dilalui penerbit lokal untuk membeli hak penerjemahan buku-buku berbahasa asing?

3) Kadang-kadang desain cover buku terjemahan agak-agak mengecewakan. Mungkin penerbit harus membayar lebih untuk bisa menerbitkan buku dengan tetap menggunakan desain cover terbitan aslinya. Untuk menghemat biaya, penerbit lantas menggunakan desainer yang mungkin belum bisa menerjemahkan substansi buku ke dalam ilustrasi cover. Saya bahkan pernah melihat buku yang covernya meng-copy and paste foto Celine dan Jesse dari film Before Sunrise, entah itu buku terjemahan atau bukan. Entah itu melanggar hak cipta atau tidak. Contoh transformasi desain cover yang bikin gregetan:



4) Kualitas kertas buku-buku bekas berbahasa Inggris seringkali malah lebih bagus daripada buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Untuk menghemat biaya produksi, acap kali penerbit menggunakan kertas buram. Padahal *aduh* sama sekali tidak enak membaca karya-karya klasik lewat kertas buram. Kalau bukan buram, maka kertas yang digunakan adalah kertas putih yang kelewat tipis.

5) Jalan-jalan di toko buku bekas berbahasa Inggris itu lumayan menyenangkan. Saya tidak pernah tahu buku apa yang nantinya akan ditemukan dan dibawa pulang. Tujuh puluh persen koleksi Alexander McCall Smith saya didapatkan dari belanja di toko buku bekas. Itu pun seri yang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Dan yang terpenting, harga buku bekas biasanya lebih murah daripada harga buku baru.

6) Membaca buku-buku berbahasa Inggris sedikit banyak memperlancar saya menggunakan bahasa tersebut dan menambah perbendaharaan kata.

Sebetulnya saya merasa tindakan saya ini tidak suportif terhadap usaha penerjemahan karya-karya klasik ke dalam Bahasa Indonesia. Tindakan saya juga tidak menunjukkan dukungan pada toko buku-toko buku independen yang jualannya kebanyakan buku-buku baru berbahasa Indonesia, buku-buku terjemahan baru berbahasa Indonesia. Namun selama kualitas penerjemahan lokal mengecewakan, rasanya semakin malas saja membeli buku-buku terjemahan berbahasa Indonesia.

Senin, 25 Mei 2009

Kenek Colt antara Pahlawan-Ujungberung

Jum'at kemarin motor saya mogok. Alhasil saya mesti menggunakan angkutan kota untuk ke kampus, mengikuti ujian Komunikasi Internasional. Perjalanan pulangnya bermasalah. Uang yang dimiliki hanya bisa membawa saya dari Jalan Siliwangi sampai Jalan Pahlawan. Bila ingin mencapai rumah di Ujungberung, saya bisa memilih hitchhiking atau berjalan kaki. Pilihan saya pun jatuh pada berjalan kaki.

Berjalan kaki dari Jalan Pahlawan sampai Ujungberung bisa dibilang cukup jauh. Total ada tiga pom bensin, tiga lampu merah, dua Dunkin Donuts, dan lima sekolah menengah pertama yang saya lewati. Saya baru merasakan efek hilangnya pohon-pohon yang sempat merimbuni Jalan P. H. Mustofa yang ditebang untuk pelebaran jalan. Matahari bersinar begitu terik tanpa ada lebatnya dedaunan yang menaungi pejalan kaki. Saya jadi teringat filmnya Gus Van Sant, Matt Damon, dan Casey Affleck yang berjudul Gerry. Film ini bercerita tentang dua sahabat bernama sama (Gerry) yang tersesat dalam gurun ketika sedang hiking. Dalam level berbeda, kami bertiga sama-sama merasakan buasnya matahari.

Setengah perjalanan relatif dilalui tanpa gangguan. Sedikit banyak saya tenggelam dalam musik yang didengarkan (Album Phoenix terbaru, Wolfgang Amadeus Phoenix, yay!). Sementara kaki melangkah, pikiran saya melayang ke mana-mana. Sampai seorang kenek Colt jurusan Bandung-Garut muncul di Cicaheum dan kembali membawanya berpijak ke tanah.

Tubuh kenek itu tidak terlalu tinggi. Kulitnya cukup terang dan logat bicaranya tidak kasar. Ia menanyakan tujuan saya ke mana: Garut? Tasik? Saya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Namun ia bersikukuh mengikuti langkah saya dan mengajukan pertanyaan follow up, "Terus mau ke mana?"

"Ujungberung," jawab saya, tersenyum. Mengetahui hal itu ia kembali menawarkan saya naik Colt-nya. Saya menggeleng karena tidak punya uang. Ia tidak percaya. Saya berusaha meyakinkannya, dan akhirnya meninggalkan si kenek Colt masih dalam keadaan tidak percaya.

Kembali berjalan di trotoar, beberapa puluh meter kemudian saya kembali melihat kenek Colt itu sedang meluncur di jalan bersama Colt-nya, sekali lagi ia menawarkan saya untuk naik ke mobil. Saya menggeleng dan mengatakan tidak punya uang, kali ini ia tampak mulai percaya. Saya kira inilah akhir dari interaksi antara kami. Namun, sekitar sepuluh meter kemudian mobil Colt itu menepi. Tanpa terduga si kenek turun, menghadap pohon, membuka ritsleting, dan ia pun pipis di pinggir jalan.

Saya menceritakan pengalaman ini kepada teman-teman di writers' circle. Mereka semua terbahak. "Itu sarkasme," ujar seorang teman sembari tergelak. Awalnya saya juga berpikir kalau saya begitu dilecehkan, "Apaan sih kenek ini? Saya kan pasti lewat jalan itu!" Namun kemudian saya merasa kenek itu tidak punya maksud melecehkan, apalagi sarkastis. Ia tidak mengencingi trotoar yang akan saya lewati. Yang dikencinginya hanya batang pohon yang tumbuh di dekat trotoar, dengan posisi yang memungkinkan saya untuk melihat batang penisnya (yang tidak saya lihat karena begitu malu sampai menundukkan kepala dalam-dalam). Sekarang baru terpikir, bagaimana kalau dia ternyata menyukai saya?

Bagaimana kalau dia mengalami love at the first sight? Dan semua perilakunya, mulai dari mengajukan pertanyaan follow up, gigih menggiring saya menaiki Colt, sampai pipis di depan saya, semuanya didasarkan pada rasa sukanya kepada saya? Ia ingin menarik perhatian saya tetapi tidak tahu caranya. Bagaimana kalau dia mengalami konflik kepentingan? Di satu sisi si kenek ingin memberi saya tumpangan gratis, tetapi di sisi lain ia berhadapan dengan pengemudi Colt yang ingin supaya semua penumpangnya membayar ongkos. Bagaimana kalau si kenek ini adalah the one? My so-called soulmate. Kami ditakdirkan hidup bersama seandainya saja pertemuan pertama itu betul-betul dimanfaatkan. Kesempatan yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.

Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau kami berkesempatan bertemu pada suasana yang sangat berbeda? Mungkin ketika saya duduk-duduk dan membaca di taman depan Gasibu, sementara ia sedang jogging. Kami juga bisa bertemu di depan Indomaret ketika sama-sama sedang menunggu hujan reda. Atau malah, ketika saya sedang menunggu motor selesai di-service di bengkel?

Perjumpaan saya dan kenek Colt berlangsung begitu singkat. Minimnya interaksi membuat saya melakukan idealisasi-idealisasi. Mungkin saya akan mengenangnya dalam waktu yang lama.

Selasa, 19 Mei 2009

Cerita Cinta Canggung

Sekitar dua minggu yang lalu, seorang teman merekomendasikan saya buku kumpulan cerpen berjudul No One Belongs Here More Than You karya Miranda July. Sementara itu kurang lebih sebulan sebelumnya, saya menonton film Skotlandia berjudul Hallam Foe. Ada benang merah yang menghubungkan keduanya (selain warna kuning pada poster film dan sampul buku), yaitu baik No One Belongs Here More Than You maupun Hallam Foe sama-sama menuturkan cerita cinta canggung.



Pertama-tama mari berkenalan dengan Miranda July Ia adalah seniman pertunjukan, musisi, aktris, penulis, dan sutradara film. (Langsing dan cukup cantik pula.) Keduanya orangtuanya merupakan penulis asli California yang memiliki sebuah penerbitan kecil. Saya pertama kali bersentuhan dengan karyanya melalui Me and You and Everyone We Know, film yang sukses memenangkan penghargaan di Festival Film Cannes dan Sundance. Kualitasnya yang paling menyentuh saya adalah bagaimana film tersebut mengangkat seksualitas dengan cara yang sensitif dan tidak berkesan vulgar, tetapi malah uplifting.

Miranda July

Berangkat dari sana, membaca No One Belongs Here More Than You seperti menikmati kelanjutan Me and You and Everyone We Know di mana tema besarnya belum terlampau begitu jauh: perjuangan seseorang keluar dari keterisolasiannya melalui pencarian cinta. Perjuangan seorang wanita dalam mengajarkan para lansia berenang di dapur rumahnya, pedofilia yang ditaksir homo, sampai sepasang suami istri yang mengetahui bahwa menjadi figuran film merupakan level selanjutnya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Kecanggungan dan imajinasi (karakter-karakter) Miranda July, seolah membangun realitas baru di mana hal-hal yang tampak tragis pun menjadi manis. Namun, itu tidak mengurangi realitas dalam karyanya. Salah satu bagian yang saya suka:

I'll tell you about Vincent. He is an example of a New Man. You might have read the article about the New Men in True magazine last month. New Men are more in touch with their feelings than even women are, and New Men cry. New Men want to have children, they long to give birth, so sometimes when they are crying it is because they can't; there is nowhere for a baby to come out of. New Men just give and give and give
.

Disambung dengan ini:

And it struck me that maybe True magazine had been wrong. Maybe there are no New Men. Maybe there are only the living and the dead, and all those who are living deserve each other and are equal to each other.

Saya setuju dengan Josh Lacey, peresensi dari The Guardian, yang menyatakan bahwa kelemahan buku berisi 16 cerita pendek ini adalah kurangnya variasi dalam suara narasi yang semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama. Semuanya ya suara Miranda July dengan segala keterbataannya. Ini tidak masalah apabila yang ditulis adalah cerita panjang. Saking kesengsemnya dengan karya Miranda July, Josh berharap suatu saat nanti perempuan serba bisa itu masih menyempatkan diri menulis novel.

Sekarang berpindah ke Hallam Foe. Tokoh utama dari film ini adalah seorang remaja laki-laki yang menanggung beban psikologis akibat kematian ibunya yang tidak wajar. Namanya Hallam Foe (diperankan Jamie Bell, yang juga bermain di film Billy Elliott). Hallam lantas tumbuh menjadi remaja penyendiri yang meluangkan waktunya di rumah pohon sambil mengintip perilaku orang-orang, sampai suatu hari karena satu dan lain hal ia mesti meninggalkan lingkungan rumahnya. Hallam pun hijrah ke Edinburgh.

Jamie Bell sebagai Hallam Foe

Sebagai penggemar serial The Sunday Philosophy Club-nya Alexander McCall Smith, saya sudah lama penasaran dengan kota Edinburgh. McCall Smith memang menggambarkan Edinburgh merupakan kota di mana warganya saling mengenal satu sama lain, meskipun begitu dalam film ini kota itu juga divisualisasikan sebagai kota lumayan besar yang memiliki temponya sendiri. Ada energi yang menyusup keluar di antara bangunan-bangunan tua bergaya gothic itu.

Di Edinburgh, Hallam akhirnya terlibat hubungan cinta dengan seorang wanita yang mirip dengan ibunya (diperankan Sophia Myles, bermain juga dalam Art School Confidential). Di sinilah kecanggungan/ke-kinky-an film ini dimulai. Sophia Myles rupanya tidak kalah anehnya dari si Hallam. Kombinasi keduanya menjadikan film ini lucu dan enak ditonton. Sekalipun ada adegan seksual frontal. Pada akhirnya, jalan yang harus ditempuh Hallam berujung pada penerimaannya atas kematian ibunya. Saya betul-betul menyukai film ini.

Tentang cerita cinta yang canggung; punya nggak sih ingatan tentang pengalaman cinta-cintaan yang membuat wajah memerah begitu ingatan itu muncul lagi secara random? Saya punya banyak, dan tidak akan dibahas di sini. Percayalah, baru menulis ini saja saya sudah merasakan hawa panas menguar dari pipi saya.

Senin, 11 Mei 2009

Desi Memang Layak Disiram

Yay! Minggu ini saya mulai menghadapi UAS! Hore! Kadang-kadang ada baiknya juga apabila hal-hal buruk ditanggapi dengan antusiasme. Apalagi menulis blog paling terasa nikmat kalau ada take home exam yang sedang menunggu buat dikerjakan.

Jadi beberapa hari yang lalu saya dan Ina mengunjungi pameran drawing tunggal Anne Nurfarina di Titik Oranje, sebuah galeri seni di Bandung yang kebetulan juga merupakan rumah Nia.

Ketika melangkahkan kaki ke dalam, saya merasa seperti dipeluk agak terlalu erat. Sketsa-sketsa Anne dengan warna-warni minimal tampak menggebyar tergantung memenuhi dinding ruang galeri yang berukuran sedang. Sketsa-sketsa tersebut bertajuk Pour Daisy. Menurut leaflet yang tersedia, koleksi yang diproduksi pada tahun 2009 ini terinspirasi pengalaman personal Anne sebagai seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Pour Daisy merupakan kumpulan sketsa yang muncul setelah senimannya sempat lama tidak berkarya. Berkat dukungan dari orang-orang terdekat, akhirnya dosen seni rupa Universitas Pasundan ini pun turun gunung dan menunjukkan refleksi kehidupannya melalui karya-karyanya.


Pour Daisy, Siram Desi. Desi adalah nama bunga yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris dægeseage, yang artinya day's eye. Kalau diterjemahkan secara harafiah day's eye adalah mata hari. Namun, Bunga Desi bukan Bunga Matahari. Desi semacam rival Matahari di sekolah. Sebagai dua siswi yang sama-sama segar, elegan, dan penuh gairah, mereka tentu menghormati satu sama lain. Namun mereka jarang hang out karena masing-masing berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi yang berbeda.

Setelah cukup lama melihat-lihat, saya dan teman-teman lantas berdiskusi. Kami mencoba mengungkap makna dari sketsa-sketsa Anne. Mencoba memahami bersama-sama setiap cerita dari masing-masing sketsa.



Inilah tiga lukisan yang pertama kali mencuri perhatian saya. Mereka semua ditempatkan di sisi dinding yang sama. Sayang, kemarin saya tidak terpikirkan mengambil foto ketiganya dalam sebuah frame. Ibu adalah bunga bermaskara yang tampak mesra berinteraksi dengan bayi melalui daun-daunnya. Ada dinamika menarik ketika perempuan menjalani kehidupannya sebagai seorang ibu.

Nia mengutarakan pendapatnya bahwa sementara sketsa paling kiri merupakan gambaran bayi ketika di dalam kandungan, maka sketsa paling kanan adalah ibu yang sedang menyusui. Lalu sketsa di bawahnya memiliki arti ibu yang sedang melahirkan anaknya. Secara tersirat saya menangkap koleksi Pour Daisy ini bagaikan seorang ibu yang menyenggol pelan anggota-anggota keluarganya dan berbisik, "Hei, sayangi ibu, ya? Ibu tidak ingin mengatakannya keras-keras, tetapi ibu perlu disiram kasih dan disinari perhatian kalian." Namanya bunga pada akhirnya pasti akan layu, tetapi berkat sekuntum bunga itulah bermunculan bunga-bunga yang lain.



Dua sketsa ini mengundang diskusi yang menarik. Pada awalnya Nia tidak suka dengan arsiran keduanya yang lebih tipis apabila dibandingkan dengan sketsa-sketsa yang lain. Namun, setelah diteliti lagi kami semua tertarik dengan simbol-simbol yang ditawarkan pada kedua sketsa ini. Pada sketsa pertama bunga bisa dianggap sebagai alat kelamin perempuan, sementara burung bisa dianggap sebagai alat kelamin laki-laki. Pertemuan antara bunga dan burung memunculkan sosok bayi. Sketsa ini mengingatkan saya pada mitologi dari Jepang, di mana bayi diantarkan kepada orang tuanya melalui jasa kurir burung bangau.

Sketsa kedua merupakan favorit Ina. Ia menyukai posisi tidur bayi di atas daun talas dan bagaimana tangkai daun talas seperti tali pusar yang menghubungkan antara si ibu dengan bayi. Ketika bayi lahir tali pusarnya dipotong, tetapi sampai manusia mati bekasnya tidak akan pernah hilang.

Sebetulnya selain koleksi Pour Daisy dipertunjukkan juga karya Anne lain yang (menurut leaflet) menggunakan teknik cukil kayu dan linograph. Koleksi yang terinspirasi legenda kesundaan (Shana dan Nala, serta Nini Anteh) ini sebetulnya tidak kalah menarik. Hanya saja, perhatian saya dan teman-teman kemarin sepenuhnya tercurah untuk koleksi Pour Daisy. Walaupun demikian ketika di rumah dan melihat foto-foto, saya mendapati mata saya tidak mau lepas dari sebuah karya yang terinspirasi cerita Nini Anteh.


Pameran drawing tunggal Anne Nurfarina ini masih dibuka sampai tanggal 16 Mei. Apabila tertarik, silakan berkunjung ke Titik Oranje di Jalan Taman Pramuka, dua rumah di sebelah kanan Restoran Padang Sari Bundo.

Rabu, 29 April 2009

Reader's Block

Entah mengapa saya merasa buku 2 in 1-nya Muriel Spark, Aiding and Abetting & The Go-Away Bird, tidak bakalan habis sebagaimanapun usaha saya membacanya. Buku setebal 180 halaman ini selalu saya baca ketika menunggu kuliah dimulai, di sela-sela kuliah semi-membosankan, sesaat menjelang tidur, sambil makan pizza tipis di Zoe, sebelum pertemuan writers' circle di Reading Lights. Sialnya sampai hari ini pembatas buku masih terselip di antara halaman 140 dan 141. Saya mulai frustrasi.

Iseng-iseng, waktu kuliah Global Issues tadi siang saya membuat daftar alasan mengapa sulit sekali menamatkan sebuah buku. Intinya, hal ini terjadi apabila:
1. Secara teknis buku tersebut memiliki banyak: salah ketik, salah eja, salah tanda baca, atau halaman yang rusak.
2. Tidak cocok dengan gaya menulis si penulisnya. Saya kurang suka dengan buku yang pemilihan katanya mendayu-dayu/ribet, serta menggunakan seksualitas dan kekerasan sebagai sensasi.
3. Secara fisik buku itu: terlalu tebal, hurufnya terlalu kecil, spasinya terlalu dekat, kertasnya terlalu putih dan memantulkan cahaya, atau kertasnya terlalu kuning.
4. Sedang lebih memilih nonton film, internetan, dan menulis.
5. Topiknya tidak terlalu disuka. Tentang Hubungan Internasional, misalnya.
6. Baik karakter dalam tulisan maupun pengarangnya bersikap terlalu politically correct tanpa memberikan alasan jelas mengapa mereka seperti itu. Sulit mengidentifikasikan diri dengan mereka.
7. Sedang ada kejadian dalam hidup yang lebih menarik daripada jalan cerita di buku.
8. Tidak memiliki teman untuk mendiskusikan buku yang sedang dibaca.
9. Buku yang sedang dibaca gaya penulisannya berubah 180 derajat dari buku yang sebelumnya dibaca. Ini yang menimpa saya sekarang, di mana sebelumnya saya membaca novel karya Haruki Murakami yang deskripsinya kaya sementara Muriel Spark deskripsinya lebih simpel dan komikal.
10. Ada dua sisi yang dimiliki kegiatan membaca buku. Pertama, membaca bisa mendorong kita untuk lebih terlibat dalam kehidupan kita. Namun, membaca juga dapat dijadikan pelarian atas masalah yang sedang dialami. Apabila membaca terus-menerus dijadikan pelarian, lama-lama buku yang dibaca hanya akan menjadi dekorasi mati yang tidak memberikan manfaat apapun bagi kehidupan. Semakin sulit untuk menanggapi bacaan dengan serius.
11. Ada banyak buku yang mengantri untuk dibaca sehingga sulit menentukan akan memulai membaca dari mana. Muncul rasa gampang menyerah, di mana apabila tidak cocok dengan satu buku maka akan segera pindah ke buku yang lain. Memiliki, memegang, dan membaca sebuah buku bukan lagi merupakan hal istimewa sehingga dilakukan setengah-setengah.

Saya jadi teringat cerpen/resensi yang ditulis setelah menyelesaikan membaca Kafka on the Shore. Idealnya begitulah yang saya harapkan setelah menamatkan sebuah buku: ada pesan yang didapatkan dari buku, ada diskusi dengan orang yang disuka, dan ada nasi goreng hangat.

Jumat, 24 April 2009

Pameran Foto dari Jerman

Kakak saya sedang gandrung-gandrungnya dengan fotografi. Dua hari yang lalu, ia mengajukan pertanyaan, "Dek, kamu pernah ke Galeri Sumardja?"

"Pernah," jawab saya. "Waktu mau lihat pameran ilustrasi cerpen Kompas. Mas mau ke sana?"

Kakak saya mengangguk. "Ada pameran foto karya orang Jerman. Parkirnya di mana sih?"

Saya lantas menjelaskan tetek bengek lokasinya. Sehari setelah itu (kemarin) kakak saya itu memberi saran agar saya juga datang ke sana. "Pamerannya bagus, pengunjungnya sepi. Pameran foto ini kukasih nilai 7.5," ujarnya.

Saya mencibir, "Memang berapa banyak pameran foto yang pernah Mas datangi?"

"Dua," jawab kakak saya. "Yang satu nilainya 8, yang ini 7.5."

Berhubung tidak ada kerjaan, saya menurut. Kemarin siang, sehabis Jum'atan Galeri Sumardja pun saya kunjungi. Pameran ini dibuka tanggal 7 April dan berakhir 25 April, mungkin ini yang menyebabkan nyaris tiada seorang pun di dalam ruang galeri saat saya memasukinya. Hanya ada seorang pemuda dan wanita berkaus kaki panjang yang tengah mengobrol di ujung ruangan. Foto-foto beraneka macam dan ukuran berjajar di sepanjang dinding galeri. Saya mulai mengamati satu per satu.

Menurut leaflet yang bisa diambil di meja depan, pameran yang bertajuk ,,Berbagai Aspek Seni Fotografi Jerman Masa Kini'' ini menampilkan karya tiga orang seniman: Susanne Brugger, Thomas Demand, dan Heidi Specker. Tema "real space-picture space" memamerkan tiga metode kerja yang berbeda namun dengan isi yang sama, yaitu ruang umum (Saya kira, perlu ada kejelasan apa definisi dari ruang umum di sini).

Rangkaian foto yang pertama kali saya lihat adalah karya Thomas Demand. Foto-fotonya berwarna, dengan ukuran kira-kira setengah daun pintu. Objek-objek yang dipotret Demand mengingatkan saya dengan latar serial The Office: tumpukan kertas yang berserakan di atas meja kerja, asbak, mesin pembuat kopi, gelas-gelas kotor di pantry. Foto-fotonya warna-warni, terang, dan tajam. Namun, di dalam foto-foto tersebut tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Pernah ada manusia, tetapi tidak saat ini. Hal inilah menimbulkan perasaan terganggu. Foto Thomas Demand seperti lolipop merah berkilau yang kelihatannya manis, tetapi ketika dijilat tidak ada rasanya. Seperti kotak hadiah yang besar tetapi tidak ada isinya. Seram.

Salah satu karya Thomas Demand

Sekadar catatan, Demand pernah menampilkan karyanya di Museum of Modern Art (MoMA), New York. Salah satu 'kantor' yang pernah dipotretnya adalah Oval Office di Gedung Putih.

Lalu ada serangkaian jepretan Susanne Brugger yang lumayan bikin sesak napas. Fotonya hitam putih, ukurannya besar-besar (saya perlu mundur dua meter supaya bisa melihat sebuah foto secara utuh), dan objeknya adalah sebuah kota di Jerman dipotret dari udara.


Seperti yang bisa dilihat pada karya Brugger di atas, ada garis-garis hitam yang melintang yang bertujuan agar potret ini ada indeksnya. Sebuah ruangan yang besar dipetakan. Dibagi menjadi ruangan-ruangan yang lebih kecil sehingga ada proses identifikasi yang lebih sederhana ... atau malah lebih rumit? Bayangkan apabila kita sendiri memetak-metakkan 'ruangan personal' sendiri dengan tujuan agar hidup kita lebih sistematis. Di satu sisi mungkin kehidupan memang menjadi lebih terarah. Namun begitu kita kehilangan kendali terhadap sistem dan sistem yang dibuat sendiri beralih peran jadi mengendalikan hidup kita, kita menjadi semacam robot. Tentu ini hanya interpretasi saya saja.

Ngomong-ngomong, dalam karya Susanne Brugger juga tidak ada sosok manusia secara jelas. Mungkin karena foto-fotonya diambil dari jarak jauh. Objeknya jadi seperti kota kosong. Kalaupun ada sosok manusia, sosok itu hanya berupa siluet hitam yang agak kabur. Karya Brugger menjadi favorit saya pada pameran kali ini.

Terakhir rangkaian foto karya Heidi Specker. Fotonya berwarna. Ukurannya ditengah-tengah, tidak sebesar karya Brugger tetapi sedikit lebih besar dari karya Demand. Objek yang dipotret adalah profil gedung-gedung. Yang menarik, foto-foto Specker ini agak buram. Kata wanita berkaus kaki panjang yang tiba-tiba mengajak saya bicara, "Seperti foto yang dipotret dari kamera handphone, tetapi ukurannya diperbesar." (Melihat wajah saya, wanita itu berasumsi bahwa saya berasal dari Medan.)


Specker seperti banyak memotret jendela-jendela kaca gedung. Dalam pameran ini hanya ada satu foto jepretannya yang tidak berjendela. Keburaman dalam karya-karya Heidi Specker ini unik, di mana pada setiap foto-foto jendela gedung semakin ke pinggir jendela-jendela yang ada juga semakin kabur. Alhasil gedungnya jadi seperti tak berjendela. Bayangkan betapa sumpeknya gedung tinggi yang tidak berjendela.

Selesai satu putaran, sekali lagi saya mengamat-amati beberapa foto yang cukup menarik perhatian. Pameran ini betul-betul sepi, sedikit sekali ada tanda-tanda kehadiran manusia. Saya pun jadi merasa seperti ada dalam foto Thomas Demand (Dan setelah diteliti, ternyata dia juga suka memotret pameran-pameran fotonya sendiri dalam keadaan yang sangat sepi). Kekosongan ruang galeri dari kehadiran manusia, seperti mempertegas tema 'real space-picture space'. Baik ruangan dalam foto, maupun ruangan tempat foto dipajang sama-sama spacious.

Saya jadi ingin kembali lagi besok. Saat itu, saya berencana mengajak teman saya melihat-lihat foto yang ada di galeri ini. Namun ternyata teman yang saya ajak mempunyai agenda lain. Saya jadi bertanya-tanya apa saya akan kembali lagi besok.

Mungkin saya akan kembali lagi ke sana, mungkin sendirian lagi.