Senin, 28 September 2009

Sepucuk Surat Untuk Petugas Observatorium Bosscha

Bandung, 28 September 2009


Kepada Yth.,
Bapak/Ibu Petugas Observatorium Bosscha
FMIPA - ITB

Dengan hormat

Melalui surat ini, saya bermaksud mendaftarkan tempat untuk rombongan saya yang akan berkunjung ke Observatorium Bosscha pada hari Rabu, 30 September 2009, jam 5 sore. (Jika yang tersedia hanya sesi jam 3 sore juga tidak apa-apa.) Rombongan saya terdiri atas Andika (saya), Syarif, Nia, dan Dea. Sebagai orang Bandung yang belum pernah ke Boscha, kami berempat sangat antusias dalam menyaksikan sendiri kelima teleskop besar yang ada di sana.

Kami semua juga sangat menyesalkan bahwa saat ini kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Pertumbuhan vila, permukiman penduduk, dan area komersial memang harus dikendalikan sehingga tidak mengancam fungsi Observatorium Bosscha baik sebagai lembaga penelitian dan pengembangan ilmu astronomi, maupun sebagai Benda Cagar Budaya Nasional. Apalagi observatorium ini merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan astronomi di Indonesia.

Sekadar catatan, kami tidak bermaksud membuat kegiatan sendiri seperti pembagian rapor, foto sebelum-pernikahan, atau bahkan pembentukan agama baru selama kunjungan ke observatorium. Kami juga tidak berencana membawa serta hewan peliharaan masing-masing. (Dan kebetulan hewan peliharaan saya adalah ikan.)

Demikianlah surat ini, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kata-kata kurang berkenan yang menyinggung perasaan Bapak/Ibu.



Salam,




Andika Budiman

Kamis, 24 September 2009

Mudah-mudahan ...

...hujan 'kan membawa keteduhan.

Reportase: Serunya Adik-adik Nonton Layar Tancep

(Reportase KidsFfest on Tour Bandung untuk Rumah Buku, telah melewati pengeditan.)

“Adik-adik sudah ngumpul semuanya di sini?” tanya Kak Budi.
Sudaaah…!!!” pekik adik-adik pengunjung, nyaring dan serentak.
“Nggak ada yang ketinggalan di rumah, kan?”
Adaaa!!!” sahut seorang anak.
“Lho, siapa?”
Sayaaa…!!!”

* * *

Rabu petang (16/9), halaman belakang Rumah Buku/Kineruku, Jalan Hegarmanah 52 Bandung, diserbu sepasukan anak-anak kecil usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru Bandung dengan tujuan sama, yaitu menonton film anak yang diputar di acara Kineruku Layar Tancep, sebagai rangkaian kegiatan festival film anak-anak, KidsFfest on Tour 2009 Bandung. Derap langkah, riuh rendah, dan warna-warni pakaian anak-anak itu semakin menambah keunikan acara menonton layar tancap ini. Punggawa Rumah Buku/Kineruku, Ariani Darmawan dan Budi Warsito pun menempatkan diri sebagai Kak Rani dan Kak Budi. Lantas keduanya mengajak adik-adik pengunjung untuk menjaga kenyamanan menonton dengan tidak menginjak kabel, tidak buang sampah sembarangan, tidak berebut goody bag; pokoknya tidak berbuat yang tidak-tidak.

Sebagai pemanasan sebelum ... (Lanjutannya klik di sini)

Senin, 07 September 2009

Menjajal Birokrasi

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Begitu bunyi pepatah yang sering saya jumpai. Selama ini saya kira saya paham maksudnya, tetapi baru kemarin ini saya menyadari bahwa pengalaman hanya akan jadi guru yang paling baik jika saya mau belajar dari pengalaman itu. Kesadaran ini muncul dengan tak terduga dari peristiwa yang terkait dengan dompet.

Beberapa pekan lalu dompet saya hilang. Dompet itu antara lain berisikan uang, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK) motor, dan berbagai macam kartu berharga lainnya. Saat itu saya merasa kehilangan identitas. Mungkin hanya amnesia saja yang membedakan saya dengan Jason Bourne.

Putus asa mencari dompet, saya memutuskan untuk mengurus surat penting yang hilang. Berhubung si kakak juga rutin memakai motor, mengurus STNK menjadi prioritas utama saya. Demi menghemat biaya, saya bertekad tidak menggunakan jasa calo. Dan dimulailah petualangan saya menjajal birokrasi pengurusan surat-surat penting.

Setelah membaca tips mengurus STNK hilang dari sebuah blog (benar blog, bukan dari situs resmi kepolisian), saya mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengurusan STNK, yaitu: membuat surat laporan kehilangan di pos polisi terdekat, fotokopi kartu tanda penduduk, buku kepemilikan kendaraan bermotor, dan surat laporan kehilangan, membuat surat rekomendasi STNK di kantor Poltabes, membuat bukti fisik dan surat pernyataan pajak, menyerahkan semua surat-surat itu beserta biaya sebesar lima puluh ribu rupiah ke bagian duplikasi STNK di kantor Samsat, dan STNK baru bisa diambil seminggu kemudian.

Ketika melapor di pos polisi terdekat saya baru tahu bahwa di Bandung, kota tempat saya berdomisili, ada beberapa langkah lain yang tak tercantum dalam blog yang saya jadikan acuan. Selain langkah-langkah di atas, ternyata saya juga perlu memasang pengumuman kehilangan di koran, serta datang ke ke kantor Polda dan kantor Polantas. Entah apa keperluan saya di kantor Polda dan kantor Polantas, petugas polisi dari pos polisi tidak kooperatif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.

Dari pos polisi, saya langsung memasang pengumuman kehilangan pada harian Pikiran Rakyat hari Sabtu, di mana banyak orang membaca iklan baris. Malangnya, tak seorang pun yang menghubungi saya perihal dompet yang hilang itu. Saya pun kembali melanjutkan proses pengurusan STNK.

Pada hari Senin, berbekal surat persyaratan yang dibutuhkan, saya berangkat ke kantor Poltabes Bandung di jalan Merdeka. Sesampainya di sana saya bertanya pada seorang petugas letak bagian tilang dan rekomendasi STNK, di mana saya dapat mengurus surat. Tidak saya sangka, petugas itu mengatakan bahwa saya tidak perlu ke sana. Ia mengatakan surat rekomendasi STNK mestinya diurus di kantor Samsat.

Dari sana saya bergegas ke kantor Samsat di jalan Surapati. Di parkiran Samsat saya disambut oleh seorang pria yang baik hati mencarikan tempat parkir untuk motor saya. Awalnya saya kira ia tukang parkir, ternyata bukan. Begitu saya turun dari motor, pria itu langsung menawarkan jasanya sebagai calo.

Untuk kasus seperti saya, begitu kira-kira perkataan si calo, biayanya tiga ratus lima puluh ribu.

Mendengar jumlah itu batin saya langsung menolak. Apalagi saya sudah merasa di setengah perjalanan. Namun, ternyata mulut saya tak sepakat dengan si batin. Termakan oleh ‘kebaikan’ calo mencarikan parkir, alih-alih menolak tawaran, saya malah menanggapi, “Kalau dua ratus lima puluh ribu, bagaimana Pak?”

Saya lemas ketika calo itu dengan mudah menerima tawaran yang saya ajukan. Beruntung saya melupakan satu persyaratan penting: kartu tanda penduduk. Berhubung STNK itu atas nama kakak saya, maka kartu tanda penduduknya mutlak diperlukan untuk mengurus STNK baru. Saya terbebas dari bujukkan calo dengan alasan mesti meminjam kartu tanda penduduk milik kakak saya terlebih dahulu. Tidak tega melihat tampang kecewa calo, akhirnya saya menggunakan jasanya untuk cek fisik. Tidak apa, toh saya tak tahu nomor mesin mana yang mesti saya gosok.

Setelah meminjam kartu tanda penduduk dari kakak, saya kembali ke kantor Samsat. Di bagian tata usaha saya menyerahkan segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Lagi-lagi saya dibuat terkejut dengan jawaban petugas polisi bahwa persyaratan saya belum cukup. Saya mesti ke kantor Poltabes, Polda, dan Polantas. Begitu saya tanyakan surat apa lagi yang mesti dibuat, petugas polisi itu bersikap tidak kooperatif, jawabannya berkeliling ke sana kemari dan berujung pada penawaran ‘bantuan’ untuk mengurus STNK.

Kontan saya tolak tawaran itu. Saya bersikeras minta dibuatkan surat rekomendasi STNK. Akhirnya petugas polisi mengambil segala persyaratan yang sudah dipenuhi dan dengan dingin meminta saya duduk 'santai' di ruang tunggu.

Merasa tidak berdaya, saya menurut. Saya menunggu selama kurang lebih setengah jam. Saat-saat itu saya manfaatkan untuk berpikir mengenai bagaimana seorang licik memanfaatkan niat baik sesamanya, dan dengan tidak langsung mematikan niat baik sesamanya itu. Bahkan gaji kecil pun bukan dijadikan alasan untuk mengambil keuntungan dari orang lain.

“Aditya!” Polisi memanggil nama kakak saya yang tercantum pada kartu tanda penduduk.

Saya menghampiri polisi itu hanya untuk diberitahu surat rekomendasi tidak akan dibuat sampai persyaratan lengkap. Walaupun demikian, polisi tersebut masih bersedia ‘membantu’.

“Iklannya kan sudah ada. Biayanya jadi seratus tujuh puluh ribu,” rayu polisi itu. Lelah fisik dan mental, saya akhirnya menyanggupinya tanpa menawar lagi. Uang saya diterima tanpa tanda terima.

Pada hari Rabu saya kembali ke kantor Samsat, STNK sudah bisa saya ambil. Ada kelegaan karena urusan ini bisa cepat selesai meski begitu pengalaman ini menumbuhkan keengganan saya berurusan lagi dengan birokrasi. Untuk sementara saya lupakan dulu soal surat-surat lain yang hilang.

Rangkaian pengalaman birokrasi ini beberapa kali sukses mengejutkan saya. Saya dikejutkan sikap tak kooperatif polisi birokrat dan betapa tidak jelasnya proses pengurusan surat-surat penting. Seakan tak cukup, kejutan paling besar terjadi beberapa hari kemudian ketika saya menemukan kembali dompet yang hilang saat sedang merapikan lemari pakaian. Rupanya dompet itu bersembunyi di sudut lemari saya.

***

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya mengingat pepatah itu sambil tertawa dan menangis. Setidaknya pengalaman ini mengajari saya dua hal. Pertama, satu-satunya cara agar tidak repot mengurus STNK hilang adalah dengan tidak menghilangkannya. Kedua, kebodohan harus dibayar dengan harga mahal. Sangat mahal.

(Hasil workshop penulisan artikel dan feature bersama Farid Gaban, dibuat hampir dua tahun yang lalu.)