Minggu, 12 Desember 2010

Embusan Angin yang Menyisakan Duka

Selasa siang (30/11), sekitar jam satu, sekumpulan orang duduk dan bercengkrama di ruang audiovisual Museum KAA. Semuanya menanti program pemutaran film mingguan yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2010. Mulanya film-film yang diputar khusus menceritakan Afrika dan Asia saja, tetapi lambat laun temanya makin beragam dan berganti setiap bulannya. Bulan November, mengikuti Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal sepuluh, tema filmnya adalah kepahlawanan.

“Hari ini filmnya The Wind that Shakes the Barley,” ujar Tobing Jr., penggiat program ini, jelang dimulainya acara. “DVD-nya rilisan Jive Collection. Subtitle bahasa Indonesianya bagus.”

Lampu-lampu pun dimatikan. The Wind that Shakes the Barley (2006) bercerita tentang perang di Irlandia: perang merebut kemerdekaan dari Inggris (1919-1921), serta perang saudara yang terjadi setelahnya (1922-1923). Film ini dibuka dengan pemandangan pedesaan Irlandia yang asri dan tenang. Kalaupun ada kegaduhan, itu hanyalah keluarga dan teman-teman yang tengah melepas kepergian Damien (Cillian Murphy), seorang pemuda desa yang akan kuliah kedokteran di London. Tiba-tiba mereka terusik dengan kehadiran sekelompok Black and Tans (sebutan untuk tentara Inggris yang bertugas di Irlandia saat itu). Dengan beringas, para tentara itu menginterogasi penduduk yang tak bersenjata. Ketika Micheál Ó Súilleabháin menolak menyebut namanya dalam bahasa Inggris, tentara memukuli pemuda ini sampai mati. Ini merupakan kematian pertama dari sederet kematian yang ada di film ini.

Sementara cahaya berpendar dari televisi, kursi-kursi di ruang audiovisual perlahan terisi. Melalui dialog-dialog yang sarat dengan provokasi dan idealisme, The Wind that Shakes the Barley membawa penonton mengikuti pergerakan kaum radikal di Irlandia. Terbakar amarah akibat kekejaman Black and Tans, Damien urung ke London. Ia lantas bergabung dengan posko Irish Republican Army (IRA) setempat yang dipimpin oleh kakaknya, Teddy (Padraic Delaney). Mereka mulai membunuhi tentara Inggris secara gerilya. Tidak lama kemudian, IRA tidak hanya menumpas Black and Tans, tetapi juga orang-orangnya sendiri yang dianggap berkhianat. Damien bahkan mengekskusi sendiri teman sepermainannya, Chris Reilly, karena Chris membocorkan identitas anggota IRA.

Perlu dicatat: The Wind that Shakes the Barley bukanlah film tentang kehidupan dan kematian figur besar yang menjadi simbol perjuangan bagi para pengikutnya. Damien bukan tokoh utama dan Inggris juga bukan musuh utama. Setelah melalui perundingan dan perang yang memakan banyak korban, traktat perdamaian Inggris-Irlandia (Anglo-Irish Treaty) keluar pada tahun 1921. Perjanjian ini diantaranya menentukan bahwa Irlandia akan merdeka sebagai negara Persemakmuran Inggris, dan Irlandia Utara akan diberikan kepada rakyat Irlandia yang ingin tetap bersama Inggris (=diberikan kepada Inggris). Anglo-Irish Treaty memecah IRA.

Kakak-beradik Teddy dan Damien terpisah ke dalam dua kubu yang berseberangan. Menurut Teddy, traktat ini harus diterima karena merupakan tonggak perdamaian antara Inggris dan Irlandia. Meskipun tidak sempurna, tetapi kondisi itu bisa dibetulkan kelak ketika Irlandia sudah merdeka. Di sisi lain, Damien beranggapan mereka harus tetap berperang demi mendapatkan kemerdekaan penuh dan menjamin dikelolanya sumber-sumber ekonomi secara kolektif. (Ya, ia Marxist.) Bila perjuangan mereka berhenti sampai di situ, maka ribuan nyawa orang Irlandia terbuang sia-sia. Perang saudara pun pecah dan memakan lebih banyak korban lagi. Pada akhirnya kubu Teddy yang menang. Film ini berakhir dengan eksekusi Damien di bawah komando Teddy.

The Wind that Shakes the Barley disutradarai Ken Loach, sineas senior Inggris yang diganjar Palm d’Or dari Festival Film Internasional Cannes 2006 untuk filmnya ini. Ketika hendak dirilis di negaranya, film ini—diproduksi dengan menggunakan dana dari pemerintah Inggris—menuai banyak kontroversi karena dianggap pro-IRA. Beberapa kritikus bahkan menuding Loach membenci negaranya. Tidak memisahkan antara kepercayaan dengan proses berkaryanya, Ken Loach membuat film yang lebih sering dianggap sebagai propaganda daripada karya seni. Perihal propaganda ini mengemuka dalam diskusi yang digelar setelah pemutaran film selesai. Sekitar dua puluh orang tetap duduk di kursinya. Seorang penonton bernama Agus bertanya, “Apakah industri film menghasilkan propaganda?”

Tobing Jr. menjawab, “Beberapa film memang propaganda. Misalnya Top Gun, yang menunjukkan kerennya menjadi pilot pesawat tempur Amerika Serikat.” Lalu apakah The Wind that Shakes the Barley merupakan propaganda? Menurut Rizki, “Film propaganda membuat penonton melihat dari satu arah, tapi dalam film ini saya melihat ada dua sudut pandang, ada pergumulan-pergumulan di dalamnya.”

Sekilas karakter-karakter Loach, termasuk Damien, terlihat seperti potret kaum proletar yang berjuang melawan cengkraman pemodal dan pemerintah yang merupakan kepanjangan tangan pemodal. Misalnya, dalam Bread and Roses (2000) Adrien Brody memerankan aktivis buruh yang dikejar-kejar satpam ketika berkampanye kepada petugas cleaning service dari Meksiko. Atau dalam Looking for Eric (2009), di mana tokoh utamanya adalah pegawai kantor pos (kelas pekerja) yang melindungi anak-anaknya dari ancaman gangster setempat (kelas menengah). Namun, Ken Loach tidak serta-merta memenangkan mereka. Jalan cerita dalam filmnya seringkali mirip dengan kehidupan: karakter-karakter itu harus membayar demi mempertahankan idealisme mereka.

Pengunjung setia program pemutaran film ini, Pak Mahmud berpendapat, “Mungkin saya terbiasa dengan film Hollywood. Film ini jadi terasa panjang dan membosankan. Mungkin kepintaran Amerika Serikat adalah membuat film propaganda dalam kemasan yang menarik.” Gerry berkomentar, “Film ini bagus karena menunjukkan bahwa merebut kemerdekaan itu sulit, tapi, mengutip Bennedict Anderson, nation building juga sulit. Terjadi perebutan kekuasaan karena mereka belum menyatukan persepsi.” Ariz menyetujui, “Lebih susah waktu sudah merdeka.”

The Wind that Shakes the Barley, atau dalam bahasa Indonesia: Embusan Angin yang Menggoyangkan Jelai (padi-padian yang biji atau buahnya keras), judul film ini diambil dari lagu balada Irlandia yang ditulis Robert Dwyer Joyce (1836-1883). Lagu ini bercerita tentang seorang pemberontak muda yang mesti memutuskan hubungan dengan kekasihnya supaya bisa bergabung dengan kaum pemberontak. Ketika itu kaum pemberontak selalu membawa jelai untuk bekal makanan. Lagu ini melambangkan resistensi Irlandia terhadap Inggris. Berikut penggalan liriknya: I sat within a valley green/ I sat me with my true love/ My sad heart stroove to choose between/ The old love and the new love/ The old for her, the new that made me think of Ireland dearly.

Kembali ke diskusi, tema perang dalam The Wind that Shakes the Barley menarik perhatian Harry, “Ini film perang kesekian yang saya tonton, dan semakin banyak saya menonton film perang semakin saya membenci perang. Menurut saya perang bukan mencari menang, tapi mencari kalah. Pihak yang tertindas, ketika berkuasa pun akhirnya akan menindas.” Sedikit lain dengan Wulan yang menyatakan, “Nonton film ini saya melihat bahwa damai nggak bisa dicapai tanpa perang. Bahkan ketika damai pun setiap negara harus siap untuk berperang.”

Perjuangan mencapai kemerdekaan Irlandia diperoleh dengan jatuhnya korban. Di tengah-tengah cerita, penonton melihat bahwa perjuangan Damien dan Teddy tidak lagi hanya digerakkan idealisme, tetapi juga oleh dendam. Ujung-ujungnya, Damien mesti meninggal karena mempertahankan idealismenya. Apakah hasil dari perjuangan-perjuangan ini sepadan dengan harga yang mesti dibayar? Pertanyaan ini tetap membekas setelah film ini selesai.

Jumat, 15 Oktober 2010

Menonton Film-film Israel

Eyal dan Axel dari Walk on Water (sumber foto)

Sekitar bulan Juni, seorang teman dari komunitas menonton film menceritakan ruang audio visual perpustakaan di Jalan Jawa, Bandung. Katanya, suasana ruangan itu seperti bioskop: layarnya besar, kursinya berundak-undak, dan ada AC-nya. Ia berencana mengadakan acara yang mengundang banyak pengunjung di sana. “Ada masukan?” tanyanya. Saya pun mengusulkan agar kami mengadakan pemutaran film-film Israel.

Waktu itu media massa tengah gencar menyiarkan blokade Israel di Gaza. Kabar para relawan yang diracun intelijen Israel memancing kemarahan masyarakat. Sekali lagi sentimen negatif terhadap Yahudi merebak. Para khatib di mesjid berubah menjadi pakar konflik Timur Tengah. Sayangnya mereka masih berkutat soal teori konspirasi dan kebrutalan Israel terhadap Palestina. Pada pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid pernah muncul wacana Indonesia membuka hubungan diplomatis dengan Israel. Usulan ini serta-merta disambut demonstrasi oleh berbagai kelompok masyarakat. Siapakah sebetulnya Israel? Apa pembelaan negara ini untuk setiap agresinya? Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali sulit dijawab. Akan tetapi dengan menonton film-film Israel, saya pikir orang-orang bisa mulai mengenal negara tersebut.

Rabu, 06 Oktober 2010

Bercermin dalam Rumah Arwah

Dua minggu setelah pemutaran film dan diskusi buku The House of the Spirits (23/8), Bang Tobing meminta saya menulis liputannya. Saya pun mengiyakan walaupun belum terpikirkan cara untuk meliput acara yang berakhir kontroversial itu. Masih segar di ingatan saya bagaimana saat itu hampir seluruh hadirin dikejutkan oleh muatan seksual eksplisit dalam film. Konsekuensinya kegiatan MYCinema dibekukan selama waktu yang belum ditentukan. “Apa perlu peristiwa tidak menyenangkan itu dibahas?” tanya saya dalam hati. “Apalagi filmnya termasuk biasa saja.” Akhirnya saya putuskan untuk meminjam Rumah Arwah, edisi Indonesia The House of the Spirits kepunyaan seorang teman. Setelah seminggu membacanya, kepala saya lebih ringan. Saya mulai mendapat ide bagaimana tulisan ini akan dibuat.

***

The House of the Spirits merupakan novel karya Isabel Allende yang pertama kali terbit tahun 1982. Dengan latar Amerika Selatan, novel ini bercerita tentang kehidupan keluarga Trueba. Keluarga ini memiliki kekayaan, pengaruh politik, dan yang terpenting: segenap anggota keluarga yang eksentrik. Ada Esteban Trueba, seorang tuan tanah kejam yang justru menjamin setiap pekerjanya bisa hidup berkecukupan. Meskipun kerap memperkosa perempuan desa, Esteban sangat memuja istrinya, Clara Del Valle. Clara bukan perempuan biasa. Layaknya dukun, ia mampu membaca masa depan, berbicara dengan arwah, bahkan menggerakkan benda tanpa perlu menyentuhnya. Esteban dan Clara memiliki tiga orang anak: Blanca, Jaime, dan Nicolas. Semuanya dengan keanehannya masing-masing. Blanca sakit-sakitan lantaran sejak remaja terlalu sering pura-pura sakit demi bisa bertemu kekasihnya. Sementara itu, Jaime adalah dokter kaku yang menghabiskan seluruh waktunya untuk mengobati orang miskin. Di sisi lain adik kembarnya, Nicolas, adalah pemimpin aliran spiritual yang dibuatnya sendiri. The House of the Spirits menyoroti bagaimana keluarga Trueba menghadapi konflik domestik serta gejolak sosio-politik di negara tempat mereka tinggal.

Dekalog VII, Jangan Mencuri

Senin malam (9/8), seperti biasa beberapa orang muncul lebih awal di ruang A-B, GKI Maulana Yusup. Sementara seorang pengunjung asyik dengan laptopnya, beberapa lainnya terkagum-kagum oleh program Classical Baby: The Poetry Show yang kebetulan tengah ditayangkan. Ada juga yang tenggelam dalam lamunannya. Penggerak MYCinema, Tobing, berkeliling ruangan. Ia menyapa serta memastikan semua orang sudah mengambil gorengan dan minuman hangat. Dalam beberapa hal, kegiatan menonton film di MYCinema mirip bepergian dengan angkutan kota. Setelah naik, kadang-kadang penumpang mesti menunggu sejenak. Ketika mobil penuh, barulah perjalanan dimulai.

Malam itu, yang diputar adalah Dekalog VII. Konflik film yang bertolak dari Perintah Tuhan, “Jangan mencuri,” ini bersumber dari tiga perempuan dalam satu keluarga: Ewa (Anna Polony), Majka (Maja Barelkowska), dan Ania (Katarzyna Piwowarczyk). Majka baru berusia enam belas tahun ketika mengandung Ania, hasil hubungannya dengan Wojtek, guru sastranya. Kepala sekolah sekaligus ibunda Majka, Ewa, lantas mengklaim Ania sebagai anak kandungnya. Wanita tegas itu berargumen, ini dilakukan tak hanya untuk menghindari skandal, tetapi juga supaya Majka bisa melanjutkan pendidikannya. Akhirnya, Wojtek menyingkir dari kehidupan mereka bertiga. Ia pindah ke desa dan melepaskan impiannya untuk menjadi penulis.

Enam tahun kemudian, Ewa menjadi sangat protektif terhadap cucunya. Saking tak terpisahkannya mereka berdua, Ania bahkan memanggil neneknya dengan sebutan ‘Mama!’ Seperti Wojtek, Majka pun tersisihkan dari kehidupan anaknya. Setiap kali Ania menangis karena bermimpi buruk, segeralah Ewa merebut anak itu dari rangkulannya yang lebih dulu datang. “Minggir! Kamu tidak tahu bagaimana menenangkannya!” Begitu cara ibunya berseru. Kalau sudah begini, Majka hanya bisa berpaling ke ayahnya. Walaupun beliau tak banyak membantu, dan selalu disibukkan oleh pipa-pipa organ.

Sampai suatu hari Majka membawa lari Ania. Bagaimanapun anak perempuan itu mengenali Majka sebagai kakaknya. Ia tenang-tenang saja diculik, “Seperti di buku cerita!” seru Ania kegirangan. Di rumah, tentu saja Ewa kalang kabut. Ia tidak tahu Majka dan Ania mengunjungi Wojtek, yang sekarang menyambung hidup sebagai pembuat boneka beruang. Laki-laki itu tentu terkejut. Ini adalah pertama kalinya ia berjumpa dengan anaknya. Yang tak diketahuinya, kunjungan ini juga dimaksudkan sebagai pertemuan terakhir mereka sebelum Majka membawa Ania pergi ke Kanada.

Jika serial Dekalog diibaratkan sebagai mobil angkutan kota, barangkali para penumpangnya tak pernah merasa nyaman selama perjalanan. Sepanjang film, akan bermunculan perkembangan yang terus membuat hati was-was. Satu hal yang pasti, semuanya akan sampai pada pertanyaan-pertanyaan sulit. “Dalam Dekalog nggak ada kebetulan-kebetulan, atau dialog yang berlebihan,” ujar Tobing saat film selesai. “Semuanya sudah direncanakan dengan sangat detail.” Pada Dekalog VII bisa jadi yang menjadi pertanyaan: “Bisakah kita mengambil paksa apa yang memang menjadi milik kita?”

Dalam kesempatan ini, Pendeta Samuel dari GKI Taman Cibunut berperan sebagai pembahas film. Sebelum Pak Samuel membahas film ini, penonton diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan setengah jengkel, Yunita mengatakan, “Saya kira ini bakalan jadi Dekalog yang ceria. Di awal film kan ada pertunjukan teater anak-anaknya. Eh, ternyata sama saja.”

Sementara itu, Erwin menangkap suasana khas dekade 1980-an dari adegan-adegan film ini. Tentang temanya, “Menurut gua, Majka sangat egois,” ujar Erwin. “Gua pikir yang dimaksud ‘jangan mencuri; bukan mencuri anaknya, melainkan mencuri kenyamanan anaknya. Majka cuma memikirkan dirinya sendiri, berbeda dengan Wojtek yang betul-betul memikirkan masa depan Ania.” Pendapat tersebut disetujui oleh Candra dan Sius. Bagi Candra, “Majka sama seperti ibunya. Dua-duanya keras kepala.” Ia melanjutkan, “Mungkin masalah ini bakalan cepat selesai kalau mereka bisa lebih tenang seperti Wojtek atau Stefan, bapaknya Majka.” Sius menambahkan pertanyaan, “Kenapa sih neneknya bisa sampai bersikap seperti itu?”

Mendengar pendapat-pendapat yang menyudutkan Majka, tentu saja Soffa tidak tinggal diam, “Menurut saya, wajar saja jika Majka sampai menculik Ania. Apalagi di film ini diceritakan bahwa Ewa sempat menyusui Ania. Ini tentu menyakiti hati Majka. Menurut saya, Wojtek dan bapaknya Majka bukannya berpikiran tenang. Mereka cuma nggak mau ambil pusing dalam masalah ini. Wojtek nggak mau hidupnya direpotkan dengan hadirnya anak kecil.”

“Wojtek bukan nggak mau repot, tapi dia takut kehilangan,” sahut Candra. “Bagaimanapun, Majka adalah korban dalam film ini,” komentar Yunita. Rupanya Pak Samuel pun setuju. Ia berpendapat paling tidak ada lima hal yang membuat Majka menjadi korban, “Pertama-tama, masa kecilnya tidak bahagia.” Setelah melahirkan anak pertamanya, ternyata Ewa tidak bisa hamil lagi. Ini membuatnya selalu bersikap keras kepada Majka. “Ditambah lagi, ayahnya selalu sibuk dengan organ rusak.” Pak Samuel lalu melanjutkan, “Ketiga, Wojtek yang tidak bisa diandalkan. Keempat, Ania yang direbut darinya. Dan yang terakhir, Ania tidak mengakuinya sebagai ibu.”

Pak Samuel juga menjelaskan, di masa yang lalu (ancient time) perintah ‘Jangan Mencuri’ sebetulnya ditujukan untuk melarang praktek pencurian manusia—melarang penculikan dan perbudakan, di mana kehidupan seseorang dimanipulasi dengan sedemikian rupa sehingga kehidupannya tidak terasa seperti kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa Ewa juga mencuri identitas Majka sebagai ibu Ania.

Sebetulnya, Majka tak bisa membawa Ania ke luar negeri karena di mata hukum dia bukanlah ibunya. Oleh karena itu malam-malam buta Majka memberi Ewa ultimatum agar statusnya sebagai ibu kandung Ania diakui. Pada momen ini, jelas seluruh penonton mafhum bahwa Majka melakukannya karena merasa tak memiliki pilihan lain. Namun sempat-sempatnya Ewa bernegosiasi bahkan melancarkan serangan balik yang menciutkan hati Majka, “Tidak ada seorangpun yang akan bersaksi mendukungmu. Termasuk ayahmu.”

Di tempat lain, Wojtek merasakan jalinan kasih sayang (bond) antara Ania dengan dirinya. Padahal sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Ketika melihat paspor Majka, barulah ia menyadari kemungkinan bahwa ia tak akan melihat anaknya lagi. Situasi pun berbalik, Wojtek yang awalnya membantu Majka menutupi keberadaannya mulai membujuk perempuan itu supaya Ania tetap tinggal bersama kakek-neneknya. Merasa tidak didukung siapa-siapa lagi, Majka lantas meminta Ania memanggilnya ibu. Namun, upaya ini pun gagal. Meskipun dipinta berkali-kali, tetap saja anak itu memanggilnya, “Majka.”

Dini hari, Majka membawa Ania lari dari rumah Wojtek. Mereka sempat bersembunyi di hutan, di bawah jembatan, sebelum akhirnya pergi ke stasiun. Namun kereta belum juga datang. Keduanya pun bersembunyi di ruang penjualan tiket. Sementara itu, Wojtek menghubungi Ewa dan suaminya. Mereka bertiga lantas mencari Majka dan Ania. Sementara Wojtek mencari di hutan, orang tua Majka mencarinya di stasiun. Ewa bertanya kepada petugas penjualan tiket tentang anak dan cucunya. Petugas itu mengaku ia melihat mereka pergi beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, Ania yang mendengar suara neneknya kegirangan dan memanggil, “Mama!” Kereta pun datang. Majka yang merasa kalah total langsung naik ke atas kereta sendirian. Saat kereta mulai bergerak, Ania berlari mengejar Majka. Akhirnya mimpi buruk yang selama ini dialaminya menjadi kenyataan. Orang tua Majka hanya bisa memandang dengan sedih.

“Saya sudah bisa membayangkan luka Ania sewaktu dia besar nanti,” ujar Soffa menanggapi ending film yang tragis. Fadil, penonton lainnya, berpendapat: “Sebetulnya Ania punya perasaan terhadap Majka, tapi dia belum bisa membahasakannya.” “Kalau saja Majka lebih sabar,” Candra berangan-angan. Melihat film ini, Jesse mengomentari, “Film ini menunjukkan bagaimana satu pelanggaran terhadap sebuah Perintah Tuhan bisa merembet kepada pelanggaran perintah lainnya.” Ia melanjutkan dengan pertanyaan, “Apakah usaha Majka untuk merebut hidupnya kembali bisa dibenarkan? Kieslowski seperti ingin menjelaskan apa yang benar belum tentu baik.”

Ada banyak studi psikologi, sebagaimana segudang novel klasik, yang menunjukkan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan memiliki hubungan yang istimewa (baca: kompleks). Pada dasarnya setiap ibu tidak rela membiarkan anak perempuannya melakukan kesalahan yang sama seperti kesalahan yang pernah dilakukannya sendiri pada masa lampau. Untuk itu, tidak jarang para ibu melakukan campur tangan terhadap pilihan-pilihan hidup anak perempuannya. Mereka seperti memiliki ekspektasi yang harus dipenuhi anak perempuannya. Ekspektasi yang apabila gagal bisa menyulitkan interaksi antara keduanya. Teori ini bisa menjelaskan rumitnya hubungan Ewa dan Majka. Mungkin diam-diam Ewa menyalahkan Majka yang menyebabkannya tak bisa hamil lagi. Karena hanya memiliki seorang anak, harapan Ewa pun menjadi terlalu tinggi. Saat Majka tak dapat memenuhi harapan tersebut, sikap Ewa pun menjadi dingin. Ia lantas melihat Ania sebagai kesempatan kedua untuk membesarkan anak perempuan lain yang tak pernah dimilikinya.

Pak Samuel berkata, “Sebetulnya apabila kehidupan Ania berlangsung dengan normal, seperti biasa, lambat laun ia akan menyadari kehadiran Majka sebagai ibunya.” Namun jelas itu hanya terjadi jika Ewa dan Majka saling memaafkan dan bersepakat untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada Ania.

Rabu, 28 Juli 2010

Mendiskusikan Ulang Tahun, Merayakan Yesus di Hollywood

Senin petang sekitar pukul enam (19/7), kursi-kursi berjajar memenuhi ruang A di GKI Maulana Yusup. Para pengunjung mulai berdatangan. Seorang musisi mondar-mandir menanti rekannya yang belum kelihatan. Beberapa panitia berwajah serius sibuk memasang perangkat sound system. Di atas meja, berbagai buku dan poster siap untuk dibagikan. Di dalam kotak, kue cokelat menanti saatnya dipotong. Sebentar lagi, perayaan ulang tahun ke-7 MYCinema dan diskusi tentang Yesus di Hollywood bakalan dimulai.

Acara dibuka dengan asyik oleh trio musisi Diecky Indrapraja, Syarif Maulana, dan Satrio. Sementara Diecky dan Satrio memainkan keyboard yang tersambung dengan laptop, jemari Syarif memetik gitar elektrik. Kombinasi ketiganya menghasilkan bebunyian yang reflektif, menenggelamkan penonton dalam perasaan yang sulit diceritakan. Penasaran, host acara malam itu, Ujo menanyakan, “Alirannya apa, sih?” Sejenak berpikir, Diecky menjawab, “Aliran seni tak terkendali.” “Kalau nama band-nya?” Kali ini Dickie berpikir agak lama. “G-Spot Tornado Modern Ensamble,” jawab pemuda berambut keriting itu sembari cengar-cengir. Malam itu, G-Spot Tornado Modern Ensamble memainkan tiga nomor: Bayangan Udara, Trois Saudades, dan Diane, Maaf Aku Membencimu.

Selanjutnya Nadia dari tim MYCinema maju ke depan dan memperkenalkan komunitas ini kepada para hadirin. “Kita sering ditanyai orang-orang, ‘Kapan nih MYCinema bikin film?’ Sebetulnya MYCinema nggak punya rencana bakalan membuat film. Kita memang lebih berfokus pada movie review,” tuturnya. “Kenapa? Karena inilah yang kurang di Indonesia. Kita mengajak semakin banyak orang buat melihat dan mengapresiasi film, serta mengambil nilai-nilai di dalamnya.”

Pertanyaan yang juga kerap diajukan adalah: ‘Di gereja kok memutar film? Mengapa nggak ceramah saja?’ Menanggapinya, Nadia berkata, “Storytelling lewat film efektif sekali buat menawarkan nilai-nilai kepada penontonnya. Akses medianya juga mudah dan murah. Yang paling penting, impact-nya besar.”

Sejarah MYCinema dan Sinema Pada Umumnya
Mulanya kegiatan utama MYCinema adalah pemutaran film di gereja setiap Senin malam. Pertanyaan seperti ‘siapa yang membuat film?’, ‘mengapa film itu yang diputar?’, ‘bagusnya di mana?’, sampai ‘bagaimana menanggapinya?’, merupakan daftar pertanyaan yang selalu dilontarkan demi memunculkan diskusi. Setiap tiga bulan, tim MYCinema bekerja sama menulis, mencetak, dan menyebarkan bulletin kegiatannya ke seluruh penjuru Bandung. Harapannya semakin banyak lagi yang datang, menonton, dan ikut berdiskusi bersama.

Di tahun penyelengaraannya yang ketujuh, MYCinema pun melebarkan sayapnya. Dengan rutin komunitas ini memutar film di semakin banyak ruang publik: Perpustakaan Bale Pustaka, Museum Konferensi Asia-Afrika, hingga Museum Sri Baduga. Secara bergantian anggota tim MYCinema juga mengisi segmen Movie Talk 92.5 Maestro FM setiap Jumat ke-2 dan ke-4 dalam satu bulan. Untuk urusan doorprize, MYCinema didukung oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), Penerbit Kanisius, dan Jive Collection. Dalam kemeriahan perayaan ulang tahun, sang host mengajak segenap rekanan berpartisipasi dalam acara potong kue.

“’Kan Gramedia bergerak di bidang perbukuan, Pak,” kata Ujo kepada perwakilan Penerbit GPU, Arinto Nugroho. “Kok mau jadi sponsornya MYCinema?” Yang ditanyai tersenyum. “Buku kan dekat sekali dengan film,” jawab Pak Arinto. “Orang yang suka film, biasanya juga suka buku. Gus Dur, contohnya. Hobi beliau ya nonton film, baca buku, dan mendengarkan musik.”

Setelah mengucapkan terima kasih kepada para penonton setia, penggerak MYCinema, Tobing Jr., tak melupakan setiap anggota tim, “Terima kasih buat Vino yang mengurusi sound, Ujo yang berhubungan sama sponsor, Nadia yang mendesain bulletin, Soffa yang menulis bulletin, dan Angga yang sekarang di Jakarta.” Kue ulang tahun pun dipotong, Tobing menyerahkan potongan pertama kepada Yunita, “Pengunjung MYCinema yang selalu saya mintai tolong.”

Diskusi Yesus di Hollywood dimulai setelah hadirin makan malam. Ada dua narasumber dalam diskusi ini, Trisno S. Sutanto, dari Majelis Dialog Antar Agama (MADIA) Jakarta, dan Ronny P. Tjandra, managing director Jive Collection. Sementara itu, Tobing berperan sebagai moderator. “MYCinema memang sengaja mengundang dua narasumber,” katanya. “Pak Ronny membahas sejarah kemunculan Yesus dalam film-film Hollywood, dan Trisno akan membahas makna Yesus di Hollywood.”

Berhubung dikejar waktu, Pak Ronny memanfaatkan giliran bicara pertama, “Film merupakan media seni yang relatif baru. Umurnya baru sekitar seratus tahun.” Bandingkan dengan seni musik atau seni lukis yang usianya berabad-abad. “Meskipun begitu, media ini ternyata memiliki dampak yang sangat besar,” lanjutnya. “Efek visualnya bisa masuk sampai alam bawah sadar. Kita bakalan selalu ingat beberapa film yang kita saksikan bertahun-tahun yang lalu.”

Bapak berkuncir ini lalu bercerita tentang awal industri film, “Berhubung proses produksinya membutuhkan dana dan keterlibatan banyak orang, dahulu film bukan media ekspresi personal.” Semua pihak yang terlibat ikut pusing memikirkan bagaimana supaya filmnya menarik penonton sebanyak mungkin. Usaha mereka tak boleh sia-sia, modalnya mesti kembali. “Untuk itu, dapat dikatakan sebuah film memiliki nilai komersial tinggi.”

“Pada dekade 1930-an Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi. Dibuatlah film-film yang membuat penontonnya feel good,” jelas Pak Ronny. The Wizard of Oz (1939) yang diputar MYCinema dua minggu sebelumnya termasuk dalam film kategori ini. Pada masa tersebut juga mulai diperkenalkan film-film bersuara. “Akhirnya era ini mengawali The Golden Age of Hollywood, di mana sinema Amerika menjadi glamor dan punya reputasi global. Bintang yang jadi pujaan adalah aktris cilik, Shirley Temple. Film-filmnya selalu jadi box office hit.”

Ia meneruskan, “Dekade 1950-an dapat disebut sebagai Hollywood Dark Ages. Muncul ketakutan luar biasa terhadap komunis. Orang-orang perfilman yang dicurigai komunis dipaksa hengkang. Sementara di Eropa, film mulai dipandang sebagai media yang mempertanyakan identitas manusia. Muncul Realisme Italia, French New Wave, dan lain-lain.” Produksi film menjamur di berbagai belahan dunia. Sebetulnya Indonesia juga tak ketinggalan membuat film. “Film bisu pertama yang diproduksi di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng (1926),” ungkap Pak Ronny. Film yang diarahkan sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp, ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV. Loetoeng Kasaroeng pertama kali diputar pada momen pergantian tahun, 31 Desember 1926, di teater Elite and Majestic, Bandung.

Masa keemasan Hollywood mulai memudar pada dekade 1960-an. Sejak awal kemunculannya di Amerika Serikat pada pertengahan dekade 1940-an, peran televisi semakin signifikan sebagai penyedia tontonan bagi masyarakat. “Semasa kecilnya, televisi sangat penting bagi sutradara Martin Scorsese,” Pak Ronny berbagi pengalaman menonton sebuah dokumenter. “Di waktu-waktu tertentu, ia, orang tuanya, dan kakek-nenek dari kedua belah pihak bersama-sama duduk menyaksikan televisi. Begitulah cara Scorsese mengenal film-film klasik.”

Sampai saat ini teknologi adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah film. Baik teknologi suara, warna, 3D, maupun kamera digital, semuanya punya andil dalam perkembangan media ini. Sementara itu, penjualan tiket bioskop menjadi pemasukan utama sebuah film. Ketika semakin banyak bioskop yang gulung tikar karena terus merugi; ketika perkembangan televisi (home theatre) semakin memberikan kenyamanan pada penonton. Para pelaku industri mencari terobosan untuk membawa masyarakat kembali menonton di bioskop.

Pada dekade 1950-an, muncul CinemaScope yang dapat mengambil gambar dalam ukuran besar (widescreen). Produser film berlomba-lomba membuat film-film kolosal yang detailnya tak akan tertangkap di televisi. Saat itulah Injil menjadi sumber cerita untuk diadaptasikan ke layar lebar, hasilnya: The Ten Commandments (1956), Ben-Hur (1959), King of Kings (1961), hingga The Greatest Story Ever Told (1965). Film-film inilah yang menjadi tonggak kemunculan Yesus di Hollywood. “Waktu kemudian muncul Jesus Christ Superstar (1973), The Last Temptation of Christ (1988), dan The Passion of the Christ (2004), semuanya dibuat dalam konteks yang berbeda,” ujar Pak Ronny sebelum berpamitan.

Yesus: icon atau idol?
Diskusi kali ini terinspirasi oleh buku Jesus di Hollywood karya Imam Karyadi Artono yang diterbitkan oleh Kanisius. Buku ini mengkaji bagaimana para sineas Hollywood menghadirkan Yesus di dalam film-filmnya. Imam menelusuri benang merah tentang sejarah Yesus di film-film tersebut. Meskipun bertolak dari titik yang sama (penyaliban), masing-masing film menyajikan hal yang berbeda. Berbagai macam gejolak memberikan warnanya sendiri di film-film itu.

Menyimak pembahasan Pak Ronny, narasumber kedua, Trisno S. Sutanto, mengaku terkenang akan film Italia, Cinema Paradiso (1988), sebuah surat cinta untuk dunia perfilman beserta para penikmatnya. “Film ini berkisah tentang film. Tentang seorang anak kecil, petugas pemutar rol film, dan sebuah bioskop kecil.” Menyinggung teknologi 3D, Trisno berbagi pengalaman menonton Avatar tahun lalu, “Saya berusaha meraih bunga yang jatuh dari Na’vi. Rasanya dekat sekali!”

Di awal pembahasannya, Trisno meminta hadirin melakukan sesuatu yang menurutnya sulit: memisahkan sosok Yesus dalam film, dengan sosok Yesus yang sesungguhnya. Ia berkata, “Yesus dalam film Hollywood bukanlah Yesus yang kita imani, melainkan suatu icon budaya. Kebudayaan Barat sangat mempengaruhi penggambaran Yesus di sana.” Trisno memberi contoh, “Di film-film seperti King of Kings, Jesus of Nazareth, maupun The Passion of the Christ, sosok Yesus kebanyakan bule; ganteng. Dan pada beberapa adegan bahkan memancarkan sinar kebaikan.”

“Ada perbedaan mendasar antara Yesus sebagai icon dan Yesus sebagai idol,” jelas Trisno. Ketika berhadapan dengan icon, seseorang akan berusaha melihat apa yang diwakili icon tersebut. Lain halnya bila bertemu dengan idol, idola, seorang penggemar hanya akan memaknai apa yang tampak. “Sayang sekali jika Anda menganggap Yesus memang seperti di film-film Hollywood. Karena sebenarnya sosok itu icon Barat. Anda harus bisa memisahkan antara realitas di bioskop dengan realitas di luar bioskop.”

Agak gawat apabila sebagian masyarakat menganggap icon Yesus sebagai Yesus yang sebenarnya. Kekeliruan ini menjadikan mereka sulit bersikap toleran setiap kali interpretasi yang berbeda. Contohnya, saat film The Last Temptation of Christ (1988) dicekal, atau protes terhadap novel The Da Vinci Code. Keduanya menggambarkan kehidupan Yesus, seandainya Ia menikah dengan Maria Magdalena. Padahal interpretasi terhadap sesuatu, apalagi terhadap Tuhan, sifatnya personal. Sonny, dari Gereja St. Mikael, memiliki kenangan lucu tentang film The Last Temptation of Christ, “Dulu di sekolah, saya dan teman-teman pernah disuruh Frater menonton film itu. Di tengah film, pemutarannya malah dihentikan oleh Suster.”

Trisno lalu menunjukkan bagaimana dalam dunia perfilman belum ada icon Yesus dari Timur. Padahal dalam patung, atau lukisan, ada beraneka macam sosok Yesus dari mata masyarakat Timur. “Apakah ini terjadi karena orang-orang Timur begitu taat kepada agama sehingga terlalu sopan untuk membuat interpretasinya sendiri?” tanya seorang pengunjung dari Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Jawaban pertanyaan itu terkait erat dengan persoalan sejauh mana masyarakat Timur dapat menghayati agama yang diimpor dari Barat. “Menarik juga kalau ada Yesus versi Batak,” gurau Trisno. “Yesus yang makan saksang bersama muridnya dan berkata, ‘Ini darah dan dagingku’.”

‘Keaslian’ Film
Saat jeda diskusi, Kapak Ibrahim maju ke depan dan menemani hadirin. Grup ini digawangi Riksa "Riot" Alhasil (Violin, Backing Vocal), Adew Habtsa (Lead vocal & Rhythm Guitar), Kandi Sekarwulan (Backing vocal & Melody Guitar), Lian Kagura (Poem Reader), dan Noel Saga (Rainstick). Mereka menampilkan hasil musikalisasi dua buah puisi: Jarak karya Sapardi Djoko Damono, dan Lagu Orang Bukit karya Iman Budi Santoso. Suasana menjadi lebih riuh. Kapak Ibrahim membawa rainstick, instrumen unik dari bambu yang apabila dibalik akan berbunyi seperti air.

Sebelumnya, Erwin dari GKI Guntur menyampaikan perbedaan pandangannya dengan Trisno, “Menurut saya justru mudah sekali menemukan sosok Yesus seperti di Injil dalam film-film Hollywood. Apalagi Amerika Serikat merupakan negara yang paling religius di antara negara-negara Barat. Bandingkan dengan di Eropa, di mana orang-orang pergi ke gereja cuma dua kali setahun, waktu Natal dan Paskah.” Ia melanjutkan, “The Passion of the Christ adalah film yang menurut saya paling sesuai dengan Alkitab, saya nggak mempermasalahkan penggambaran Yesus yang ganteng dan berkulit putih, yang penting bagi saya adalah makna yang terkandung dalam ceritanya.”

Dalam memfilmkan Yesus, para pembuat film bisa setia mengikuti Injil atau berani mencari interpretasi sendiri. Salah satu sutradara yang setia pada kitab suci adalah Pier Paolo Pasolini dengan filmnya, The Gospel According to St. Matthew (1964). Padahal sebelumnya film-film sutradara Italia ini terkenal ampuh dalam memancing kemarahan Gereja Katolik. “Tapi ada juga sutradara yang berupaya total menginterpretasikan Yesus, seperti Denys Arcand dalam film Jesus of Montreal (1989). Inilah film Yesus favorit saya,” ujar Trisno.

Ari, dari Sebelas12, tertarik dengan bahasa Aramaic yang digunakan dalam film The Passion of the Christ. “Apakah film ini betul-betul sesuai dengan Injil?” tanyanya. Trisno menggeleng. “The Passion of the Christ tidak sepenuhnya sesuai dengan Alkitab, tetapi diangkat dari buku The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ yang ditulis Anne Catherine Emmerich pada abad ke-18.” Ia pun mengaku kurang menyukai muatan kekerasan grafis yang ada dalam film tersebut.

Kesesuaian film-film Yesus dengan cerita Yesus di Alkitab merupakan hal yang menarik. Rata-rata di film-film tersebut selalu ada adegan di mana Yesus lahir, mengajar, sengsara, sekarat, dan bangkit. Seperti biopik. Padahal Injil bukan biografi Yesus, di dalamnya tidak ada cerita tentang masa remaja Yesus. Bahkan jalan hidup Yesus pun berbeda di setiap versi Injil. Alhasil untuk membuat film dengan struktur narasi yang lengkap, penulis skenario memasukan tradisi-tradisi yang tak ada di Alkitab. Mereka melakukan harmonisasi Injil demi membuat film yang sesuai dengan target pencapaiannya. Produk inilah yang akhirnya sampai pada penonton.

Di penghujung diskusi, mahasiswi Universitas Pasundan bernama Stefani mengajukan sebuah pertanyaan yang takkan lekang dimakan waktu, “Jadi bagaimana cara bertemu Yesus yang sebenar-benarnya?”

Kamis, 24 Juni 2010

Menonton Dekalog di MYCinema

Empat bulan terakhir, saya tak pernah melewatkan pemutaran film bersama MYCinema di GKI Maulana Yusup. Dalam dosis sedang, saya mulai kecanduan keramahan mereka, diskusi panjang seusai menonton, dan gorengan serta minuman hangat yang mengamankan perut kami dari kelaparan. Meskipun komunitas ini bermarkas di gereja, film-film yang diputar tak melulu bernilai kekristenan. Temanya beragam; mulai dari pendidikan, lingkungan hidup, kepahlawanan, sampai film-film Indonesia pilihan. Kebetulan film yang kami simak Senin lalu (14/6) adalah Dekalog VI, A Short Film About Love.

Dekalog (1990) merupakan tafsir bebas sutradara Polandia, Krzystof Kieslowski, terhadap Sepuluh Perintah Tuhan. Mulanya diproduksi untuk televisi, film berseri ini terdiri atas sepuluh episode; masing-masing berdurasi satu jam dan dapat ditonton secara terpisah. Berlatarkan sebuah kompleks apartemen di Warsawa, Dekalog kebanyakan menyoroti pilihan yang dilakukan orang-orang saat berhadapan dengan dilema drastis dalam kesehariannya.

Menjelang pemutaran, bos MYCinema, Tobing, mengimbau agar penonton tidak berseliweran di tengah-tengah film, “Film-film yang lain, kalau ditinggal sebentar kita masih bisa mengikuti jalan ceritanya. Nah, Dekalog ini enggak.”

Dekalog VI berkisah tentang Tomek (Olaf Lubaszenko), seorang pegawai kantor pos berusia 19 tahun yang memendam cinta untuk wanita yang tinggal di apartemen seberang, Magda (Grazyna Szapolowska). Perasaan tersebut muncul dari kebiasaan mengintip dengan teropong yang selalu terarah ke jendela wanita tersebut. Tomek tahu betul jam berapa Magda pulang, siapa saja pacarnya, dan menjadi saksi pada suatu malam ketika Magda menangis sendiri. Namun selain itu ia tak tahu apa-apa. Tomek lantas melakukan apapun demi mendekatkan jarak antara mereka: mengirimkan wesel palsu agar sang wanita sering ke kantor pos, menelepon malam-malam tanpa bersuara, sampai menjadi pengantar susu di gedung apartemen Magda.

Tak perlu menunggu lama sebelum Tomek menyesal, bertanggung jawab, dan sekalian menyatakan perasaannya. Kali ini cinta menunjukkan dua sisinya: menjadi angin yang melambungkan harapan Tomek, dan menjadi api bagi Magda yang toh akan padam juga. Cinta yang mampu berbalik menghanguskan harapan Tomek dan meniup habis api Magda. Film ini mengajak penonton memikirkan cinta melalui hubungan yang terjalin antara seorang pemuda tanggung dengan perempuan dewasa.

Usai bergulirnya closing credit, Tobing maju ke hadapan kami. Dekalog VI, yang terinspirasi dari Perintah Tuhan, “Jangan berzina,” rupanya merupakan episode kesukaannya. Para hadirin diajak turut berkomentar. Seorang pengunjung berpendapat bahwa meskipun film ini vulgar dan kental beraroma voyeurism, tetapi Dekalog VI berbicara banyak tentang cinta. Setelah memprotes kesalahan tulis di poster acara, Erwin, pengunjung lain, menyatakan ia juga suka film ini. Salah satu adegan yang paling diingatnya adalah ketika Magda melabrak Tomek, bertanya apakah pemuda itu pernah bermasturbasi sambil membayangkan dirinya; pertanyaan itu kemudian dijawab dengan anggukan. Menurut Erwin, apa yang sebenarnya dirasakan Tomek bukanlah cinta, melainkan ke-horny-an remaja biasa. Hipotesis ini didasarkan pengalaman Erwin yang mengaku tak pernah bermasturbasi dengan membayangkan orang yang dicintainya. Sementara itu Grace, yang terlambat datang, mengatakan film ini mempertegas sebuah pepatah lama: “Kita tak pernah menyadari sesuatu yang kita miliki, sampai kita kehilangannya.”

Sebagaimana pemutaran episode Dekalog sebelumnya, MYCinema mengundang pembicara untuk mengungkapkan makna-makna di dalam film. Pada kesempatan ini, pembicaranya adalah Pendeta Joas Adiprasetya dari GKI Pondok Indah, Jakarta. Menanggapi komentar tentang vulgar-nya Dekalog VI, tanpa ragu ia berkata, “Kalau memakai sistem klasifikasi film di Amerika, jelas film ini diberi rating R. Kalau G berarti Good dan PG berarti Parentally Good, maka R pastilah Really Good!” Pak Joas lalu bercerita tentang istilah vulgar yang lahir dari sistem kelas di Inggris. Tadinya vulgar merupakan kata yang digunakan para bangsawan untuk menyebut perilaku yang dianggap mencerminkan kebiasaan masyarakat kebanyakan (common people). "Jadi sebetulnya, vulgar itu artinya umum,” candanya.

Baru ketika membahas voyeurisme dan dongeng Peeping Tom, Pak Joas serius. Di papan tulis, pendeta ini menggambarkan grafik naik-turun hubungan Magda dan Tomek; menunjukkan di mana titik baliknya. Ia juga berbagi teori para filsuf di zaman Plato tentang keberagaman cinta: agape, philia, dan eros. “Kata orang jika agape dianggap cinta yang murni, katakanlah bintang lima, sementara philia adalah bintang empat, maka eros itu hotel kelas melati,” jelasnya diikuti tawa hadirin. “Padahal sebetulnya ketiganya tidak terpisah-pisah, tapi membentuk semacam segitiga.”

Dengan begitu, tindakan voyeur yang dilakukan Tomek terhadap Magda dapat dihitung sebagai cinta agape, atau cinta tanpa syarat. Namun itu tidak cukup, Tomek juga membutuhkan cinta eros. Eros bisa diartikan sebagai cinta yang fisik, tetapi tidak sempit dalam konteks seksual. Cinta fisik ini maksudnya Tomek merasakan gairah untuk memiliki cinta dengan utuh (desire of wholeness), yang saking utuhnya sehingga ibaratnya cinta bisa dilihat, diraba, atau malah disimpan dalam kulkas. Demi itulah si pemuda berusaha menjadi relevan dalam hidup sang wanita. Ini terlihat pada adegan ketika Tomek, meskipun takut-takut, menghadapi amukan pacar Magda.

Di lain pihak, Magda adalah wanita yang sudah banyak makan garam. Sama sekali ia tidak memberikan kesempatan cinta bertumbuh. Kalau cinta mengambil bentuk sebotol susu segar, maka Magda adalah orang kehausan yang terus-menerus menumpahkannya. Ingin memberi Tomek pelajaran, ia setuju saja ketika pemuda tanggung itu mengajaknya makan es krim. Ketika malam tiba, mereka berdua pulang ke kamarnya. Berbekal pesonanya, Magda memprovokasi terjadinya hubungan seksual, tetapi belum apa-apa Tomek keburu ejakulasi. “Inilah cinta,” kata Magda, “This is it.” Dalam keadaan terpukul Tomek menghambur keluar, tidak sadar kalau ia berpapasan dengan lelaki yang muncul di setiap momen penting Dekalog. Di kamar mandi apartemennya, ia menyayat pergelangan tangannya. Sementara itu, di tempat lain Magna termenung sendirian. Begitu Tomek melangkahkan kaki keluar, ia menyesal karena merenggut kepolosan si pemuda dengan cara yang begitu dingin. Terlebih ketika melihat mobil ambulans berhenti di apartemen seberang. Keadaan pun berbalik, giliran Magda yang mempedulikan Tomek.

Sampai di sini muncul pertanyaan, “Lho, di mana perintah, ‘Jangan berzina,’-nya?” Mengutip pernyataan Soffa dari tim MYCinema saat kami berjumpa keesokan harinya, saking bebasnya tafsir Kieslowski dalam Dekalog justru: “Nggak ada Sepuluh Perintah Tuhan-nya.” Pak Joas pun kesulitan ketika ditanyakan pertanyaan ini. Namun ia menyatakan cerita ini bisa diterima sebagai metafora hubungan cinta tanpa syarat Tuhan kepada semua ciptaannya. Cinta yang sampai melalui ‘bahasa’, yang seringkali disalahpahami sebagai Tuhan itu sendiri. Kurang lebih, Pak Joas juga menyatakan bahwa sesuatu yang berlebihan sama buruknya dengan sesuatu yang berkekurangan. “Bahkan cinta tanpa syarat pun tidak bisa dirasakan tanpa adanya kesadaran bahwa sesuatu yang dicintai itu betul-betul tak berdaya,” tutur pendeta jenaka ini.

Malam itu begitu banyak informasi mengemuka dari pembahasan oleh Pak Joas, sampai-sampai di penghujung diskusi semua hadirin kehabisan kata-kata. Sejauh mana penonton setuju dengannya, itu urusan lain. Acara pun ditutup dengan doa.

Setelah mendiskusikan Dekalog, pertanyaan yang biasanya juga muncul adalah: “Apakah dalam filmnya Krzystof Kieslowski memang bermaksud menyampaikan makna seperti yang kita bicarakan?” Surat kabar Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa sutradara itu tidak suka bila ditanyai seputar makna filmnya. Meskipun begitu, ia bersedia menceritakan panjang lebar tentang bagaimana ia dan para kru membuat film-film tersebut. Misalnya dalam special features DVD Three Colours: Blue (1990) produksi Miramax; duduk di depan televisi, Kieslowski menceritakan bagaimana krunya menguji berbagai merk gula balok sebelum menemukan yang pas untuk keperluan sebuah adegan. Ia lalu beralih ke layar televisi dan menunjukkan adegan yang dimaksud. Kieslowski menambahkan kalau kecepatan larutnya gula harus tepat: tidak boleh terlalu cepat atau lambat. Dan ia pun memutar lagi adegan itu. Melihat hal itu, sulit membayangkan kalau Kieslowski asal membuat film saja tanpa memikirkan maknanya.

Barangkali alasan saya kecanduan menonton bersama MYCinema adalah bagaimana tanpa sungkan para penonton menjadikan film sebagai cermin: mengidentifikasikan diri dengan apa yang ada di dalamnya dan menyampaikan makna yang didapat. Diskusi bisa meluas, mereka-reka pesan yang kiranya disampaikan pembuat film. Kadang-kadang malah filmnya sendiri terlupakan.

Terlepas dari itu, Dekalog adalah film seri tentang keseharian orang-orang biasa. Di dalamnya mungkin tidak ada Tuhan, tetapi kehidupan tokoh-tokohnya seperti diatur oleh tangan-tangan tak terlihat, oleh kebetulan yang bukan kebetulan, oleh hal-hal yang luput dari genggaman. Seorang penonton tetap bernama Yunita berulang kali mengatakan, “Kalau untuk Dekalog, saya pasti meluangkan waktu.” Mungkin kemiripannya dengan hiduplah yang membuat serial ini begitu menarik.

Jumat, 30 April 2010

Sepucuk Surat dan Selembar Kartu Pos

Tulisan ini dibuat berdasarkan latihan menulis konflik di Reading Lights Writer’s Circle.

Versi surat:

Ezra,

Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kertas surat ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kamu malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.

Eh, by the way, sepuluh tahun ini aku tak lagi di Bandung. Usai belajar drama di Upsalla, aku dapat izin kerja dan menetap di Swedia. Kurang lebih sepekan lalu ibu pergi meninggalkan aku dan kakakku. Beribu kata yang semestinya terucap menguap begitu saja. Saat ibu menyatu dengan tanah, awalnya aku tak percaya, tetapi ketika tabur bunga, aku yakin melihat kamu! Kamu bercelana jeans, berkemeja putih, bermantel hitam panjang persis seperti dulu di toko buku. Waktu itu saking buru-burunya, kamu telat mengantisipasi sedan yang mendadak keluar dari parkirannya. Kamu pasti sedih kalau melihat begitu ringseknya motor Honda kesayanganmu. Seorang tukang parkir mencoba menghalangiku melihat kondisimu. Kasihan dia, selangkangannya kutendang sekuat tenaga. Lalu air mataku bercampur dengan air hujan.

Ezra, aku tak tahu di mana alamatmu. Surat ini kutinggalkan di sini saja, kalau-kalau suatu hari kau mampir dan membeli roti. Seorang pramusaji yang baik berjanji akan menyampaikannya kepadamu.

Peluk kangen,

Karin

Versi kartu pos:

Ezra,

Aku menulis sambil duduk di Canary Bakery. Dulu aku bisa berjam-jam singgah di sini hanya demi curi-curi menatapmu dan mungkin sedikit berbincang. Kartu ini kubeli dari toko buku ujung jalan, tempat kita kebetulan sama-sama berlindung dari terpaan hujan badai. Waktu itu aku senang sekali, tetapi kau malah gelisah. Waktu kutanya, kaujawab pacarmu menunggu jemputanmu.

Setelah sekian lama tak di Bandung, tempo hari aku kembali. Ibu meninggal. Di luar permakaman, aku melihatmu. Tanganku gemetar antara acuh atau menyapa. Nyaliku ciut melihat anak yang kaugendong dan seorang perempuan yang kaugandeng tangannya. Banyak yang mau kukatakan, tetapi aku yakin kau takkan senang mendengarnya. Aku tak tahu di mana alamatmu. Kartu ini kutinggalkan di sini, kau boleh mengambilnya kalau nanti membeli roti.

Salam,

Rio

Rabu, 21 April 2010

Potretan Teman

Nia menggambar saya dengan paint dan hasilnya cukup mirip:


Samar-samar saya teringat lagi hari di mana saya mengenakan kombinasi pakaian itu. Pada sebuah Sabtu siang, kami janjian mencari film di Pasar Kota Kembang. Film yang banyak dibicarakan orang waktu itu adalah New York, I Love You. Nia mau menontonnya, tetapi kepingin terlebih dahulu menonton Paris, Je T'aime. Siang itu adalah kali pertama saya memakai rompi suede hitam yang dibeli di pasar tumpah seharga empat puluh ribu perak. Saking antusiasnya dengan baju baru, di tengah perjalanan ke rumah Nia saya lupa beli bensin; mesin motor pun mati persis di depan rumahnya. Siang itu Nia memakai baju gambar Barong. Setelah mendorong motor dan mengisi bensin di penghujung Jalan R.E. Martadinata, kami meluncur ke ITB. Hari itu ada Expo ITB, tetapi siang itu belum terlalu banyak hal yang bisa dinikmati, kecuali mungkin bola-bola warna-warni yang digantung di atas Student Centre, seperti hujan bola. Kami pun hengkang ke Kota Kembang, ditawari film bokep oleh mas-mas yang duduk-duduk di pintu masuk. Kalau tidak salah, Nia membeli Precious dan Paris, Je T'aime, sementara itu saya membeli The Countess. Saat mau keluar, saya sempat merekomendasikan Mary & Max, yang akhirnya dibeli Nia juga. Kami makan di pujasera di sebelahnya, dan mengobrol tentang keseharian yang kami lalui masing-masing. Sebelum membayar, Nia sempat ke WC tetapi akhirnya tak jadi menyelesaikan bisnisnya karena ada taik yang masih mengambang. Saat itulah hujan mulai turun. Awalnya gerimis, kemudian menjadi deras, kemudian gerimis lagi, kemudian deras lagi, dan menjadi gerimis, saat itulah kami pergi. Nia ingin mengambil uang di ATM NISP, di tengah perjalanan hujan semakin deras kami berteduh di Toko Buku Diskon Togamas di Jalan Tamansari. Nia ke WC, lalu kami langsung pergi ke Reading Lights tanpa mengambil uang dulu. Di sana wifi tidak hidup. Kami ke atas dan, saking betul-betul tidak ada kerjaan lain, foto-foto. Nia dengan kamera digital andalannya, dan saya dengan kamera film yang tak bisa diandalkan. Nia menyuruh saya berdiri di depan sebuah lukisan besar, kami pun saling memotret. Foto Nia hasilnya begini:


Bagus juga.

PS: Hari itu Dani pakai waistcoat juga. Beda dengan punya saya yang sedikit kedodoran, waistcoat-nya sangat fit dan sepertinya memang custom made. Anak writer's circle itu memakainya di atas kemeja lengan panjang yang juga fit. Dani sempat mencibir saya yang mengenakan kaus training di bawah waistcoat, hahaha. Belakangan baru saya tahu kalau rupanya dia suka mengecek The Sartorialist!

Selasa, 20 April 2010

Skinned Alive, Edmund White, dan Saya

Apabila belanja buku bekas disamakan dengan berburu harta karun, maka sampai sekarang penemuan saya yang paling berharga adalah Skinned Alive oleh Edmund White. Antologi cerpen ini saya dapat dari toko buku di depan kampus, Omuniuum.



Skinned Alive bersampul merah dengan foto pemuda telanjang dada, berdiri di ambang pintu. Deskripsi di punggungnya menarik. Kertasnya mulai menguning dan berbau lama. Buku ini terdiri dari sembilan cerita pendek. Kesemuanya mengisahkan berbagai peristiwa dalam kehidupan gay: coming out, kekasih pertama, kehilangan kekasih, perkawanan dengan lelaki straight, dan masih banyak lagi. Sementara beberapa cerita betul-betul fiktif, cerita lainnya seperti memoar; mengalir lancar dari sudut pandang Edmund White yang kebetulan homoseksual. Yang menjadi benang merah adalah kejenakaan dan ketepatan White dalam mendeskripsikan suasana serta kedalaman emosi manusia. Beberapa cerita begitu menghentak, mengiris hati, bahkan menyulitkan pernapasan. Nukilan resensi Dallas Morning Star di halaman pertama Skinned Alive memperkenalkan sosok penulis dengan tepat:

Mr. White is gifted storyteller … If you happen to be homosexual, you’ll read these tales as ruthlessly honest … If you are not gay, you will, because of their superb construction and deep humane intelligence … Read them as a sign of the cheer and sorrow of all human existance … An American writer to conjure with.”

***

Edmund White di apartemennya di New York. Foto: Matthew Salacuse (2009)

Edmund Valentine White III lahir di Cincinnati, Ohio, pada 13 Januari 1940. Besar di Chicago, ia mempelajari Bahasa Cina di University of Michigan. Setelah lulus, White sempat bekerja sebagai jurnalis di New York. Tahun 1973, novel pertamanya Forgetting Elena diterbitkan dan langsung mendapatkan pengakuan dari penulis Lolita, Vladimir Nabokov. Sontak perhatian penikmat literatur pun tertuju pada White. Belakangan, baru ketahuan kalau sebetulnya penulis Rusia itu belum membaca Forgetting Elena. Nabokov memuji novel itu lebih karena ia pernah bertemu White dan menyukainya dalam level personal. Sejak itu hubungan mereka berlanjut melalui obrolan-obrolan panjang via telepon.

Di dalam mengerjakan bukunya, Edmund White merambah berbagai macam genre. Ia menulis novel semi-autobiografis (trilogi A Boy’s Own Story, The Beautiful Room Is Empty, dan The Farewell Symphony), memoar (My Lives), biografi penulis lain (Genet, Proust, Rimbaud), serta novel sejarah. Menurut Gaby Wood, wartawan The Observer, karya terbaik White adalah karya-karya yang mana ia menuliskan sesuatu yang dikenalnya paling intim: kehidupannya. White memang merupakan penulis yang gay, kesehariannya memberikan inspirasi ibarat sumur dengan air berlimpah. Namun karena air itu digunakan dengan bijak, maka sumurnya tak lekas kering. Edmund White bukan sekadar penulis-homo-itu yang mengeksploitasi seksualitasnya secara gimmicky.

Di samping menulis bukunya, White sempat mengajar studi literatur dan kelas penulisan kreatif di berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika: Yale, John Hopkins, New York University, dan Columbia. Ia pernah menjadi dosen tetap Sastra Inggris di Brown, serta menjabat sebagai direktur eksekutif New York Institute for the Humanities. Pekerjaan yang terakhir mengukuhkan posisi Edmund White dalam lingkaran intelektual New York. Ia bahkan sempat akrab dengan penulis dan pemerhati budaya Susan Sontag. Sontaglah yang menulis endorsement untuk novel breakthrough-nya White, A Boy’s Own Story. Cuma demi membubuhkan satu-dua kalimat di cover, Susan Sontag merasa perlu membaca kembali buku-buku White sebelumnya. Dan Sontag juga yang menulis sepucuk surat rekomendasi yang dipercaya membuat White memenangi Guggenheim Fellowship senilai $22.000, serta $7.000 dari American Academy of Arts and Letter.

Walaupun demikian, bulan madu Edmund White dan Susan Sontag mesti berakhir dengan terbitnya Caracole. Novel White ini bisa diinterpretasikan sebagai kritiknya terhadap Sontag dan perilaku kaum intelektual di New York. Sontag bahkan menuntut agar endorsement-nya dihapus dari sampul buku White. Saat itu awal dekade 80-an. Kehidupan gay di New York yang awalnya semarak mulai menyepi, dibayangi gumpalan awan hitam yang membentuk huruf A, I, D, dan S. Menghindari semua itu, White kemudian hengkang ke Paris. Sebagian cerpen dalam Skinned Alive mengisahkan kehidupannya selama bermukim di Paris.

***

Alasan utama kecintaan saya pada Skinned Alive tidak lain karena saya homoseksual; senang rasanya setiap menemukan literatur yang menyinggung homoseksualitas. Dulu ketika sedang kritis-kritisnya mempertanyakan identitas seksual, serial Six Feet Under, miniseri Angels in America, film The Bubble, serta tentu saja film-film Pedro Almodovar merupakan malaikat pelindung saya. Mereka seolah berkata, “Tenang. Kamu bukan yang pertama mengalaminya, kok.”

Dari buku, film, serial televisi, dan musik, saya menemukan karakter-karakter homoseksual lain. Karakter yang tidak stereotype. Mereka datang dan menyapa dengan kompleksitasnya masing-masing. Sepemahaman saya, definisi paling sederhana dari homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin. Namun, ternyata menjadi seorang homoseksual memberikan konsekuensi yang lebih dari urusan dengan-siapa-saya-berhubungan-seks. Homoseksualitas seperti stempel yang memisahkan antara pintu mana yang bisa dimasuki dengan mana yang tidak.

Menjadi homoseksual jelas mempengaruhi masa depan, terutama tentang seberapa besar peruntungan kaum homoseksual untuk membangun dan membesarkan keluarga. Selain itu merupakan hal yang lazim bila manusia mendekati sang pencipta melalui ajaran agama. Namun keyakinan terhadap agama jelas diuji oleh ayat-ayat di kitab suci yang interpretasinya cukup jelas menyangkut masalah ini.

Menjadi gay pun berpengaruh kepada bagaimana saya berteman. Pola saya begini: setelah berteman sekian lama, pada suatu titik saya akan merasa nyaman dengan si teman itu. Saat itu saya akan mengharapkan hubungan kami menjadi lebih dari pertemanan biasa. Paling tidak saya ingin bis membicarakan lebih lanjut seksualitas saya tanpa ada kecanggungan dengan dia. Bagi saya itu penting karena homoseksualitas adalah bagian dari saya. Saya ingin teman-teman terbaik saya mengenal diri saya dengan utuh. Tidak cuma tahu kalau saya suka menulis, alim, dan punya struktur wajah yang elegan, tetapi juga tahu pandangan saya tentang preferensi seksualnya. Biasanya pada titik ini teman saya mundur. Atau malah saya yang mundur karena tidak nyaman mendiskusikan perihal yang sensitif ini. Ini sering terjadi, membuat saya tak pernah terlalu percaya diri dengan orang-orang baru.

Persoalan saya mungkin remeh bila dibandingkan dengan apa yang dihadapi generasi Edmund White dan karakter-karakter dari Angels In America. Mereka menghadapi wabah HIV/AIDS. New York City dekade 1970-an adalah sebuah kota yang penduduknya berpesta sampai pagi dan melakukan hubungan seksual tanpa konsekuensi. Kemunculan HIV/AIDS mematikan gemerlap lampu-lampu disko. Saat hubungan sesama jenis dan eksperimentasi dengan sesama jenis merupakan hal yang biasa, kaum homoseksual diberi imbauan untuk mengerem perilaku seksualnya. They were told to suck, not to fuck. Homofobia pun turut mewabah. Para penganut agama fundamentalis bersorak menyambut kedatangan penyakit yang akan menghapus kelompok yang dilaknat oleh agama itu.

Pada masa itu, satu persatu teman White berguguran direnggut AIDS, akhirnya ia sendiri pergi dari New York City—kota penuh kenangan—dan tinggal di kota cahaya, Paris. Kebanyakan cerita pendek dalam Skinned Alive ditulis selama dirinya bermukim di sana.


White semasa muda. Foto: Matthew Salacuse.

Daftar Bacaan:
• Gaby Wood, “A walk on the wild side in70s New York,” The Observer, 3 Januari 2010
• Robert McCrum, “Edmund White and Literary Lottery,” guardian.co.uk, 11 Januari 2010
• Jay Parini, “City Boy by Edmund White, Chaos by Edmund White,” The Guardian, 16 Januari 2010

Jumat, 15 Januari 2010

Ketika Buku Berjamur

Kemarin-kemarin, hujan turun setiap sore di kota Bandung. Puncaknya terjadi pada hari-hari libur pergantian tahun yang lalu. Banyak pedagang yang mengeluh karena omzet penjualan tidak setinggi saat tahun baru sebelumnya. Rupanya hujan membuat para turis malas keluar dari kamar hotel.


Keganasan musim hujan kali ini juga telah memangsa dua buku saya. Biasa: naik motor+hujan+tas=buku basah. Buku-buku itu untungnya paperback, bukan buku foto yang dicetak di kertas yang agak glossy atau komik yang kertasnya bakalan menempel satu sama lain apabila sedikit kena air. Buku-buku yang kehujanan ini lantas saya jemur, tetapi karena hari sering mendung mereka tidak kunjung kering. Sampai suatu hari saya menemukan halaman-halaman buku saya mulai ditumbuhi jamur! Jamur bintik-bintik hitam yang biasa muncul di pakaian yang lembab dan terlalu lama tidak dicuci! Tampilan buku yang menjadi keriting dan menjijikkan membuat saya malas membacanya lagi.


Tempo hari ketika sedang main-main ke Rumah Buku/Kineruku, semacam perpustakaan alternatif di Bandung, saya melihat dua buah buku yang pinggiran halamannya berwarna. Tidak seperti buku-buku biasanya yang pinggiran halamannya polos seperti ini:



Dua buku di Rumah Buku/Kineruku itu kelihatan lebih elegan dan menonjol di antara buku-buku lain yang berpinggiran polos. Kalau cuma melihat pinggirannya, sulit menduga berapa umur buku itu. Saya jadi kepikiran untuk mewarnai pinggiran buku saya yang berjamur dengan krayon.



Krayon-krayon ini saya beli dua tahun yang lalu, dan belum juga habis. Ada baiknya juga menyimpan sekotak krayon di rumah untuk berjaga-jaga, apalagi tidak pernah ada kepastian tentang kapan energi kreatif akan datang dan menjangkiti kita. Saya lantas memilih krayon biru tua untuk mewarnai pinggiran buku yang berjamur. Hasilnya ternyata cukup lumayan. Saya jadi keterusan mewarnai pinggiran buku-buku bulukan yang lain. Ini dia:





Keren, kan? Melihat buku-buku ini membuat saya membayangkan Power Rangers, permen Jagoan Neon, dan kolam renang di hari yang panas.


***


Tips-tips mewarnai pinggiran buku:


1. Mulai dari buku yang tidak mahal. Utamakan yang paling jelek dan paling tidak bisa diselamatkan. Kalau hasilnya ternyata memuaskan, baru lanjutkan dengan buku-buku (jelek) yang lain.

2. Pilih warna yang berbeda dari warna-warna yang ada di sampul buku tersebut. Kecuali kalau anda memang tipikal orang yang senang memadupadankan warna tas dengan sabuk dan sepatu; warna celana dengan topi; atau warna kemeja dengan kaus kaki.

3. Saya menggunakan krayon pastel karena permukaan ujungnya yang besar sehingga proses mewarnai tidak terlalu memakan waktu. Konsekuensinya adalah tangan saya mudah kotor. Namun saya kira resiko itu tidak sebesar apabila pewarnaan dilakukan dengan cat air atau cat minyak.

4. Warnai buku kita sendiri, bukan buku orang lain atau malah buku pinjaman dari perpustakaan.

5. Selamat mencoba.